Site icon PinterPolitik.com

Gerindra Menanti ‘Momentum’ Mahatir

Kemenangan yang jatuh pada Mahatir Muhammad di Malaysia, membuat oposisi dalam negeri mulai berangan-angan.


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]emenangan Mahatir Muhammad masih akan manis dibahas. Bagaimana tidak? Banyak yang menyebut ini adalah bentuk ‘pembaruan’ dan kemenangan hakiki di Malaysia. Sejak setahun belakangan Malaysia memenuhi pemberitaan dengan skandal korupsi dan tingkah polah Perdana Menteri sekaligus inkumbennya, Najib Razak. Mulai dari korupsi fantastis dalam 1MDB, aksi pembubaran parlemen, tertidur saat KTT ASEAN di Filipina, cuci uang dengan aktor Hollywood, hingga mempercepat jadwal Pemilu. Menghadapi jurus-jurus Najib, tak mengherankan kemenangan Mahatir dianggap sebagai penawar.

Gegap gempita kemenangan Mahatir tak hanya dirasakan rakyat Malaysia saja, oposisi dalam negeri pun turut memberi pandangan yang positif. Mahatir adalah satu-satunya oposisi yang mampu melengserkan kekuasaan inkumben alias Partai UMNO, yang sudah 10 tahun menguasai Malaysia.

Kini, seruan optimisme untuk mengalami kemenangan serupa mulai diangankan politisi dalam negeri. Ahmad Riza Patra, Ketua DPP Gerindra adalah salah satunya. Ahmad Riza menyebutkan bahwa kemenangan Mahatir bisa menginspirasi Gerindra untuk menemui kemenangan yang sama. Tak hanya berangan, bahkan kakak kandung dari Ketua Umum Partai Garuda tersebut, berkeyakinan inkumben pasti akan kalah, “Ini inkumben 10 tahun bisa dikalahkan. Jadi saya yakin pada 2019 nanti inkumben kalah,” jelasnya.

Najib Razak (sumber: Geotimes)

Pernyataan Ahmad Riza, mengingatkan pada hal yang pernah disampaikan oleh Patrick J. Kenney mengenai momentum politik. Dalam politik, momentum ini berkaitan erat dengan sisi psikologis masyarakat dalam melihat sebuah fenomena yang dianggap langka atau bersejarah. Fenomena politik tersebut, seperti yang dijelaskan oleh Kenney, diglorifikasi oleh politisi, lantas mempesona masyarakat, terus dibombardir oleh media, dan tak jarang dimistifikasi (dianggap ajaib) oleh para akademisi. Hingga akhirnya, sebuah fenomena melahirkan kekuatan tersendiri yang disebut dengan momentum.

Mometum atau yang populer disebut Big Mo ini, dalam perjalanannya akan berkembang menjadi sebuah efek bandwagon yang oleh Neil Mahotra, profesor ekonomi politik dari Stanford University, punya arti sebagai sebuah fenomena psikologi di mana masyarakat melakukan atau memutuskan suatu hal di luar kepercayaan atau idenya, hanya karena melihat orang lain melakukan hal yang sama. Seirama dengan Robert K. Godeil dalam The Journal of Politics 1994, efek ini sangat banyak ditemui dalam dunia politik dan juga pasar gaya hidup.

Kemenangan Mahatir yang diglorifikasi oleh politisi, mempesona masyarakat, dan terus menerus dibahas oleh media, sudah menggenapi elemen sebagai sebuah fenomena politik. Nah, sebagai sebuah fenomena, kemenangan Mahatir ini lantas memunculkan sebuah optimisme dan euforia yang diharapkan oleh politisi Gerindra akan terjadi pula di Indonesia. Tetapi, apakah Gerindra bisa menemui bandwagon yang serupa?

Di Amerika, euforia seperti ini pernah terjadi saat Reagan yang sudah hampir satu dekade memimpin Amerika, mencalonkan diri melawan George H. W Bush. Publik Amerika sudah ‘terserang’ euforia dengan kehadiran Bush dan, seperti yang dijelaskan oleh Kenney, membuat publik memilih Bush tanpa kritis. Yang diinginkan publik memang pergantian pemimpin dan Reagan dianggap sudah waktunya mundur.

