Setelah jabatan menteri dan wakil menteri telah “terbagi” ke partai koalisi – termasuk Gerindra – kini perdebatan muncul terkait posisi Kepala BIN. Pasalnya, beberapa kelompok relawan Jokowi mulai menyodorkan nama yang menurut mereka layak untuk mengganti Budi Gunawan yang telah menjadi Kepala BIN sejak 2016 lalu itu. Nyatanya, posisi ini juga disebut-sebut diincar oleh Partai Gerindra. Beberapa politikus partai tersebut bahkan sudah mulai melempar nama yang dianggap layak untuk posisi tersebut.
PinterPolitik.com
“Politicians also have no leisure, because they are always aiming at something beyond political life itself, power and glory, or happiness”.
:: Aristoteles (384-322 SM), filsuf Yunani ::
Setelah perebutan kursi menteri menjadi tajuk utama pemberitaan beberapa waktu terakhir, kini isu yang mencuat adalah terkait perebutan kursi pimpinan lembaga Badan Intelijen Negara (BIN). Di beberapa media diberitakan muncul dorongan dari beberapa kelompok, misalnya dari relawan Jokowi untuk mendorong tokoh tertentu menjadi calon Kepala BIN yang baru.
Sebagai catatan, pada saat pergantian kabinet, posisi Kepala BIN yang kini dijabat oleh Budi Gunawan (BG) memang tidak diganggu gugat. Jabatan ini memang setara dengan menteri dan pergantiannya memang sering kali terjadi tidak bersamaan dengan penunjukan kabinet baru.
Adapun sosok yang disodorkan oleh para relawan Jokowi yang tergabung dalam Aliansi Relawan Jokowi (ARJ) adalah Suhendra Hadikuntono. Pencalonanya juga sempat diwacanakan oleh beberapa pihak dan dianggap bisa menjadi cara Jokowi untuk mengurangi status “kesangaran” kabinet baru yang berisi banyak sosok militer.
Tentu saja nama ini cukup asing bagi publik. Satu di antara hanya sedikit pemberitaan tentangnya adalah ketika ia menjadi Ketua Komite Penyelamat Sepakbola Nasional (KSPN). Suhendra juga tak banyak muncul ke permukaan, katakanlah dalam konteks publisitas pemberitaan.
Namun, kiprahnya sempat disebut ketika beberapa hari lalu ia berangkat ke Aceh dan membawa misi “menenangkan” situasi di wilayah tersebut yang sempat memanas setelah muncul pemanggilan terhadap mantan Panglima GAM Muzakir Manaf oleh Komnas HAM.
Aksi “menenangkan” ini disebut menjadi kontribusi besar karena pemanggilan Muzakir Manaf sempat melahirkan ketegangan, di mana mantan anggota-anggota GAM sempat berniat untuk kembali angkat senjata.
Menariknya, selain kelompok relawan Jokowi, terbersit pula narasi bahwa Partai Gerindra – yang kini telah menjadi bagian dari pemerintahan Presiden Jokowi – juga mengincar posisi di pucuk BIN tersebut. Hal ini salah satunya disampaikan oleh politikus Partai Gerindra Iwan Sumule.
Ia bahkan menyebutkan nama Sufmi Dasco Ahmad sebagai calon yang menurutnya layak untuk posisi tersebut. Sufmi yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI disebutnya dekat dengan mantan Danjen Kopassus Muchdi PR dan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono.
Ia juga disebut punya wawasan, pengalaman dan pengetahuan di bidang intelijen yang dianggap akan sangat menunjang jika diberikan kursi untuk memimpin lembaga tersebut.
Pernyataan ini tentu menarik, mengingat posisi Kepala BIN adalah salah satu jabatan strategis dengan kewenangan yang besar pula. Kini jabatan tersebut dikuasai oleh BG – sosok yang disebut-sebut dekat dengan PDIP dan ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri.
Pertanyaannya adalah apakah jabatan itu rela untuk diberikan pada tokoh yang diusung oleh relawan Jokowi atau bahkan untuk Gerindra?
Rebutan Pucuk Intelijen, Rebutan Kekuasaan
Pada Oktober 2018 lalu, pengamat politik Rocky Gerung pernah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa kekuatan PDIP sebagai partai berkuasa tidak terletak pada ideologinya, bukan pada ketua umum partainya, bukan pula pada sosok Soekarno yang menjadi sentral ideologinya.
Rocky secara gamblang menyebutkan bahwa kekuatan PDIP adalah karena “punya” BIN. Tentu yang ia maksud adalah sosok BG yang merupakan mantan ajudan Megawati kala menjabat sebagai presiden. Kedekatan dua entitas politik ini memang sudah bukan rahasia umum lagi.
Konteks ini tentu penting untuk dilihat, mengingat sosok BG dengan sendirinya menjadi representasi BIN itu sendiri sebagai lembaga. Fenomena kedekatan partai politik dengan entitas lembaga penegak hukum semacam ini memang punya sejarah panjang, termasuk terkait keuntungan politik yang bisa diraih lewat hubungan tersebut.
