Site icon PinterPolitik.com

Gerindra dan Tragedi Kegagalan Oposisi

Gerindra dan Kegagalan Oposisi

Prabowo dalam salah satu kampanye politiknya di 2014. (Foto; istimewa)

Kunjungan Prabowo Subianto ke makam raja-raja Mataram di Yogyakarta menimbulkan spekulasi bahwa cucu salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro ini akan turun gunung. Seberapa besar dampaknya bagi Gerindra?


PinterPolitik.com

“Opposition is a true friendship” – William Blake (1757-1827), penyair

[dropcap]B[/dropcap]ukan tanpa alasan jika aksi Prabowo mengunjungi makam raja-raja Mataram beberapa hari lalu menyita perhatian publik. Pasalnya, dalam adat budaya orang Indonesia, tradisi ziarah ke makam leluhur biasa dilakukan seseorang sebagai ungkapan permohonan doa restu saat akan melakukan hal yang besar atau berarti bagi hidupnya.

Jika ini menjadi penanda awal Prabowo akan turun gunung, maka mungkin inilah waktunya para politisi Gerindra untuk berhenti berkata ‘tunggu tanggal mainnya’ lagi – jawaban ‘pelarian’ yang selalu mereka lakukan ketika dihadapkan pada persoalan elektabilitas partai dan Prabowo yang kian nyungsep.

Kalaupun Prabowo benar-benar turun gunung, maka pekerjaan rumah terbesar yang harus diselesaikannya adalah memperbaiki elektabilitas dirinya dan Partai Gerindra yang – tanpa mengurangi rasa hormat – terlihat sangat babak belur. Hal ini tergambar jelas dari hasil survei PolMark beberapa waktu lalu yang menyebut elektabilitas Partai Gerindra hanya mencapai 7,1 persen.

Angka 7,1 persen ini tentu sangat kecil bagi partai yang tokoh utamanya bersaing memperebutkan kursi presiden pada Pilpres 2014 lalu. Kondisi ini pun sejalan dengan elektabilitas Prabowo yang ikut terjun bebas.

Hal inilah yang membuat banyak pihak menyebut Gerindra gagal menjalankan fungsi oposisinya. Kalaupun berhasil menjadi penyeimbang pemerintah, Gerindra terlihat tidak begitu keras melancarkan kritik. Kritik memang ada, tetapi hanya berasal dari tokoh seperti Fadli Zon dan cenderung sporadis.

Sebagai tokoh utama oposisi, tentu berbeda jika kritik terhadap pemerintah datang dari Prabowo Subianto sendiri. Mungkin Prabowo mengartikan kata-kata William Blake di awal tulisan ini secara lurus dan mengabaikan dampak bagi partainya sendiri.

Hikayat Oposisi Pemerintah

Indonesia memang bukan negara parlementer. Namun, oposisi merupakan keniscayaan dalam sistem politik negara ini, setidaknya pasca reformasi. Pertanyaannya adalah apakah Gerindra memang gagal menjadi oposisi?

Jika menilik kiprah PDIP saat menjadi oposisi Demokrat antara tahun 2004-2014, perbedaan elektabilitas antara partai merah dan partai biru tersebut sangatlah tipis. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2012 menyebut elektabilitas PDIP saat itu mencapai 13,6 persen berbanding 13,4 persen milik Partai Demokrat.  Artinya, sekalipun menjadi oposisi, elektabilitas PDIP tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan Demokrat.

Bahkan, pasca berbagai kasus korupsi yang menimpa beberapa kader utama Demokrat, elektabilitas partai biru ini terus tergerus. Sebaliknya, elektabilitas PDIP terus meroket. Survei Kompas pada 2013 menyebut elektabilitas PDIP mencapai 21,8 persen berbanding 7,2 persen milik Demokrat.

