Dengarkan Artikel Ini:
Gibran Rakabuming Raka yang sebelumnya dipandang sebelah mata saat menjadi calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto, justru dinilai menjadi sosok pembeda dan penentu kemenangan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mengapa demikian?
Dalam sebuah film layar lebar, pasti ada satu aktor yang akan ditunggu kehadirannya dan menjadi pembeda alur cerita.
Jika Pilpres 2024 diibaratkan film layar lebar itu, maka sosok calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua Gibran Rakabuming Raka lah yang agaknya memang menjadi aktor pembeda alur cerita tersebut.
Hal ini bisa dilihat ketika sebagai sosok cawapres, awalnya kemampuan dan pengalaman Gibran selalu dipandang sebelah mata oleh berbagai pihak. Bahkan, termasuk oleh beberapa penasihat dari Prabowo Subianto sendiri.
Hal ini diceritakan langsung Anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Hashim Djojohadikusumo dalam acara “Syukuran Kemenangan orang Muda TKN Fanta” pada 22 Februari 2024 lalu.
Hashim menyebutkan saat itu Prabowo dihadapkan dengan keputusan yang sulit untuk menentukan siapa pendampingnya untuk menghadapi Pilpres2024.
Prabowo yang menginginkan Gibran sebagai cawapresnya sempat mendapat masukan dari penasihat internal jika dirinya berpasangan dengan Gibran, maka kemungkinan besar dirinya akan mengalami kekalahan.
Bahkan, Prabowo juga diprediksi akan mengalami penurunan elektabilitas sebanyak 8 persen dan akan terus merosot, hingga tidak bisa rebound dan tak bisa bangkit lagi.
Hal ini sebenarnya berbanding terbalik dengan hasil survei LSI Denny JA pada bulan Agustus 2023 lalu, yang menyatakan jika Prabowo berpasangan dengan Gibran maka mereka diprediksi akan memenangkan Pilpres 2024.
Namun dengan keyakinannya, dikatakan Hashim, Prabowo akhirnya memutuskan untuk tetap mengajak Gibran berpasangan dengannya di pilpres.
Alasan Prabowo yang diungkapkan Hashim saat itu adalah dirinya ingin memberi kesempatan pada anak muda potensial seperti Gibran. Menurutnya, ini adalah kesempatan emas yang harus segera diwujudkan.
Lantas, mengapa Gibran bisa dikatakan menjadi sosok pembeda dalam kontestasi Pilpres 2024?
Gibran Punya Amunisi “Mematikan”?
Keputusan Prabowo untuk memilih Gibran mendampinginya dalam pilpres terbukti tepat. Hingga 1 Maret 2024, hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukan jika pasangan ini memperoleh 58,83 persen suara dari 77,94 persen suara masuk.
Keputusan Prabowo memilih Gibran hingga akhirnya bisa mengubah arah dukungan pemilih tersebut bisa dijelaskan dalam critical juncture theory atau teori titik balik kritis.
Teori ini menyatakan bahwa peristiwa tertentu atau keputusan penting dalam suatu sistem politik dapat mengubah arah politik secara signifikan.
Critical juncture theory juga menekankan bahwa titik balik kritis tersebut dapat menciptakan peluang baru atau mengubah kondisi politik yang telah mapan.
Hal ini bisa terjadi karena peristiwa tersebut memicu perubahan dalam preferensi, struktur politik, atau konsensus sosial-politik di masyarakat.
Berkaca dari penjelasan tersebut, keputusan Prabowo ketika memilih Gibran sebagai pendampingnya dalam pilpres pada akhirnya merubah arah politik nasional secara signifikan.
Ada tiga faktor yang kiranya dapat menjelaskan keikutsertaan Gibran dalam Pilpres 2024 dapat mengubah arah politik signifikan.
Pertama, Gibran yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) kiranya menjadi representasi nyata bagi para pendukung yang loyal kepada Jokowi.
Probabilitas faktor ini terhadap Gibran juga didukung oleh approval rating Jokowi masih tinggi menjelang akhir masa jabatannya. Jumlah pemilih yang puas kepada Jokowi mencapai 80 persen dari populasi pemilih.
Kedua, Gibran sebagai kaum muda tampaknya membawa gerbong suara pemilih muda yang besarannya mencapai 50 persen dari total pemilih. Faktor ini yang kiranya juga ikut andil dalam kemenangan mereka.
Terkait faktor ini pun diungkap oleh Hashim dalam sebagai alasan Prabowo memilih Gibran sebagai cawapresnya di acara “Syukuran Kemenangan orang Muda TKN Fanta”.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Prabowo saat itu berargumen jika ini adalah peluang untuk memberi kesempatan anak muda potensial seperti Gibran untuk memimpin.