Di negara-negara yang menganut demokrasi, hal ini pun sering ditemui. Kondisi ini bisa juga dianggap sebagai politisasi lembaga negara, utamanya lembaga yang punya hubungan dengan persoalan hukum dan keamanan nasional.
Rachel Kleinfeld – pendiri dan CEO Truman National Security Project – dalam tulisannya di Carnegie Endowment for International Peace, menyebutkan bahwa politisasi institusi keamanan bahkan terjadi di negara paling demokratis seperti Amerika Serikat (AS).
Kleinfeld misalnya mengutip hasil poling yang dilakukan oleh Reuters pada Februari 2018 yang menyebut sekitar 73 persen pemilih Partai Republik melihat FBI dan Departemen Kehakiman AS semakin sering melakukan investigasi yang terlihat bertujuan untuk mendelegitimasi kepemimpinan Presiden Donald Trump yang berasal dari Partai Republik.
Dengan kata lain, kiprah lembaga-lembaga tersebut dianggap secara politis “digunakan” untuk kepentingan politik melawan Trump. Padahal, poling serupa yang dilakukan oleh Reuters 4 tahun sebelumnya justru menyebut 84 persen pemilih Partai Republik melihat kerja dua lembaga itu justru favorably atau menguntungkan partainya.
Kleinfeld menyebut kondisi tersebut membuat AS menjadi negara berstatus struggling democracies atau yang masih memperjuangkan demokrasinya, karena lembaga-lembaga hukum dan keamanan terpersepsikan beraliansi dengan partai politik tertentu.
Ia juga menyebut bahwa kini di bawah kepemimpinan Trump, publik cenderung melihat lembaga macam Immigration and Customs Enforcement (ICE), para sheriffs, kepolisian, dan bahkan militer sebagai “institusinya” Partai Republik.
Sementara FBI, agen-agen CIA dan Departemen Luar Negeri, serta polisi di kota-kota besar sebagai “institusinya” Partai Demokrat.
Perebutan pengaruh dan kepemimpinan di lembaga-lembaga ini memang menentukan kekuasaan, pun posisi politik orang atau partai politik tertentu. Ini juga bisa menentukan nasib partai politik dalam kontestasi elektoral di masa mendatang.
Dalam konteks di Indonesia, lembaga seperti BIN misalnya, jika dimanfaatkan untuk kepentingan politik, bisa punya kemampuan untuk “membaca” strategi lawan politik dan menentukan cara untuk mengantisipasinya.
Konteks ini memang membuat PDIP terlihat sebagai partai yang identik dengan BIN dan punya keuntungan politik. Rocky Gerung juga menyebutkan bahwa posisi inilah yang membuat beberapa partai politik merapat ke partai banteng tersebut dan membentuk koalisi dengannya.
Adapun penggunaan alat intelijen untuk kepentingan politik ini pernah disorot oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pilkada 2018 lalu. Kala itu, SBY mempertanyakan netralitas aparat, termasuk dari BIN, yang dianggapnya merugikan partainya.
Penentuan Untuk 2024
Dalam konteks keinginan relawan Jokowi dan Gerindra untuk mendapatkan kursi tersebut, semuanya akan kembali pada dinamika politik yang terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
PDIP sendiri dipercaya tak akan membiarkan kursi itu dipegang orang lain. Dengan sosok seperti Suhendra Hadikuntono atau Sufmi Dasco Ahmad di pucuk BIN, jelas menjadi kerugian bagi PDIP jika benar-benar terjadi.
Sejarah juga sudah membuktikan bahwa kekuasaan atas BIN – yang dulunya disebut Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) – berperan besar terhadap langgengnya kekuasaan 32 tahun Soeharto. Artinya, tetap mempertahankan orang yang tepat di pucuk BIN akan berdampak positif bagi kelanggengan kekuasaan PDIP.
Sementara, khusus untuk Gerindra, bisa dimaklumi bahwa mencoba peruntungan untuk merebut kursi Kepala BIN akan berdampak signifikan jika ingin menjadi partai pemenang pada Pilpres 2024. Pasalnya, partai yang menguasai kursi tersebut sangat mungkin mendapatkan jaminan kemenangan di kontestasi elektoral mendatang.
Jika menggunakan BIN untuk kepentingan politik, maka sudah pasti partai politik yang memanfaatkannya akan mendapatkan keuntungan politik seperti yang didapatkan oleh PDIP.
Pertaruhannya tinggal ada di tangan Jokowi, akankah sang presiden mengikuti kemauan relawannya, PDIP, atau Gerindra terkait posisi tersebut. Ataukah, Jokowi justru memilih orangnya sendiri, sama seperti yang ia lakukan untuk posisi Menko Polhukam yang jatuh ke tangan Mahfud MD – sosok yang sama sekali tidak terduga akan ada di posisi itu.
Tak ada yang tahu pasti. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.