Nah, jika menarik optimisme Ahmad Riza seperti yang sudah disebutkan di atas, apakah sosok Prabowo Subianto bisa menjadi sosok sekelas Mahatir Muhammad untuk merubuhkan kekuasaan inkumben saat ini? Mampukah Prabowo menyulap euforia yang ada menjadi sebuah kemenangan hakiki bagi Gerindra? Mampukah ia menciptakan Big Mo dalam negeri?

Momentum Tanpa Pijakan

Membandingkan sosok Mahatir dengan Prabowo memang sulit, karena kontrasnya pengalaman keduanya. Selain usia yang terpaut jauh, Mahatir berusia 92 tahun dan Prabowo 66 tahun, keduanya punya pijakan karir yang berbeda, selain keadaan latar belakang sosial dan ekonomi yang juga berbeda.

Mahatir lahir dari keluarga tak terpandang. Ayahnya kepala sekolah dan ia sejak kecil harus berjualan kopi dan pisang goreng karena kependudukan Jepang. Setelah keadaannya sedikit lebih baik, Mahatir melanjutkan sekolah di Kampus Kedokteran Raja Edward VIII, Singapura. Keterlibatannya dengan politik berawal dari keaktifan dirinya untuk terus mengkritik pemerintah. Saat itu, selain demo, ia juga sering menulis dengan nama samaran “C.H.E.Det” di The Strait Times yang waktu itu masih menjadi jurnal mahasiswa.

Saat dirinya sudah resmi berpraktek sebagai dokter, Mahatir mulai masuk ke Partai UMNO. Di tahun 1959, ia naik menjabat sebagai Ketua Partai UMNO untuk daerah Kedah. Tapi sial, dirinya memang sejak awal tak bisa berhenti mengkritik, sehingga harus dipecat dan ditendang dari UMNO. Selagi dibuang, dia menulis buku berjudul The Malay Dilemma yang secara garis besar menunjuk etnis Tionghoa sebagai pihak yang mendominasi ekonomi.

Sejak PM Abdl Rahman turun, Mahatir ditarik kembali ke politik dan mendapat “kue” sebagai Menteri Pendidikan di tahun 1972, serta Menteri Perdagangan dan Industri di tahun 1978. Karirnya melesat menjadi PM Malaysia untuk periode 1981 – 2003 (22 tahun). Kini, setelah 15 tahun ‘beristirahat’ dari dunia politik dan pemerintahan, Mahatir kembali terpilih menjadi PM.

Sementara Prabowo Subianto, sejak awal memang lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, mantan Menkeu, Menteri Perdagangan dan Perindustrian, serta Menteri Riset di era Presiden Soekarno.

Berbeda dengan Mahatir, Prabowo sejak awal sudah aktif terjun di dunia militer, tepatnya sejak tahun 1974. Tak hanya itu, dirinya juga menghabiskan masa kecil dan memperoleh pendidikan di luar negeri.

Sejak dipecat Habibie karena dianggap bertanggung jawab dalam penculikan aktivis tahun 1998, Prabowo sempat menghilang sejenak dan memutuskan berkecimpung di dunia politik tahun 2004 bersama Golkar. Di tahun yang sama, ia mencalonkan diri sebagai Presiden namun kalah suara dengan Wiranto.

Di tahun 2008, dirinya mendirikan Gerindra dan kembali menjajal sebagai cawapres bersama Megawati Soekarnoputeri. Tetapi kembali kalah suara. Di tahun 2014 pun, kekalahan masih menghampirinya.

Berbeda dengan Mahatir, Prabowo belum menunjukkan apa-apa di dunia politik selain mendirikan partai dan membawa kadernya menduduki kursi utama di DKI Jakarta. Di tingkat nasional, nama Prabowo masih belum bisa menancapkan diri sebagai pemimpin kompeten yang dipercaya oleh rakyat.

