Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka terlihat semakin terlibat dalam politik penentuan calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024). Mengapa demikian?
Dinamika politik Indonesia mungkin sedang memasuki tahap ramai-ramainya. Setelah hiruk pikuk urusan Koalisi Besar pemerintah dan penentuan calon presiden (capres), kini persoalan tentang Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) sepertinya mulai menyerempet anak Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka.
Pada hari Jumat malam, 19 Mei 2023, Gibran berhasil menjadi sorotan media setelah melakukan pertemuan dengan salah satu bakal capres paling populer saat ini, Prabowo Subianto. Yess, ketika partai Gibran, PDIP, sudah menentukan bahwa Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo akan dimajukan sebagai capres pada 2024, Gibran malah melakukan pertemuan “mesra” dengan capres dari partai lain.
Yang menariknya, Gibran tak menemui Prabowo sendirian. Ia juga ditemani sejumlah relawan Jokowi-Gibran dan awak media yang sudah dikumpulkan terlebih dahulu oleh putra sulung presiden tersebut.
Walaupun kedua pihak tidak menyebut bahwa pertemuan itu membahas tentang politik, satu hari setelahnya Gibran tiba-tiba saja dipanggil oleh DPP PDIP Jakarta untuk diminta datang pada Senin, 22 Mei nanti. Karena tidak ada keterangan pasti, sejumlah asumsi liar pun dilontarkan. Kuat dugaannya panggilan itu memang berkaitan dengan pertemuan antara Gibran dengan Prabowo.
Well, entah apakah panggilan partai tersebut adalah teguran atau “investigasi” tentang topik apa yang dibincangkan antara Gibran dan Prabowo, yang jelas, kalau dari Gibran sendiri tampak tidak begitu kaget. “Dipanggil, ditegur, dihukum, monggo silakan. Saya ikut,” kata Gibran.
Hal ini tentu menarik untuk kita diskusikan karena ini bukan pertama kalinya Gibran terlihat “main mata” dengan capres populer. Pada November lalu, misalnya, Gibran sempat juga menjadi headline sejumlah media karena melakukan pertemuan dengan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Padahal, Anies adalah sosok yang sering dinarasikan sebagai sosok yang beroposisi dengan Jokowi.
Pantas kemudian untuk kita pertanyakan. Mengapa Gibran semakin sering terlihat melakukan aktivitas politik yang begitu riskan?
Gibran Sang Agen Khusus?
Siapa capres yang didukung Jokowi? Hmm, pertanyaan itu mungkin jadi pertanyaan terbesar seluruh pemerhati politik di Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, usai PDIP mengumumkan Ganjar sebagai capres pilihannya, Jokowi yang pada dasarnya adalah “petugas partai” bisa kita asumsikan setidaknya diminta turut mendukung Ganjar sebagai penggantinya nanti.
Namun, seperti yang diketahui, belakangan Jokowi juga terlihat menempatkan kakinya di koalisi-koalisi non-PDIP lain, utamanya adalah dalam koalisi besar pemerintah. Nama Prabowo pun diduga kuat sedang didorong oleh Jokowi agar bisa mantap maju sebagai capres.
Akan tetapi, seperti yang pernah dibahas dalam artikel PinterPolitik.com berjudulSaatnya Jokowi Membatasi Diri?, “cawe-cawe” politik yang dilakukan Jokowi sebetulnya juga bisa menjadi sumber bencana bagi mantan Wali Kota Solo tersebut. Potensi permainan isu Jokowi sebagai satu-satunya presiden Indonesia yang diduga pernah terlibat secara langsung dalam penentuan capres-cawapres akan sangat mudah disetir oleh mereka yang berniat menjatuhkan kubu Jokowi.
Dalam jangka pendeknya, bisa saja akan ada gerakan isu bahwa satu atau dua capres yang bertanding di Pilpres 2024 adalah capres “hasil olahan” Jokowi dan pemerintah. Dengan demikian, bila mereka menang, atribusi kemenangan akan lebih diberikan pada kekuatan besar di baliknya. Sementara, jika para capres pilihan pemerintah tersebut kalah, well, kekecewaan dan ketidakpercayaan publik pada kekuatan pemerintah bisa saja akan meningkat tinggi.
Oleh karena itu, wajar bila Jokowi akhir-akhir ini akan berpikir bahwa dirinya perlu sedikit memperlahan gerakan politiknya. Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) Herry Mendrofa menilai bahwa Jokowi sekarang sepertinya sedang dalam posisi yang cukup terkunci. Jika ia salah langkah dan memberikan kesan pada publik bahwa ia berlebihan memberikan dukungan ke salah satu capres, maka itu akan menjadi hal yang sangat buruk.
Dan mungkin saja, Gibran adalah jawaban Jokowi untuk permasalahan tersebut.
Setidaknya ada dua alasan kenapa bisa demikian. Pertama, Gibran adalah seseorang yang dipersepsikan sebagai politisi yang “bebas” oleh publik, ini dibuktikan dengan personanya di media sosial yang tak jarang membuat unggahan sensasional.
