Setelah resmi diusung untuk maju di Pilwakot Solo 2020, tudingan bahwa majunya Gibran merupakan bentuk dari politik dinasti semakin mencuat di tengah publik. Lantas, benarkah politik dinasti yang terus terjadi berakar dari genetika manusia itu sendiri?
PinterPolitik.com
Tarik-ulur majunya Gibran Rakabuming Raka di Pilwakot Solo 2020 benar-benar telah menjadi drama tersendiri. Bagaimana tidak, sajian polemik seperti adanya penolakan dari PDIP Solo sendiri turut meramaikan dugaan publik bahwa anak presiden tersebut sebenarnya tidak mendapatkan dukungan penuh dari partai banteng.
Menimbang pada usia dan pengalaman kepemimpinan, memang tidak sedikit yang menyayangkan mengapa PDIP justru lebih mengusung Gibran daripada Wakil Wali Kota Solo saat ini, Achmad Purnomo yang notabene lebih berpengalaman dan sudah pasti mendapatkan dukungan dari PDIP Solo.
Menariknya, setelah Gibran resmi ditetapkan maju bersama dengan Teguh Prakosa, Purnomo diketahui dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Istana. Tidak heran kemudian, desas-desus bahwa Purnomo ditawari jabatan sebagai kompensasi dirinya batal maju menjadi pergunjingan umum yang mencuat di tengah masyarakat.
Purnomo sendiri telah mengklarifikasi tudingan tersebut dengan menyebutnya “salah kaprah”. Tegasnya, narasi Presiden Jokowi yang menawarinya jabatan merupakan guyonan dari wartawan, dan bukannya pernyataan sang presiden.
Kendati demikian, momentum pemanggilan Purnomo yang berdekatan dengan resminya Gibran maju di Pilwakot Solo tentunya tetap menyimpan spekulasi tersendiri bahwa adanya peran Presiden Jokowi dalam keberhasilan sang anak diusung oleh PDIP.
Adanya dugaan campur tangan Presiden Jokowi dalam pengusungan Gibran memang bukanlah barang baru. Dengan “lumrahnya” praktik politik dinasti di republik ini, bahkan juga di berbagai penjuru dunia, majunya sang anak presiden menggantikan Purnomo dinilai sebagai sesuatu yang tidak perlu dikejutkan.
Lantas, mengapa politik dinasti ini terjadi?
Telah Mengakar?
Melacak bukti sejarahnya, politik dinasti bahkan telah ditemukan sejak 3050 SM di Mesir Kuno. Menurut dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Dwipayana, benih politik dinasti memang telah mengakar secara tradisional. Artinya, sistem politik tersebut pada dasarnya adalah sistem politik awal yang dikembangkan oleh peradaban manusia.
Dengan cara kerjanya yang menjalankan kekuasaan politik oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga atau kekerabatan. Politik dinasti menjadi suatu hal yang tidak terhindar menimbang pada sistem politik awal yang berbentuk kekerajaan.
Kendati gelombang demokratisasi, ataupun proposal meritokrasi terus didengungkan, nyatanya praktik politik dinasti masih menggurita di berbagai tempat. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh Farida Jalalzai dan Meg Rincker dalam tulisannya Dynasties Still Run The World.
Dalam temuannya, disimpulkan bahwa rata-rata, satu dari sepuluh pemimpin dunia berasal dari rumah tangga yang memiliki ikatan politik. Memeriksa latar belakang 1.029 eksekutif politik – presiden dan perdana menteri – di Afrika sub-Sahara, Asia, Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin dari tahun 2000 hingga 2017, mereka menemukan bahwa 119, atau 12 persen, dari semua pemimpin tersebut memiliki hubungan kekeluargaan.
Di Indonesia sendiri, menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dini Suryani, sejak runtuhnya rezim Orde Baru, praktik politik dinasti justru semakin subur tumbuh di Indonesia.
Itu misalnya terlihat dari eksisnya politik dinasti di banyak wilayah, seperti Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroeddin di Lampung, Dinasti Fuad di Bangkalan (Madura), dan tentunya Dinasti Chasan Sochib (Kelompok Rau) di Banten.
Kembali pada kasus Gibran. Dengan sang anak presiden yang belum tentu terpilih nantinya, memang menjadi cukup prematur untuk mengatakan bahwa politik dinasti telah terbentuk. Akan tetapi, merujuk pada tulisan Yoes C. Kenawas yang berjudul The Rise of Political Dynasties in a Democratic Society, tampaknya akan membuat kita berpikir dua kali atas simpulan tersebut.
