HomeNalar PolitikNasib Gerindra Sebagai Partai Post-Democracy

Nasib Gerindra Sebagai Partai Post-Democracy

Fenomena Post-Democracy disebut-sebut terjadi pada Partai Gerindra. Bagaimana pengaruhnya?


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]artai Gerindra adalah sebuah fenomena. Iklan-iklannya di media elektronik begitu mengena di masyarakat. Logo burung garuda milik mereka sangat melekat di benak masyarakat. Bagi sebuah partai yang relatif baru, Gerindra berhasil memesona jutaan pemilih negeri ini.

Sosok Ketua Umum mereka, Prabowo Subianto berperan besar bagi meroketnya perolehan suara partai ini. Mantan Danjen Kopassus ini menjelma menjadi salah satu figur politik tersohor di tanah air. Saat ini, sulit untuk memisahkan sosok Prabowo dari Gerindra. Hal ini tergambar dari upaya gencar Gerindra untuk mendorong Prabowo untuk kembali menjadi capres di Pilpres 2019.

Dalam kadar tertentu, keterikatan kuat Gerindra dengan sosok Prabowo ini amat dekat dengan karakteristik partai post-democracy. Istilah post-democracy ini sendiri pertama kali dikemukakan oleh Colin Crouch, akademisi politik dari Warwick University dalam bukunya yang berjudul Post-Democracy”.

Menarik untuk melihat kiprah Gerindra sebagai partai dengan karakteristik tersebut. Penting untuk diketahui terlebih dahulu, apakah maksud dari konsep post-democracy yang dikemukakan Crouch tersebut. Lantas, bagaimana pengaruh karakteristik tersebut bagi Gerindra?

Memasuki Masa Post-Democracy

Secara definisi, Crouch menyebut bahwa post-democracy adalah suatu kondisi di mana institusi-institusi demokrasi masih tetap ada dan berjalan, tetapi cenderung pada hal yang bersifat formal saja (formal shell). Dalam masyarakat seperti ini, Pemilu tetap berjalan, lalu terjadi pergantian pemerintahan, dan juga kebebasan berekspresi tetap berjalan. Tetapi penerapannya menurun secara progresif. Kondisi ini tidak berarti kembali ke masa pra demokrasi yang ditandai dengan pemimpin tunggal dan otoriter.

Crouch menggambarkan bahwa demokrasi yang mengandalkan masyarakat – terutama kelas menengah – mengalami pergeseran. Ada kelompok baru yang mengambil alih peran masyarakat tersebut. Berbeda dengan kelas menengah, kalangan baru ini lebih berorientasi pada populisme untuk menopang pemerintahan yang eksklusif.

Nasib Gerindra Sebagai Partai Post-Democracy

Pada kondisi post-democracy, sekelompok kecil elite mengambil alih peran masyarakat luas dalam demokrasi. Disebutkan bahwa elite-elite tersebut mengkooptasi institusi-institusi demokrasi. Mereka memegang peranan besar dalam penentuan kebijakan publik di dalam masyarakat.

Secara khusus, ada sejumlah karakteristik dari partai yang tergolong ke dalam post-democracy. Karakteristik ini disarikan oleh Firman Noor dalam Jurnal Penelitian Politik LIPI berjudul  “Fenomena Post Democracy Party di Indonesia”.

Noor menafsirkan bahwa ada lima karakter utama dalam partai post-democracy. Karakter pertama adalah partai sebagai firma politik. Dalam hal ini, partai memiliki keunikan dalam membentuk inner circle (lingkaran dalam) yang eksklusif.

Karakter kedua, self-sufficient, merupakan sebuah kondisi di mana partai bisa memenuhi sendiri kebutuhan finansialnya melalui peran pendiri dan korporatnya. Kemudian ada karakter ketiga, yaitu pragmatis-personal, yakni mengejar suara sebanyak-banyaknya dan dikontrol oleh figur pendiri yang mengontrol keseharian partai.

Selain itu, partai post-democracy juga memiliki karakter top-down dalam menyusun kebijakan partai. Terakhir, partai semacam ini cenderung memiliki masalah dalam menjaga loyalitas kader dan partisipasi yang murni.

Gerindra Sebagai Partai Post-Democracy

Klasifikasi Gerindra sebagai partai post-democracy diungkapkan oleh Firman Noor. Noor menyoroti beberapa kondisi yang menyebakan partai berlogo Garuda tersebut dapat dianggap memiliki karakter partai post-democracy.

Kekuasaan Gerindra misalnya cenderung berputar di elite ekonomi-politik dalam bentuk trah Djojohadikusumo. Prabowo dalam konteks ini, menjadi elite utama dari meroketnya partai yang menempati urutan ketiga di Pemilu 2014 ini. Selain itu, di sana juga ada sosok sang adik Hashim Djojohadikusumo. Kakak-beradik ini menjadi kunci dari karakteristik firma politik pada Gerindra.

Baca juga :  Anies Bantu Prabowo Melupakan Jokowi?

Peran Hashim sebagai pengusaha memang tergolong amat sentral dalam pendirian partai tersebut. Situs Gerindra pernah mencatat bahwa para pendiri sempat pesimis sebelum akhirnya Hashim muncul memberikan dukungan. Kekuasaan Gerindra kemudian berputar di antara Prabowo-Hashim dan lingkar terdekat mereka.

Selain menimbulkan karakter firma politik, Prabowo dan Hashim juga berperan dalam proses pencarian dana partai tersebut sehingga dapat memiliki karakter self-sufficient. Kemapanan finansial para pendiri membuat partai tidak harus banyak kerepotan dalam mencari dana.

