Keseriusan putra pertama Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri dalam Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Solo tahun 2020 semakin terlihat resminya ia bergabung dengan PDIP. Lalu, seperti apa peluang Gibran? Bagaimana hubungan sang ayah dengan partai politik dapat mempengaruhi pencalonannya?
PinterPolitik.com
Kabar terakhir menyebutkan bahwa Gibran diusulkan untuk tidak maju melalui jalur partai, tapi maju secara perseorangan alias independen. Bukan tanpa alasan, sejauh ini PDIP mengeluarkan sinyal penolakan untuk mengusung Gibran dalam Pilkada 2020 nanti.
Sebelum Gibran datang, PDIP sudah mengusung nama Achmad Purnomo-Teguh Prakosa untuk maju dalam Pilwalkot 2020. FX Hadi Rudyatmo, Ketua DPC PDIP Solo sekaligus Wali Kota Solo saat ini, juga mengatakan bahwa peluang Gibran untuk diusung PDIP dalam Pilwalkot sudah tertutup.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua DPC Gerindra Solo yang mengatakan bahwa jika Gibran maju secara independen, Gerindra akan mendukung pasangan calon (paslon) dari PDIP.
Gibran Sang Independen?
Jika disandingkan dengan calon yang diusung oleh partai, beberapa pihak menilai bahwa calon independen memiliki peluang kemenangan yang kecil.
Mantan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshiddiqie misalnya pernah mengatakan bahwa peluang calon independen dalam Pilkada 2017 sangat kecil.
Sementara menurut data KPU, sejak Pilkada pertama kali dilaksanakan secara serentak pada tahun 2015, jumlah calon independen memang terus mengalami penurunan.
Di sisi lain, menurut Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), keberadaan calon independen dapat memberikan variasi atau alternatif pilihan bagi para pemilih.
Sedangkan untuk jumlah calon independen yang menurun dari tahun ke tahun, Perludem berpendapat bahwa fenomena tersebut tidak lepas dari persyaratan calon independen yang dinilai terlalu berat.
Syarat yang dimaksud adalah syarat minimal dukungan yang berkisar antara 6,5 persen sampai 10 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Dukungan ini nantinya harus dibuktikan oleh sang calon independen dalam bentuk pengumpulan KTP.
Untuk Solo, calon independen harus mendapat dukungan 8,5 persen suara dari DPT yang pada Pemilu lalu berjumlah 421.999 orang. Oleh sebab itu, jika Gibran benar akan memilih jalur independen ia harus mengumpulkan sekitar 35.870 suara.
Untuk persyaratan ini Gibran mungkin dapat sedikit lega karena PSI mengatakan siap mendukung dan mempersiapkan 40.000 KTP jika Gibran maju secara independen.
Tergantung Sang Ayah?
Majunya Gibran dalam dunia politik tidak dapat dilepaskan dari posisi politik sang ayah, Jokowi.
Sikap PDIP dan Gerindra yang “mengacuhkan” Gibran bisa jadi tidak lepas dari hubungan kedua partai dengan Jokowi.
Seperti yang sudah diketahui oleh publik, belakangan ini hubungan Jokowi dengan beberapa partai, terutama PDIP, dapat dibilang kurang baik.
Dalam beberapa kebijakan, Jokowi maupun PDIP memiliki pandangan yang berbeda.
Ambil contoh kasus revisi UU KPK yang belakangan ini sangat menuai kontroversi.
Menghadapi tekanan dan permintaan dari masyarakat, Jokowi mempertimbangkan akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK yang baru.
Namun, rencana diterbitkannya Perppu ini ditolak secara tegas oleh PDIP.
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu PDIP, Bambang Wuryanto, bahkan mengatakan bahwa jika Jokowi menerbitkan Perppu, itu artinya sang presiden tidak menghormati DPR.
Perbedaan pandangan juga terjadi dalam hal penyusunan kabinet menteri baru untuk 2019-2024.
Jokowi mengatakan bahwa di dalam kabinet barunya nanti akan ada menteri yang berumur muda alias berasal dari kelompok milenial.
Rencana ini direspon secara dingin oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, yang mengatakan bahwa pemilihan menteri tidak dilihat dari usia melainkan pengalaman dan pengetahuannya seputar pemerintahan.
Tidak berhenti di situ, perbedaan pandangan nampaknya juga terjadi dalam hal yang lebih personal, yaitu terkait kekuatan sang presiden.
