Jelang dilantik sebagai Wali Kota Solo bulan depan, Gibran Rakabuming Raka diharapkan dapat menjalankan pemerintahan yang tidak bersifat kompromistis dan akomodatif terhadap kepentingan parpol. Lalu, akankah hal itu dapat terjadi dengan koalisi politik pendukung Gibran yang besar?
Ratusan sosok pemimpin daerah hasil proses demokrasi pada Pilkada 2020 lalu akan segera dilantik pada pekan ketiga Februari mendatang. Selain digelar di tengah pandemi Covid-19, isu dinasti politik juga mengiringi ajang tersebut saat dua anggota keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut bertarung dan kebetulan memenangkan laga.
Kemudaratan dari dinasti politik langsung menggelayuti ekosistem demokrasi tanah air ketika kecondongan itu bahkan direpresentasikan oleh sosok RI-1, yang menorehkan sejarah sebagai Presiden Indonesia pertama yang memiliki putra sebagai kepala daerah aktif.
Eksklusivitas karena hanya akan melenggangkan kekuasaan segelintir sosok, hingga fungsi kontrol kekuasaan yang melemah dan tidak berjalan efektif, dikatakan menjadi “hantu” bagi demokrasi Indonesia akibat dinasti politik.
Akan tetapi, isu mengenai dinasti dalam blantika politik level daerah nyatanya bukanlah hal baru. Akademisi bidang politik Yoes Kenawas dalam tulisannya yang berjudul Dynastic politics: Indonesia’s new normal menjabarkan kecenderungan tersebut.
Sejak kontestasi elektoral daerah pada tahun 2015 hingga 2018, nyatanya 117 politisi dengan tendensi dinasti berhasil memenangkan Pilkada. Data tersebut menggambarkan peningkatan tajam dari angka 39 sosok bertendensi serupa yang merengkuh kursi eksekutif daerah pada akhir 2013.
Dan selaras dengan tajuk tulisan Kenawas, tendensi keberadaan dinasti politik yang makin meluas tampaknya memang menjadi kenormalan baru plus tren tersendiri di tanah air.
Seolah strategi regulasi apapun tidak akan cukup untuk membendung pertumbuhan dinasti politik, ketika relasi patronase antara aktor atau politisi dengan kecenderungan ber-dinasti dan partai politik (parpol) juga tak banyak menunjukkan sinyal perubahan.
Baca juga: Mungkinkah Risma vs Gibran?
Kembali pada konteks keluarga Presiden Jokowi. Sang anak Gibran Rakabuming Raka yang berhasil memenangkan Pilkada Solo berulang kali menampik predikat dinasti politik yang jamak disematkan pada eksistensi politiknya kini.
Bagaimanapun, kini tinggal hitungan pekan bagi Gibran untuk berdinas sebagai Wali Kota. Sejumlah harapan digantungkan pada suksesor FX Hadi Rudyatmo itu, salah satunya yang datang dari ranah akademisi dan disampaikan Kepala Pusdemtanas LPPM Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Sunny Ummul Firdaus.
Sunny memberikan sejumlah masukan esensial, yang salah satunya menekankan pentingnya keseimbangan politik. Bahwa jangan sampai Solo di bawah kepemimpinan Gibran menjadi pemerintahan yang cenderung bersifat kompromistis, menjadi wadah oligarki politik, serta menjadi akomodatif terhadap kepentingan parpol.
Lantas, mampukah Gibran melakukan hal tersebut?
“Little Soeharto” Edisi Solo?
Masukan dari kalangan akademisi tersebut agaknya memang memiliki signifikansi tersendiri bagi kepemimpinan Gibran kelak. Namun, ketika berbicara realita mengenai politik level daerah di Indonesia secara umum, tampaknya justru akan menegasikan harapan tersebut.
Hal itu dijabarkan dalam kajian Ryan Tans dalam bukunya yang berjudul Mobilizing Resources, Building Coalitions: Local Power in Indonesia. Dengan mengutip Vedi Hadiz, pada publikasi itu disebutkan karakteristik kekuatan politik lokal di Indonesia dalam bingkai political sociology of local elites.
Definisi dari ihwal tersebut ialah bahwa mayoritas karakteristik politik lokal Indonesia sampai saat ini masih sulit dilepaskan dari kecenderungan oligarki kedaerahan corak warisan Orde Baru, seperti didominasi oleh para birokrat, organisasi kemasyarakatan, hingga pengusaha yang memiliki relasi kuat atau terbalut dalam parpol.
Dan ketika menghadapi kompetisi elektoral dan terjadi mobilisasi koalisi secara komprehensif, pada akhirnya para elite lokal yang terpilih harus mengakomodasi ekspektasi kolektif dari kelompok determinan di atas serta konsensus koalisi parpol. Ihwal yang jamak dikenal dengan politik transaksional.
Menariknya pada konteks Gibran, koalisi politik penyokongnya adalah yang terbesar sejak era reformasi di Solo. Nyaris serupa dengan koalisi sang ayah di level nasional, yang kemudian dinilai menjadi salah satu faktor disematkannya predikat “little Soeharto” oleh media asal Hong Kong beberapa waktu lalu.