Di sini, Kenawas mengkaji monopolisasi kekuatan politik oleh elite politik yang terhubung ikatan keluarga di tingkat sub-nasional (daerah) untuk mengeksplorasi penyebab yang mendasari terbentuknya politik dinasti di Indonesia. Menurutnya, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa politik dinasti dapat terbentuk di daerah.
Pertama, dengan berubahnya mekanisme pemilihan pemimpin dari sistem otoriter-terpusat (di era Orde Baru) ke sistem yang terdesentralisasi dan terdemokratisasi (sejak era reformasi), ini berkonsekuensi pada munculnya politik dinasti di tingkat daerah.
Kedua, kebangkitan politik dinasti di tingkat daerah terjadi karena kemampuan elite yang berkuasa untuk menciptakan “lapangan bermain yang tidak merata” dengan mengeksploitasi jaringan keluarga dan kekayaan materi mereka untuk membantu anggota keluarganya maju atau memenangkan jabatan.
Ketiga, petahana pemegang jabatan perlu membangun politik dinasti untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi selama dan/atau setelah mereka turun dari jabatan. Petahana memilih anggota keluarganya karena mereka adalah alternatif yang paling dapat dipercaya oleh petahana untuk melindungi kepentingannya.
Mengacu pada Kenawas, kita dapat melihat pada prasyarat politik dinasti tampaknya terlihat dalam majunya Gibran di Pilwakot Solo. Dengan fakta PDIP Solo menunjukkan gestur penolakan, itu jelas merupakan indikasi bahwa terdapat intervensi elite yang membuat Gibran akhirnya diusung menggantikan Purnomo.
Tentu bukan rahasia lagi, di luar hubungannya yang kurang harmonis saat ini dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri, Presiden Jokowi dinilai masih memiliki pengaruh yang cukup untuk membuat Gibran mendapatkan restu dari putri Soekarno tersebut.
Lantas, jika sudah begini, mengapa Presiden Jokowi rela mempertaruhkan citranya sebagai politisi dengan mendorong Gibran maju?
Gen Egois adalah Akarnya?
Secara politis, mungkin mudah menyimpulkan, dengan fakta Presiden Jokowi tidak lagi bertarung di gelaran Pilpres 2024, ia tidak lagi memiliki beban untuk mempertahankan citra politiknya. Akan tetapi, bagaimana jika alasannya jauh lebih dalam dari itu?
Seorang Darwinian bernama Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene tampaknya dapat memberikan kita penjelasan yang mencengangkan terkait mengapa praktik politik ini dapat terjadi. Dalam bukunya, Dawkins menjelaskan terdapat mekanisme gen yang dapat mendorong sifat atau perilaku manusia sebagai inangnya.
Di sini, Dawkins memperkenalkan istilah selfish gene atau gen egois untuk menggambarkan bagaimana gen bekerja. Seperti halnya teori evolusi yang menyebut spesies akan berusaha mempertahankan eksistensi atau keberlangsungan dirinya. Dawkins kemudian menarik penjelasan tersebut sampai ke level gen dengan menyebutkan bahwa gen juga berperilaku demikian.
Contoh ekstrem dalam menjelaskan hal ini adalah perilaku ibu yang melindungi anaknya. Mengacu pada selfish gene, ditolongnya sang anak terjadi karena gen yang ada di si ibu ingin mempertahankan replikasi dirinya yang berada di si anak. Artinya, motif penolongan tersebut adalah motif evolusi untuk mempertahankan keberlangsungan gen atau keturunannya.
Eko Wijayanto dalam bukunya Memetics dan Genetika Kebudayaan menjelaskan bahwa konsep gen egois turut andil dalam membuat manusia sebagai inang gen berperilaku egois. Ini dalam artian ingin terus mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Konteks yang disebutkan oleh Eko tampaknya menjelaskan mengapa elite yang tengah berkuasa memiliki dorongan untuk mempertahankan tampuk kekuasaannya, serta condong untuk memilih keluarganya melanjutkan kekuasaan tersebut.
Lagipula, sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan memang menjadi alat pelindung terkuat bagi keberlangsungan diri. Artinya, keinginan untuk terus berkuasa dan mendorong keluarga untuk berkuasa adalah determinasi gen dalam tubuh sang inang agar probabilitasnya untuk terlindungi menjadi lebih besar.
Penjelasan sosio-biologi ini tentunya bukanlah penjelasan paripurna. Akan tetapi, sedikit tidaknya kita dapat memahami bahwa terbentuknya politik dinasti yang terus terepodruksi di berbagai penjuru dunia, bahkan di Indonesia tampaknya adalah fenomena lumrah dalam perspektif teori evolusi.
Menarik untuk ditunggu apakah Gibran sukses mengulang kejayaan sang ayah atau tidak. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.