Hal ini terjadi dalam rencana penguatan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan pemunculan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang didorong oleh PDIP.
Wacana ini secara tegas ditolak oleh Jokowi yang nampaknya khawatir bahwa kekuatan kepresidenan alias power presidency-nya di periode kedua akan terancam jika rencana tersebut diwujudkan.
Kekhawatiran ini cukup beralasan karena banyak pihak menilai bahwa GBHN akan melemahkan sosok presiden.
Menurut Jide Nzelibe, profesor asal Northwestern University, perebutan kekuasaan antara legislatif dengan eksekutif memang dapat terjadi.
Politisi dan partai terkadang berusaha untuk memanipulasi (mengurangi) kekuatan presiden demi tujuan ataupun kepentingan partai. Pengurangan kekuatan ini bisa dilakukan secara konstitusi ataupun isu-isu tertentu
Di sisi lain, seorang presiden cenderung menginginkan fleksibilitas semaksimal mungkin, termasuk terbebas dari pengaruh partai, dalam membentuk kebijakan.
Sementara menurut Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, dalam periode kedua kekuasaannya Jokowi memang berpotensi kehilangan dukungan karena dirinya tidak dapat terpilih lagi pada 2024.
Oleh sebab itu, partai-partai sudah fokus mencari kandidat dan mendorong agendanya masing-masing.
Sedikit catatan, dalam periode pertama kepresidennya hubungan Jokowi dan PDIP di beberapa kesempatan juga kurang harmonis.
Misalnya dalam kasus terpilihnya Tito Karnavian sebagai Kapolri serta dipertahankannya Menteri BUMN Rini Soemarno dalam kabinet yang membuat beberapa pihak menilai hubungan Jokowi-PDIP cenderung naik-turun.
Mengamankan Jokowi
Jika benar bahwa hubungan Jokowi dan partai-partai politik memiliki kaitan dengan pencalonan Gibran, diacuhkannya Gibran dan pilihan jalur independen bisa dimaknai dalam dua pengertian.
Pertama, keengganan untuk mengusung Gibran bisa jadi memperlihatkan bahwa PDIP tidak setuju dengan sebagian kebijakan Jokowi, sehingga mereka enggan untuk membantu anaknya, Gibran, meraih kursi Solo-1.
Kedua, dipilihnya jalur independen bisa jadi merupakan strategi Gibran, atau Jokowi, untuk mengurangi pengaruh partai dalam periode kedua pemerintahannya. Dengan kata lain, Gibran atau Jokowi ingin menghindari adanya politik balas budi selama 2019-2024.
Namun, jika Gibran ternyata diusung oleh PDIP, besar kemungkinan pengaruh PDIP terhadap Jokowi akan semakin kuat karena partai tersebut sudah membantu Gibran menjadi wali kota.
Sebut sudah tak ada lagi beban, Jokowi akan pilih menteri yang full power pic.twitter.com/HCucQgQIvF
Jika benar-benar maju di jalur independen atau lewat partai lain, boleh jadi lawan terberat Gibran adalah Purnomo-Teguh yang diusung oleh PDIP.
Bukan tanpa alasan, Solo memang merupakan lumbung suara PDIP.
Pada pemilihan legislatif 2019, partai dengan lambang banteng tersebut mampu memenangkan 55 persen suara dan menguasai 30 kursi dari 45 kursi DPRD Solo.
Pun belum pernah ada wali kota Solo yang berasal dari calon non-partai. Bahkan, sejak reformasi 1998, seluruh wali kota termasuk Jokowi berasal dari PDIP.
Terakhir, absennya PDIP dan Gerindra tidak serta merta menutup peluang Gibran untuk mendapat dukungan partai.
Selain PSI, masih ada Golkar dan – yang cukup mengejutkan – PKS yang masih membuka dukungan terhadap Gibran. Pun jika tetap memilih independen, Gibran tetap bisa menerima bantuan partai-partai ini.
Dengan kondisi perpolitikan antara eksekutif dengan legislatif saat ini, memang dinamika pencalonan Gibran di Solo tidak lepas dari pertarungan antara Jokowi, sebagai presiden, dengan partai-partai yang ingin semakin berkuasa dengan cara mengurangi kekuatan presiden.
Menarik untuk ditunggu bagaimana kehadiran Gibran dalam Pilwalkot Solo akan dipengaruhi ataupun mempengaruhi hubungan Jokowi dengan PDIP. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.