Sempat membuat heboh, wacana reshuffle kabinet Indonesia Maju belakangan hilang dari perbincangan. Mengapa demikian? Mungkinkah ini pertanda bahwa wacana tersebut hanya gertakan belaka?
Kalau kalian pernah bekerja dalam suatu tim, entah itu tim pekerja kantoran atau hanya sekadar tim kelompok belajar, maka pasti kalian akan menyadari pentingnya sebuah sistem. Yess, dengan adanya sistem, masing-masing orang bisa memaksimalkan potensinya agar tim mereka bisa bekerja secara maksimal untuk memenuhi target.
Yap, tentunya pembagian peran dalam tim disesuaikan dengan keahlian dari masing-masing anggotanya agar berjalan efektif. Pandangan ini juga jadi dasar sebuah pemerintahan membentuk kabinet menterinya.
Nah, layaknya tim-tim di perkantoran, suatu kabinet kementerian juga kerap melakukan rotasi anggotanya. Ngomong-ngomong soal rotasi, setidaknya dalam dua bulan terakhir Kabinet Indonesia Maju Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut akan melakukan reshuffle yang ke-8.
“Segera!” kata Jokowi, ketika ditanya para wartawan kapan akan melakukan reshuffle menteri, 29 Maret 2023 silam.
Namun, setelah heboh-heboh spekulasi menteri mana yang akan di-reshuffle, setidaknya dalam kurang dari satu bulan terakhir isu tersebut tiba-tiba saja menghilang dari obrolan media dan publik. Padahal, setelah Jokowi melempar wacana reshuffle, orang-orang sudah liar berspekulasi menentukan tanggal kapan Jokowi akan mengganti anggota kabinetnya.
Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi, misalnya, menduga reshuffle menteri akan dilakukan pada tanggal 12 April.
Oleh karena itu, cukup menggelitik rasanya untuk kita pertanyakan, mengapa wacana reshuffle yang sempat seheboh itu, tiba-tiba saja tidak lagi jadi buah bibir para politisi dan masyarakat? Apakah mungkin ada dampak dari sebuah agenda politik?
Sejak Awal Hanya Gertakan?
Dalam beberapa kesempatan, Jokowi menyebut bahwa alasan politik tidak pernah jadi penyebab dirinya melakukan reshuffle. Akan tetapi, seperti yang dikatakan pengamat politik Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, kegentingan reshuffle pasti ditentukan dua hal, yaitu kinerja dan alasan politik.
Masalahnya, kalau reshuffle memang didasarkan pada persoalan kinerja, seharusnya hal tersebut dilakukan secara mantap dan sesegera mungkin, demi meminimalisir kinerja suatu kementerian yang tidak sesuai target. Sementara, kalau misalkan karena alasan politik, well, tentunya hal tersebut perlu melalui proses yang sangat hati-hati, dan bisa dinegosiasikan.
Meskipun kita tidak bisa secara gamblang menyebutkan reshuffle kabinet yang terbaru ini adalah karena alasan politik, kita setidaknya bisa berspekulasi dengan cukup meyakinkan. Tentunya kita semua mungkin masih teringat bagaimana hiruk-pikuk reshuffle kabinet begitu membara setelah Partai NasDem menjadikan Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres)-nya.
Kecurigaan sentimen politik pada NasDem pun seakan terkonfirmasi oleh Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto, yang merespons pertanyaan wartawan terkait absennya perwakilan Partai NasDem saat Jokowi melakukan rapat dengan partai koalisi pemerintah tentang wacana reshuffle pada 2 April 2023. Saat itu, Yandri menjawab: “Alasannya mungkin teman-teman sudah tahu kali ya.”
Bisa kita duga memang hal itu mungkin berkaitan dengan pernyataan Anies dan sejumlah politisi NasDem yang seakan menyerang kabinet Jokowi beberapa bulan silam. Politikus NasDem, Zulfan Lindan, misalnya, pernah menyebutkan bahwa Anies adalah sosok anti-tesis Jokowi.
Kemudian, Anies sendiri hampir setiap saat melempar kritik terhadap pemerintah, contohnya seperti pernyataannya yang mengatakan pemerintah Jokowi cenderung kerap membungkam kritik. Semua “serangan” dari Anies itu pun selalu berhasil menyita perhatian publik.
Maka dari itu, wajar saja ketika kabar reshuffle ramai dibicarakan, nama-nama menteri dari kalangan Partai NasDem seperti Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate, Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, turut digosipkan akan diganti oleh Jokowi.