Mahatir pun sebetulnya tak bisa dikatakan sebagai PM sempurna saat menjabat, sebab beberapa akademisi, salah satunya Tom Pepinsky dari Cornell University, menyebut dirinya memberlakukan pemerintahan otoriter dan sangat ‘ganas’ membungkam lawan politiknya. Salah satunya menjebloskan Anwar Ibrahim ke penjara karena mengkritiknya. Tak tanggung-tanggung, aktivis tersebut dikenai tuduhan sodomi.

Walau begitu, kepemimpinan Mahatir dianggap masih lebih membekas di publik Malaysia. Jejak-jejak pembangunannya mudah terlihat, salah satunya adalah Menara Petronas yang jadi ikon Malaysia. Dari sini, wajar bila masyarakat Malaysia memalingkan pilihannya pada ‘politisi lama’ saat dihadapkan dengan sepak terjang Najib Razak yang sudah dianggap membuat malu Malaysia.

Sementara Prabowo masih kalah namanya bila dibandingkan dengan Presiden Jokowi, sebagai inkumben. Berdasarkan survey Litbang Kompas, saat ini elektabilitas Jokowi bertengger di angka 55,9 persen sementara Prabowo berada di angka 14,1 persen. Partai Gerindra pun menempati posisi kedua di bawah PDIP, dengan nilai elektabilitas sebesar 10,9 persen.

Dengan begini, hampir pasti dikatakan bahwa Prabowo nyaris tak memiliki pijakan kuat untuk memulai momentum Mahatir. Apakah bisa hanya berpegang pada euforia semata?

Mimpi di Siang Bolong?

Kembalinya Mahatir sebagai PM Malaysia, juga didorong dengan kondisi internal yang membuat masyarakat Malaysia resah. Selain korupsi dengan nilai besar, Najib juga memberlakukan pajak besar sehingga menciptakan pengangguran luas di kalangan angkatan muda.

Bila dibandingkan degan keadaan di Indonesia, walau tidak bisa dikatakan jauh lebih baik, menurut survey SMRC yang digelar pada Desember 2017 lalu, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi sebesar 74,3 persen. Sementara Kompas melaporkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi sebesar 67,7 persen.

Dengan demikian, mengembangkan ‘momentum’ Mahatir bagi Gerindra selaku oposisi masih sulit. Masyarakat Indonesia pun tak terkena arus euforia sebesar apa yang terjadi di Amerika, sehingga memilih Bush tanpa kritis hanya karena sudah jengah dengan kepemimpinan Reagan. Big Mo yang terjadi di Indonesia, juga tak bisa bergantung hanya dari melihat cerminan euforia Pemilu Malaysia karena kebangkitan oposisi saja.

Prabowo Subianto (sumber: Jawa Pos)

Tak hanya itu, pernyataan Ahmad Riza kalau kemenangan Mahatir juga menjadi kesempatan bagi politisi tua untuk kembali aktif berpolitik juga masih bisa diperdebatkan. Menurutnya, politisi tua lebih dewasa dan matang dalam memberi kepastian. Sayangnya, ungkapan Ahmad Riza harus bertabrakan dengan hasil penelitian dari Twente University yang dilakukan oleh Carlijn Boerrigter mengenai stereotip efektifitas pemimpin berusia lanjut.

Walau dalam pembuktian ilmiah politisi tua menampilkan kecakapan dalam pengalaman kognitif, tetapi stigma ketidakefektifan (ineffectiveness) ternyata masih kuat melekat. Boerrigter memang mengambil sampel di Belanda, tetapi menurut peneliti Twente ini, stigma masih bisa kuat melekat dalam tingkatan turbulensi politik tertentu.

Angan-angan yang dikeluarkan Riza Ahmad untuk mendapatkan momentum Mahatir di Indonesia, mau tak mau harus mengingat kembali atas apa yang pernah diucapkan John Templeton, filantropi Inggris, soal fenomena Big Mo Amerika Serikat yang menurutnya cenderung reaktif. Ungkapan tersebut berbunyi, “angan-angan tersebut muncul dari pesimisme, mendewasa dalam optimisme, tetapi lantas mati dalam euforia.” (A27)

Exit mobile version