Di tengah konsolidasi parpol dan elite jelang 2024, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Desmond J. Mahesa menyebut Megawati Soekarnoputri selama ini banyak membohongi Prabowo Subianto. Pernyataan yang mengejutkan itu kemudian menjadi menarik untuk ditelaah lebih lanjut terutama mengenai bagaimana proyeksi relasi PDIP dan Partai Gerindra pada dan pasca kontestasi elektoral 2024.
Menohok, itu lah kesan yang muncul setelah Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Desmond J. Mahesa mengatakan Megawati Soekarnoputri telah banyak membohongi Prabowo Subianto.
Itu diungkapkannya merespons agenda pertemuan dua tokoh yang masing-masing menjabat sebagai Ketua Umum (Ketum) PDIP dan Partai Gerindra itu di tengah proses pembentukan koalisi politik jelang 2024.
Sebagai informasi, PDIP telah mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres), sementara Partai Gerindra kemungkinan besar akan mengusung Prabowo sebagai kandidat RI-1.
Karena alasan itu, Desmond juga menyatakan pertemuan Prabowo-Megawati hanya membuang-buang energi. Jika dilakukan pun, dia menyiratkan beragam spekulasi akan berkembang dan bisa saja menimbulkan impresi politik keliru terhadap Prabowo.
Menariknya, Desmond justru lebih percaya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dibandingkan Megawati yang secara hierarki adalah “atasan” sang mantan Wali Kota Solo itu.
Rencana Prabowo menemui Megawati diketahui sedang diagendakan dalam waktu dekat. Perjumpaan dua tokoh itu sendiri pertama kali diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani.
Pada hari Jumat 19 Mei lalu, dirinya mengaku sedang berkomunikasi dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani untuk membahas pertemuan tersebut.
Kembali dalam konteks tensi politik yang seolah dipantik oleh Desmond atas pernyataan “kebohongan” Megawati kepada Prabowo, sejumlah kejanggalan kiranya mengemuka.
Utamanya, mengenai pertanyaan mendasar terkait alasan mengapa Desmond mengungkapkan hal itu di tengah tren kondusivitas politik PDIP-Gerindra maupun Prabowo-Megawati selama ini?
Gerindra Butuh Musuh?
Desmond yang memposisikan Prabowo sebagai sosok yang mengalami “kerugian” karena kebohongan Megawati seolah merepresentasikan wacana politik permainan peran sebagai korban atau playing victim.
Konsep tersebut mengandaikan bahwa salah satu pihak sedang mendapatkan kesulitan atau kerugian akibat manuver yang dilakukan oleh aktor lain dalam konteks politik dan pemerintahan.
Itu selaras seperti yang digambarkan oleh Robert Horwitz dalam tulisannya berjudul Politics as Victimhood, Victimhood as Politics. Menurutnya, politik korban digunakan sebagai upaya untuk menarik simpati seolah-olah kubu tersebut menjadi korban otoritas dan kesewenang-wenangan.
Konsep yang dapat dikonversi menjadi strategi politik itu kemudian menjadi penting dikarenakan ada sisi psikologis dan emosional yang dimainkan oleh seseorang atau kelompok, sehingga terbuka probabilitas bagi masyarakat untuk ikut merasakan, turut mengafirmasi, hingga memberikan simpati.
Tak hanya dalam konteks interaksi politik seperti pernyataan Desmond, dalam konteks persaingan elektoral pun, praktik itu pun terjadi, misalnya, di Pilpres Amerika Serikat tahun 2016 silam.
Saat itu Donald Trump menggunakan metafora retoris melalui konstruksi insinuasi cukup radikal kepada pendukungnya dengan memposisikan diri sebagai korban hingga klaim dicurangi oleh pihak lain, bahkan oleh negara lain.
Mulai dari landasan argumen membangun tembok perbatasan Meksiko, sentimen terhadap Tiongkok, hingga konteks mengembalikan supremasi warga AS – di mana cenderung berpihak pada kulit putih – yang saat itu disebut-sebut sedang berada di titik terendahnya.
Trump sendiri tidak berbicara secara literal dengan menggunakan fakta dan logika. Akan tetapi, ia menyakinkan pendukungnya dengan menggunakan pendekatan emosional dan sentimen psikologis.
Sementara itu, Leopoldo Fergusson, dan kawan-kawan dalam tulisan mereka yang berjudul The Need for Enemies menjelaskan aktor politik, baik yang berkuasa maupun tidak, akan selalu membutuhkan sosok musuh untuk mempertahankan keunggulan politik mereka, demi mempertahankan, atau menciptakan dukungan politik.
Hal ini karena sejatinya mayoritas para aktor politik dipilih untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Menariknya, alih-alih menyelesaikannya dengan cepat, Fergusson dan kawan-kawan melihat para aktor politik pasti akan mencari alasan agar permasalahan itu dapat terus terjadi.