Gerindra dapat dikategorikan sebagai self-financing party atau partai yang bisa memenuhi kebutuhan dananya sendiri. Secara khusus, kecukupan dana ini dipenuhi melalui dana elite partainya, bukan berasal dari kader. Disebutkan bahwa jajaran partai dari tingkat pusat hingga level paling bawah memang menikmati guyuran dana para elite Gerindra tersebut.

Kemudian, sebagai personality party, Gerindra jelas memiliki karakter pragmatis-personal. Mau tidak mau, partai nomor urut dua pada Pemilu 2019 nanti ini memang bertumpu pada sosok Prabowo Subianto. Prabowo memiliki peran besar mulai dari pendirian partai hingga urusan paling remeh sekalipun. Beberapa orang bahkan menilai Gerindra memang didirikan semata-mata untuk menjadi kendaraan politik Prabowo.

Partai ini juga tergolong bersikap sangat pragmatis. Narasi-narasi populis seperti penderitaan rakyat yang kerap didengungkan dilakukan hanya untuk menarik suara masyarakat sebanyak-banyaknya.

Sebagaimana disebut sebelumnya, Gerindra amat bertumpu pada Prabowo dan “lingkar satu” kekuasaannya. Berdasarkan kondisi tersebut, mudah untuk mengatakan bahwa laju Gerindra sebagai partai berjalan secara top-down.

Gerindra juga dapat dikatakan tidak memiliki loyalitas atau partisipasi yang cukup kuat. Partai ini tidak lahir dari basis massa spesifik seperti PKB (Nahdlatul Ulama), PAN (Muhammadiyah), atau PKS (kelompok Tarbiyah/masyarakat Muslim perkotaan).

Partai berlogo Garuda ini memang sulit dikategorikan siapa massa akar rumputnya. Hal ini membuat sulit untuk mendeteksi massa seperti apa yang loyal dan aktif berpartisipasi untuk Gerindra.

Meneropong Nasib

Lantas, bagaimana nasib Gerindra sebagai partai post-democracy seperti disebut di atas? Dalam jangka pendek, terlihat bahwa karakter-karakter yang dimiliki partai tersebut berbuah manis. Akan tetapi, sepertinya karakter seperti ini bisa menyulitkan partai berlogo Garuda ini di masa depan.

Hal ini misalnya berlaku dalam hal firma politik dan self-sufficient. Belakangan, partai ini dirumorkan tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dananya secara konstan. Beredar kabar bahwa kini aliran dana ke Gerindra tidak lagi sederas dulu.

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Spekulasi soal mulai cekaknya kantong pribadi Prabowo memang telah lama menyeruak. Beberapa orang menyoroti pengeluarannya yang begitu besar di masa Pilpres 2014. Sementara itu, bisnis-bisnis mantan Danjen Kopassus ini juga tengah tersendat, sebagaimana disebut politikus Senayan Fahri Hamzah.

Di saat bersamaan, Hashim dikabarkan mulai berpikir ulang untuk mengalirkan uang ke partai yang diketuai kakaknya tersebut. Hashim disebut-sebut mulai berbeda pendapat dengan kakaknya dalam urusan politik Islam. Sebagaimana diketahui, Gerindra belakangan begitu dekat dengan kelompok Islam konservatif seperti PKS dan Front Pembela Islam (FPI). Hashim disebut-sebut tidak sepakat dengan strategi Gerindra menggandeng kelompok-kelompok tersebut.

Kondisi ini jelas berbahaya bagi Gerindra. Sebagai partai self-sufficient yang mengandalkan kocek elitenya, Gerindra jelas kesulitan mencari dana jika harus kehilangan sumber dana utamanya tersebut. Padahal, inner circle Prabowo dalam firma politiknya saat ini tidak banyak diisi oleh pengusaha-pengusaha berkocek tebal.

Boleh jadi ini menggambarkan penyebab Prabowo mengirim video untuk menggalang dana untuk aktivitas politik partainya. Karakter self-sufficient ternyata tidak bisa bertahan lama sehingga sumber dana mereka yang bocor harus segera ditambal.

Dari segi pragmatis-personal, Gerindra juga sepertinya tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan atas Prabowo. Kondisi ini bisa menyulitkan partai tersebut ketika Prabowo sudah habis masa jayanya sebagai politikus.

Hingga saat ini, masih belum ditemukan siapa yang bisa mengisi posisi Prabowo di pucuk kepemimpinan apalagi untuk dijual ke masyarakat sebagai capres. Hal ini memaksa mereka berlindung di balik efek ekor jas dari Prabowo.

Di saat Prabowo tengah mempertimbangkan untuk tidak lagi melaju sebagai capres, kader-kader partai ini justru terus “memaksa” sang ketua umum untuk kembali turun gelanggang. Untuk saat ini, mereka bisa saja tetap untung di pemilihan legislatif. Akan tetapi, di masa yang akan datang mereka akan kesulitan mencari figur yang mampu menggerek perolehan suara sekaligus menjamin finansial partai.

Lemahnya loyalitas akar rumput mereka juga bisa menjadi masalah di massa yang akan datang. Loyalitas pemilih mereka tergolong artifisial karena hanya mengamankan perolehan suara di Pemilu saja. Akan tetapi, perolehan suara ini tergolong hanya akan berlaku di satu pemilihan saja.

Sebagai partai baru, mereka memang tidak memiliki kader tradisional seperti PKB dengan NU atau PAN dengan Muhammadiyah. Hal ini dapat membuat perolehan suara mereka di satu Pemilu menghilang di Pemilu berikutnya.

Idealnya, Gerindra mulai memperhitungkan strategi baru, alih-alih mempertahankan karakteristiknya sebagai partai post-democracy. Jika tidak, nasib mereka yang tengah jaya di saat ini bisa saja berujung petaka di masa depan. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...