Nah, berdasarkan kecurigaan-kecurigaan ini, kalau memang wacana reshuffle pada awalnya termotivasi oleh alasan politik semata, bisa kita spekulasikan bahwa hilangnya perbincangan soal reshuffle mungkin adalah pertanda bahwa ke-jengkelan politik yang dirasakan kabinet Jokowi saat ini sudah teratasi. Mungkin saja, pesan dari Jokowi dan jajarannya tentang “kenakalan” Partai NasDem dan Anies sudah bisa dipahami kedua pihak.
Sejujurnya, tidak heran bila hal tersebut memang jadi alasan hilangnya wacana reshuffle karena di dalam politik pun ada istilah yang disebut political bluffing atau gertakan politik. Andrew Kenealy dalam tulisannya The Art of the Bluff: How Presidents Can Leverage Deception, menyebutkan bahwa gertakan politik adalah hal lumrah yang kerap dilakukan seorang pejabat, terlebih lagi seorang presiden.
Yap, gertakan politik dari seorang presiden di sini disoroti secara khusus, karena ketika seorang kepala negara melempar sebuah gertakan, sesungguhnya bukan gertakannya-lah yang dijadikan poin utama, melainkan kapasitasnya sebagai seorang kepala negara demokrasi yang umumnya mendasarkan keputusannya berdasarkan suara dari jajarannya.
Sederhananya, kalau seorang presiden menggertak salah satu bawahannya di ruang publik, itu menjadi pesan bahwa mungkin semua orang di jajarannya sudah sangat tidak suka pada orang yang digertak tersebut, dan nasibnya murni bersandar pada itikad baik dari sang presiden.
Tentunya, ini bisa jadi pesan yang sangat tidak baik bagi orang yang digertak, apalagi bila yang digertak tersebut adalah seorang kalangan pebisnis, seperti Surya Paloh, yang karirnya sangat bergantung pada kepercayaan dan reliabilitas para pemegang kepentingan di Indonesia.
Dengan demikian, kembali lagi, bisa kita lihat bahwa mungkin alasan reshuffle tidak lagi dibicarakan adalah karena gertakan yang disampaikan Jokowi sudah dimengerti oleh pihak NasDem.
Kalau misalnya dugaan ini benar, maka sebenarnya ini menandakan suatu fenomena politik yang cukup mengkhawatirkan di Indonesia. Apakah itu?
Jokowi Terapkan Budaya Ketakutan?
Ada sebuah survei menarik dari Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada tahun 2021, yang mengungkap fakta bahwa ternyata di bawah rezim Jokowi semakin banyak warga Indonesia yang takut berbicara masalah politik. Kalau tahun 2009 hanya 14 persen, pada 2021 jumlahnya menjadi 39 persen. Ketakutan ini muncul karena adanya persekusi terhadap beberapa orang yang mengkritik pemerintah.
Kalau kita merefleksikan pada pembicaraan kita di tulisan ini tentang gertakan Jokowi, sepertinya bisa kita katakan bahwa rasa ketakutan tentang politik mungkin tidak hanya dirasakan para warga sipil biasa, tapi mungkin juga oleh politisi-politisi besar seperti Surya Paloh.
Bisa jadi, ini adalah indikasi bahwa metode politics of fear atau menerapkan rasa takut dalam politik di kabinet saat ini adalah metode yang lumrah digunakan. Politics of fear sendiri adalah taktik yang sangat efektif dan kerap digunakan untuk membenarkan perluasan kekuasaan pemerintah.
Kalau memang benar politik ketakutan dalam kepemimpinan Jokowi memiliki peran yang spesial, maka sebenarnya kita bisa sedikit berkaca pada apa yang dikatakan Niccolò Machiavelli tentang gaya kepemimpinan politik. Machiavelli percaya rasa takut adalah motivator yang lebih baik daripada rasa suka. Itulah sebabnya rasa takut merupakan alat yang lebih efektif bagi para pemimpin untuk mencapai tujuan-tujuannya, ketimbang menuntut rasa hormat.
Dengan demikian, di balik dugaan wacana reshuffle sebagai alat gertakan pada NasDem, mungkin kita bisa ambil kesimpulan bahwa Jokowi barangkali adalah tipe pemimpin yang memiliki nilai Machiavellian yang cukup kuat.
Dilihat dari persepektif yang lebih luas, rasa takut tersebut sepertinya juga berdampak pada kiprah politik Anies Baswedan sebagai capres pilihan NasDem. Bisa jadi, alasan mengapa Anies belakangan juga jarang terlihat di media sosial adalah karena ia pun terdampak oleh sikap Surya Paloh untuk setidaknya sedikit menakuti potensi gestur politik Jokowi.
Sebagai penutup, tentu ini semua hanyalah dugaan semata. Yang jelas, besar harapannya apapun taktik politik yang digunakan para penguasa, pada akhirnya itu bisa meminimalisir perpecahan di antara kita. (D74)