Saat itu, sebagai tokoh utama PDIP, Megawati Soekarnoputri juga kerap melayangkan kritik terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya terkait nilai tukar rupiah di tahun 2009. Hal ini sangat membantu masyarakat mendengar suara oposisi. Megawati seringkali juga keras mengkritik pemerintahan SBY dalam setiap orasi dan pidato politiknya.

Saat ini, justru hal berbedalah yang terlihat. Prabowo tidak banyak bersuara keras terkait pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Misalnya, saat pemerintah mengambil kebijakan menaikan tarif dasar listrik, menarik pajak secara membabi buta, atau menggeser beban APBN untuk pembayaran utang, tidak ada kritik berarti yang datang dari Parbowo. Prabowo justru muncul dalam Aksi Bela Rohingya yang justru kontraproduktif terhadap citra dirinya dan Gerindra.

Maka, jangan heran jika pada survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga politik di bulan September dan Oktober 2017 lalu, elektabilitas Gerindra dan Prabowo jauh merosot dibanding PDIP sebagai partai pendukung pemerintah.

Beberapa pengamat politik, misalnya Pangi Syarwi Chaniago dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyebut selama tiga tahun terakhir kritikan yang dilakukan oleh Gerindra terhadap pemerintah terlihat tidak rapi dan tanpa komando.

Memang tidak dapat dipungkiri, ada faktor personal yang menjadi pembeda dalam hubungan antara Megawati dan SBY dengan Jokowi dan Prabowo. Mega dan SBY punya persoalan ‘dendam politik’ yang menjadi bumbu hubungan pemerintah dan oposisi. Sementara, hal itu tidak ada dalam hubungan Jokowi dengan Prabowo. Boleh jadi, hal ini menjadi salah satu alasan mengapa Gerindra dan Prabowo terlihat soft pada Jokowi.

‘Dendam politik’ antara Megawati dan SBY menjadi bumbu hubungan pemerintah dan oposisi semasa Partai Demokrat memegang kekuasaan. (Foto: Merdeka.com)

Oposisi Tanpa Finansial adalah ‘Mati’

Sebagai oposisi selama 10 tahun pemerintahan SBY, PDIP tampaknya telah belajar banyak. Dengan kuatnya ketokohan SBY, PDIP selalu melancarkan kritik terhadap pemerintahan SBY dengan terorganisir dan jelas. Hal ini tidak tampak dalam diri Gerindra dan Prabowo.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bahwa menjadi oposisi bukan hanya perkara mengkritik dan selalu bertentangan dengan pemerintah. Tetapi, ada persoalan yang lebih mendasar di baliknya, yakni terkait masalah finansial.

Memilih untuk tidak masuk ke dalam kekuasaan berarti memilih untuk menjauhkan diri dari sumber finansial – dalam hal ini salah satunya dari APBN serta keuntungan legalitas menjadi penguasa. Bukan rahasia lagi jika partai-partai politik selalu berlomba-lomba untuk berada dalam lingkaran kekuasaan agar bisa hidup.

PDIP pun pernah berada di persimpangan ketika di tahun 2010 mengalami ‘kegalauan’, apakah bergabung dengan pemerintah atau menjadi oposisi. Namun, karena personal based reason dan kalkulasi finansial PDIP cukup memungkinkan, maka pilihan oposisi diambil.

Menariknya, sekalipun menjadi oposisi, kader PDIP masih juga terjerat korupsi yang notabene melibatkan anggaran negara. Ini tentu menjadi hal yang aneh, bagaimana mungkin partai oposisi bisa mengkorupsi anggaran negara sementara ia tidak berada dalam lingkaran kekuasaan?

Publikasi ICW pada tahun 2012 menyebut kader PDIP yang korupsi saat itu mencapai 8 orang berbanding 10 milik Demokrat. Artinya, sekalipun berada di luar kekuasaan, PDIP masih punya akses terhadap anggaran negara.

Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi pada Gerindra. Partai ini terlihat sangat memperhatikan ‘kebersihan’ anggotanya. Selama beberapa tahun terakhir, sangat jarang nama kader Gerindra terjerat kasus korupsi. Selain M. Sanusi yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) terkait persoalan reklamasi, kader Gerindra lain yang terkena kasus korupsi mungkin hanya Bupati Minahasa Utara, Vonnie Anneke Panambunan.

Sikap Gerindra dan Prabowo yang tegas terhadap kadernya yang korupsi juga membuat citra partai ini cukup baik di mata publik. Hal ini ditandai dengan tidak adanya bantuan hukum bagi kader yang terjerat korupsi. Bandingkan dengan partai politik lain,  kadernya korup sekalipun masih tetap dijaga dan bahkan dilindungi.

Hal ini sebetulnya positif bagi citra Gerindra. Namun, dampaknya adalah tidak adanya pemasukan bagi Gerindra dari sektor-sektor ‘kegelapan’. Gerindra harus bertahan dengan donasi dan iuran partai. Sementara, ada selentingan yang menyebut Prabowo dan Gerindra sedang kesulitan finansial politik. (Baca: Prabowo Kian Loyo?)

Mungkin hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa kinerja oposisi Gerindra tidak berjalan dengan baik. Tanpa finansial yang kuat, akan sangat sulit menunjang kerja partai dan secara tidak langsung mempengaruhi elektabilitas. Faktanya memang mesin partai mana pun tidak akan hidup tanpa sokongan finasial.

Gerindra Mau Ke Mana?

Pertanyaan lanjutannya adalah akan sedahsyat apa dampak Prabowo turun Gunung terhadap elektabilitas Gerindra?

Mungkin masih sangat sulit untuk melihat dampaknya secara instan. Dalam dua tahun sisa pemerintahan Jokowi, Prabowo sudah selayaknya bersuara lebih keras mengkritisi kebijakan-kebijakan Jokowi terutama di bidang ekonomi. Jika mampu melakukannya, maka Prabowo bisa mengerek kembali elektabilitas dirinya dan Gerindra.

Citra Gerindra sebagai partai bersih juga perlu dikedepankan. Apalagi, PDIP misalnya masih punya banyak ganjalan kasus korupsi, termasuk kasus-kasus yang penyelesaiannya belum jelas macam BLBI. Pengalaman anjloknya Demokrat akibat kasus korupsi perlu menjadi catatan pinggir yang diperhatikan oleh Gerindra.

Gerindra dan Prabowo juga perlu memperjelas arah partai tersebut dalam dua tahun ke depan, misalnya terkait keputusan apakah Prabowo Subianto akan maju lagi menjadi calon presiden di 2019 atau tidak. Parbowo sendiri memang belum menyatakan kesungguhannya menjadi calon presiden pada Pilpres 2019.

Jika Gerindra dan Prabowo tetap berleha-leha dan tidak banyak melakukan perubahan berarti, bukan tidak mungkin peluang Prabowo menjadi presiden di 2019 akan benar-benar tertutup. Konteks Pilpres di 2019 akan mirip dengan apa yang terjadi di tahun 2009 ketika SBY menjadi petahana kuat dengan elektabilitas yang tak tertandingi. Saat ini elektabilitas Jokowi juga tak tertandingi oleh tokoh politik manapun termasuk Prabowo.

Boleh jadi apa yang dialami oleh PDIP yang harus merelakan SBY berkuasa selama 2 periode terulang lagi pada diri Prabowo dan Gerindra. Bahkan lebih buruk lagi, Prabowo mungkin sudah harus mengubur mimpinya menjadi presiden. Tentu saja, karena jika gagal di 2019, maka sangat sulit melihat Prabowo bersaing di 2024 – salah satunya karena faktor usia. Namun, tidak ada yang tahu pasti.

Yang jelas, sudah saatnya Gerindra dan Prabowo berhenti membaca syair-syair William Blake dan fokus memperbaiki citra partai. Tidak ada yang mau disebut sebagai oposisi gagal, bukan begitu? (S13)

Exit mobile version