Hal ini berkaca dari bonus demografi Indonesia yang dihuni oleh usia produktif. Seperti yang disampaikan Hashim, Prabowo sadar akan fakta jika lebih dari 50 persen penduduk Indonesia adalah generasi muda.
Maka, dengan hadirnya Gibran sebagai perwakilan generasi muda akan membuat mereka merasa ada yang mewakili mereka dan mengerti akan kebutuhan mereka.
Ketiga, Gibran mempunyai potensi untuk memecah suara di Jawa Tengah (Jateng). Sebagai Wali Kota Solo, Gibran memiliki pencapaian yang sangat baik.
Di bawah kepemimpinannya, Solo memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dan berbagai inisiatif pembangunan membuatnya populer di masyarakat setempat.
Sebelum Gibran menjadi Wali Kota, pertumbuhan ekonomi Solo tercatat minus 1,74 persen. Namun, ketika Gibran mulai menjabat, pertumubuhan ekonomi Solo menjadi 6,25 persen.
Meskipun pemilih di Jateng hanya 14 persen dari suara nasional, tapi daerah ini adalah “kandang banteng” yang menjadi harta karun bagi capres dari PDIP, Ganjar Pranowo.
Lalu, dengan faktor-faktor diatas yang membuatnya menjadi sosok pembeda dalam Pilpres 2024, apakah Gibran bisa juga menjadi pembeda dan berperan lebih jika menjadi Wakil Presiden (Wapres)?
Gibran Bisa Seperti JK?
Meskipun memiliki dampak yang cukup signifikan ketika maju menjadi cawapres mendampingi Prabowo, publik justru mengkhawatirkan Gibran akan tenggelam ketika sudah menjabat sebagai Wapres RI.
Fenomena kalahnya sinar Wapres juga terjadi di hampir seluruh negara demokrasi, termasuk Amerika Serikat (AS). Secara umum, posisi Wapres memang kerap dinilai tidak begitu signifikan, baik secara politik maupun pengampu kebijakan.
Michael Nelson dalam tulisannya The Curse of the Vice Presidency menyebut fenomena ini dengan “kutukan Wakil Presiden”.
Nelson melihat terdapat kecenderungan mereka yang menjabat sebagai Wapres mengalami penurunan pengaruh politik. Ini juga tidak terlepas dari posisi Wapres yang memang lemah secara konstitusional.
Namun, fenomena itu tampaknya tidak selalu terbukti. Hal itu bisa di lihat dari seorang Jusuf Kalla (JK) yang kiranya menjadi sebuah anomali dari kutukan tersebut.
Pada dua kesempatannya menjadi Wapres, yakni saat mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi, JK membuktikan dirinya bukan hanya sebuah “ban serep” karena perannya yang cukup signifikan dalam pemerintahan.
Peran yang signifikan JK itu bukan disebabkan oleh posisi Wapres yang secara tiba-tiba menguat, melainkan besarnya pengaruh personal JK.
Hal itu tampaknya bukan tidak mungkin akan terjadi pada Gibran saat mendampingi Prabowo nantinya.
Gibran kiranya juga memiliki pengaruh personal yang cukup besar. Itu sudah diperlihatkan dirinya ketika masih menjadi cawapres.
Dengan usia yang masih muda, dan mayoritas populasi Indonesia diisi oleh generasi muda, Gibran bukan tidak mungkin menjadi seorang pemimpin yang transformasional.
Bernard M. Bass dalam bukunya yang berjudul Transformational Leadership membahas peran penting komunikasi, visi, dan keberanian dalam kepemimpinan transformasional, serta bagaimana pemimpin dapat mengembangkan dan memperkuat kualitas-kualitas tersebut.
Selain itu, Bass juga mengeksplorasi hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan inovasi, perubahan organisasi, dan pencapaian tujuan yang lebih tinggi.
Berkaca pada Gibran, dengan pemahaman dirinya sebagai generasi muda Gibran tampaknya akan melakukan berbagai inovasi untuk mengembangkan generasi muda Indonesia.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mayoritas penduduk Indonesia adalah generasi muda, sehingga butuh pemimpin yang bisa memahami apa yang menjadi keresahan dan kebutuhan anak muda. Dan Gibran tampaknya memahami itu.
Argumen itu berkaca dari apa yang telah dilakukannya di Solo. Sebagai Wali Kota, Gibran telah memberi sarana dan prasarana bagi anak muda Solo untuk mengembangkan minat mereka.
Salah satu contoh kepedulian Gibran saat menjadi Wali Kota kepada anak muda adalah didirikannya Solo Techno Park yang menjadi wadah bagi anak muda Solo untuk mengembangkan minat dan bakatnya.
Menarik untuk menunggu apakah berbagai terobosan dan inisiatif yang Gibran lakukan di Solo juga akan diterapkan di level nasional saat menjadi Wapres nanti dan akan menjadi sebuah anomali dari fenomena “kutukan wapres” seperti JK. (S83)