Kedua, Gibran pun tidak memiliki jabatan yang bisa berkonsekuensi langsung pada persoalan capres dan cawapres. Akibatnya, meskipun Gibran melakukan suatu manuver politik yang “radikal”, taruhlah tiba-tiba melempar sinyal dukungan pada Prabowo atau Anies, hal tersebut pada akhirnya akan lebih mudah diperbaiki ketimbang dukungan yang diberikan oleh Jokowi – kalau pada akhirnya orang yang didukung tersebut tidak akan dimenangkan.
Nah, Jika asumsi ini benar, maka kita bisa mengasumsikan bahwa silaturahmi politik yang dilakukan Gibran, baik terhadap Prabowo atau Anies, bisa saja adalah bagian dari strategic political maneuvering, atau manuver politik strategis ala Jokowi, yang dirasa perlu dilakukan ketika dirinya sedang tidak bisa terjun langsung ke rimba politik Indonesia.
Ahmed Abdulhameed Omar dalam bukunya Strategic Maneuvering for Political Change menjelaskan bahwa relasi antara seorang petinggi dan seorang tangan kanan atau orang kepercayaannya bisa menjadi modal yang sangat kuat dalam bermanuver politik. Tak jarang, sang orang kepercayaan memang ditugaskan memiliki sikap politik yang berbeda dan, terkadang, berlawanan untuk memenuhi beberapa fungsi praktis.
Pertama, dengan mengadopsi sikap politik yang berbeda, orang kepercayaan itu dapat menampilkan diri sebagai penyeimbang atau suara alternatif dalam lingkaran politik. Kedua, orang kepercayaan tersebut bisa dengan sengaja mengungkapkan sikap politik yang berbeda untuk menarik basis pendukung atau konstituen yang lebih luas.
Dan ketiga, yang paling praktis, sesuai dengan pembahasan di atas, adalah sebagai penyesuai dinamika politik. Politik adalah dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Seorang tangan kanan pemimpin dapat menyesuaikan pendirian politik mereka untuk beradaptasi dengan keadaan yang berubah, opini publik, atau tantangan yang muncul – sembari membuka jalur komunikasi yang nyaman dengan rival yang bisa saja menjadi rekan mereka nantinya.
Pertanyaannya kemudian adalah, jika dugaan di atas benar, bukankah ini akan menyakiti karier Gibran sendiri dalam PDIP?
Gibran pun Waspada?
Dalam sebuah wawancara oleh Kompas, pakar psikologi politik Universitas Sebelas Maret Solo (UNS), Abdul Hakim, menyoroti satu hal menarik tentang pertemuan antara Gibran dan Prabowo. Kalaupun memang benar bahwa persoalan capres dan cawapres dibincangkan kedua tokoh publik tersebut, tidak adanya kepastian membuat Gibran tidak bisa disalahkan oleh PDIP.
Terlebih lagi, Gibran juga sebenarnya sudah mengatakan akan mengikuti instruksi PDIP dan Megawati Soekarnoputri soal capres.
Oleh karena itu, terkait pertemuannya dengan Prabowo kemarin, sepertinya bisa kita asumsikan bahwa Gibran pun tahu batasan-batasan mana yang tidak perlu dilampauinya terkait hubungannya dengan PDIP.
Yang dilakukannya pun sepertinya juga sudah cukup cantik. Di satu sisi, pertemuannya bisa menjadi sinyal bahwa “keluarga Widodo” terbuka untuk mendukung capres di luar Ganjar, di sisi lain, dengan kehadiran relawan Jokowi-Gibran, itu juga menjadi semacam leverage bahwa tanpa melibatkan partai pun Gibran dan Jokowi tetap bisa menjadi modal politik yang kuat bagi capres manapun.
Sesuatu yang sepertinya cukup berkorelasi dengan apa yang dilakukan Jokowi pada Musyawarah Rakyat (Musra) bersama relawan pendukungnya di Istora Senayan pada 14 Mei 2023.
Dengan demikian, walaupun sebenarnya PDIP bisa sewaktu-waktu memberi hukuman berat pada Gibran karena manuver politiknya, ia juga tampaknya tetap waspada agar tidak terlalu bertindak berlebihan. Kalau memang seperti itu, mungkin saja Gibran ke depannya akan tetap menjadi variabel liar andalan Jokowi perihal politik praktis yang tidak bisa dilakukannya secara langsung.
Kalau kita ingin mengandai-andaikan, bisa saja Gibran sebenarnya adalah “agen klandestin” Jokowi untuk urusan-urusan politik non-konvensional. Kalau di serial film James Bond. Mungkin, Jokowi adalah M dan Gibran adalah Agen James Bond-nya.
Namun, ini semua tentu hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, semakin kita dekat dengan hari pemilu, akan semakin banyak juga manuver-manuver politik unik yang akan menarik untuk kita simak bersama. (D74)