Oleh karenanya, harapan bagi Gibran agar tidak kompromistis, menjadi wadah oligarki politik, dan tak menjadi akomodatif terhadap kepentingan parpol agaknya cukup sulit untuk terjadi.
Kendati demikian, Josep M. Colomer dalam The More Parties, the Greater Policy Stability yang menyebut koalisi besar dalam sistem multi partai memberikan derajat stabilitas kebijakan maupun politik yang lebih tinggi.
Baca juga: Gibran Ancam Internal PDIP?
Mengacu pada postulat Colomer itu, di balik probabilitas transaksional yang ada, secara politik koalisi besar penyokong Gibran bukan tidak mungkin akan memberikan stabilitas maupun kondusivitas kebijakan serta politik yang lebih terjamin di Solo. Ihwal yang sekaligus dapat menasbihkan pula PDIP sebagai penguasa Surakarta.
Apalagi sebagai suksesor FX Hadi Rudyatmo sebagai senior di PDIP, Gibran tentu dapat mewarisi atau paling tidak mengambil inspirasi dari ketokohan sosok yang disebut sangat disegani oleh berbagai elemen politik, tokoh masyarakat, hingga akar rumput di Solo itu.
Lebih jauh, jika hal tersebut dapat dieksekusi dengan baik oleh sang putra sulung Presiden selama kepemimpinannya kelak, tak menutup kemungkinan pula Gibran menjadi simbol sekaligus jawaban atas persoalan regenerasi PDIP, utamanya dalam konteks kontestasi elektoral dengan level yang lebih tinggi di masa yang akan datang.
Lantas, mungkinkah prospek Gibran tersebut dapat terwujud?
Bergantung Arah Pragmatisme PDIP?
Sebagai sosok politisi muda pendatang baru yang langsung sukses di debut elektoralnya, Gibran di saat yang sama juga memiliki prospek serta membuka peluang bagi dirinya sendiri untuk berbicara lebih jauh kelak di kancah politik nasional.
Setelah berhasil memenangkan Pilkada 2020 edisi Solo, Gibran disebut-sebut berpeluang menapaki jejak sang ayah yang juga mengawali karier politik gemilang hingga RI-1 dari kota yang sama. Sebuah proyeksi yang tampaknya jauh lebih besar dari sekadar simbol regenerasi PDIP.
Akan tetapi, pragmatisme yang menjadi nadi parpol di Indonesia kekinian agaknya menjadi ganjalan terbesar di kemudian hari ketika berbicara karier politik Gibran.
Baca juga: Investigasi Gibran Berlalu Begitu Saja?
Muhadam Labolo dalam Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia menyebut, dalam iklim politik Indonesia saat ini, untuk mencapai kekuasaan ideologi partai kerap kali dilupakan, sementara kemudian perilaku politik pragmatis dikedepankan.
Apalagi ketika bercermin pada relasi antara sang ayah, Presiden Jokowi dan PDIP sendiri yang disebut tak seharmonis yang terlihat. Hal ini disiratkan Leo Suryadinata dalam Golkar’s Leadership and the Indonesian President, bahwa riak keretakan hubungan Jokowi dan PDIP sebenarnya telah terjadi sejak Pilpres 2014. Kala itu, sejumlah sosok di internal PDIP disebut kurang “menyukai” eks Wali Kota Solo itu.
Menurut Leo, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri sesungguhnya mengetahui turbulensi internal tersebut. Akan tetapi, tingginya elektabilitas Jokowi kala itu membuat Mega pada akhirnya tetap mengusungnya sebagai calon presiden (capres).
Intrik tersebut kiranya cukup menggambarkan bagaimana peluang karier politik Gibran ke depannya. Paling tidak intrik hampir serupa telah dialami Gibran di awal pencalonannya saat terdapat sedikit gesekan berhadapan dengan pencalonan kader sarat pengalaman PDIP di Solo, Achmad Purnomo yang kemudian harus “mengalah”.
Pragmatisme yang juga mungkin akan membuat sokongan PDIP terhadap Gibran saat ini mungkin akan berbeda, ketika Presiden Jokowi telah lengser dan tak dapat menjabat lagi secara konstitusional pada 2024 mendatang.
Ditambah lagi eksistensi sentimen minor personal maupun akibat tendensi dinasti politik terhadap Gibran yang dapat berpengaruh pada dinamika elektabilitasnya, yang secara tidak langsung akan sangat berpengaruh pula pada dukungan dari kendaraan politik baginya ke depan.
Peluang di tengah pragmatisme itu mungkin tinggal kemungkinan apabila Jokowi berhasil mempertahankan atau membangun poros politik baru yang secara langsung dapat memberikan jalan bagi karier politik Gibran.
Akan tetapi, serangkaian analisa di atas masih sebatas presumsi semata dan masih akan sangat cair ke depannya dalam realita dinamika politik. Yang jelas, ekspektasi positif bagi Gibran sebagai politisi muda yang telah terpilih sebagai pemimpin di Solo masih sangat terbuka untuk diwujudkannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Baca juga: Trah Jokowi-Gibran Sebatas di Solo?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.