Tujuannya adalah agar khalayak dan para target konstituen tetap memiliki alasan untuk melihat bahwa mereka masih membutuhkan kinerja aktor politik itu sebagai tempat berbagi kesamaan persepsi, representasi, serta penyalur aspirasi.
Dengan kata lain, “musuh” dalam politik sesungguhnya berperan sebagai justifikasi agar kekuatan yang dominan tetap memiliki alasan untuk melancarkan kepentingan-kepentingannya.
Jika mengadopsi konsep sebuah pementasan, Sandey Fitzgerald dalam tulisannya Spectators in the Field of Politics menyebutkan para aktor utama yang bermain di teater politik perlu menunjukkan dirinya sebagai apa yang ingin disaksikan penonton.
Artinya, aktor politik akan bermain layaknya aktor-aktor protagonis melawan aktor antagonis dalam suatu skenario.
“Politik korban”, urgensi memiliki rival, hingga memainkan peran sebagai protagonis agaknya terlihat dari pernyataan Desmond atas relasi Prabowo dan Megawati. Apalagi, bahasa yang disampaikan dapat membentuk suatu realitas tertentu pada masyarakat.
Ihwal itu selaras dengan postulat Kenneth Burke dalam Language as Symbolic Action yang menyatakan kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah, tetapi juga membatasi persepsi dan mengarahkannya pada cara berpikir tentang keyakinan tertentu.
Kendati tak mendapat respons dukungan maupun bantahan signifikan dari pihak mana pun, apa yang diungkap Desmond kiranya memang berpotensi membuka impresi simpati maupun kesamaan persepsi dengan para konstituen.
Andai nantinya Partai Gerindra dan PDIP akan benar-benar bermusuhan pada dan pasca Pemilu 2024, keseimbangan politik dan pemerintahan agaknya justru akan lebih baik. Mengapa demikian?
Bermusuhan, Selamatkan Demokrasi?
Sebelum Prabowo dan Partai Gerindra dirangkul ke pemerintahan setelah Pemilu dan Pilpres 2019, masing-masing seolah menjadi metronom ideal yang menyeimbangkan kekuasaan politik pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi dan PDIP.
Akan tetapi, setelahnya dan hingga kini, keseimbangan dan hakikat demokrasi, yakni check and balance itu seolah tak lagi signifikan karena lemahnya barisan yang mengoreksi kebijakan pemerintah.
Peneliti di Departemen Perubahan Politik dan Sosial CSIS Arya Fernandes juga telah mengamati risiko dari “koalisi gemuk” yang dibangun Presiden Jokowi semi stabilitas politiknya di periode terakhir kepemimpinan sebagai RI-1.
Dalam publikasi di kompas.id yang berjudul The Risk of a “Fat Coalition” Arya menyinggung kiamat politik di DPR dan terhentinya demokrasi karena minimnya esensi partai oposisi.
Itu muncul saat skenario Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PAN bergabung pemerintah mengemuka pasca pertemuan konsolidasi perdana Presiden Jokowi dan Prabowo pasca Pilpres 2019.
Maka dari itu, “benih” perseteruan yang “ditabur” Desmond kemungkinan memang diharapkan sebagai variabel pendukung ekspektasi keteguhan Prabowo dan Partai Gerindra untuk memimpin barisan di 2024 dengan memilih PDIP dan Megawati sebagai rival. Terlepas dari siapa yang terpilih nantinya.
Selain itu, Partai Gerindra dan PDIP tampak menjadi dua kutub sama kuat yang turut diharapkan saling menyeimbangkan kekuasaan, bukan untuk saling berkolaborasi.
Tentu, tidak dalam konteks menciptakan atmosfer konfliktual destruktif. Melainkan sebaliknya, yakni menciptakan kedewasaan politik dengan inisiatif pengambilan peran yang teguh dalam demokrasi yang sehat.
Sebagaimana yang juga disebut Arya, demokrasi pasti membutuhkan dua hal, yakni eksekutif dan legislatif yang kuat. Sementara itu, legislatif yang kuat hanya mungkin jika ada partai partai oposisi yang signifikan.
Koalisi gemuk pun tampak cukup rawan menciptakan kekuasaan yang condong ke kelompok atau kepentingan tertentu tanpa akuntabilitas yang memadai.
Demikian pula, wacana dan keterbukaan partisipasi publik tentang kebijakan hanya akan mungkin terjadi jika DPR diisi oleh partai-partai oposisi yang juga kuat.
Oleh karena itu, menjelang kontestasi politik 2024, alasan sejumlah politisi bahwa tidak ada oposisi dalam sistem politik Indonesia agaknya harus diluruskan. Justifikasi menciptakan stabilitas dan persatuan politik yang seakan tampak hanya menjadi semacam buzz word pun kiranya perlu ditinjau kembali demi kepentingan yang lebih besar dan konstruktif. (J61)