Sebagai sesama “Indonesia Raya”, Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra dan Partai Indonesia Raya alias Parindra punya visi yang mirip tentang Greater Indonesia – konsepsi untuk mengembalikan negara ini ke masa jayanya di waktu lampau. Kini, di tengah semarak ulang tahun Gerindra ke-12, banyak pertanyaan muncul terkait partai dengan kekuasaan tunggal yang ada di tangan Prabowo Subianto tersebut. Isu regenerasi hingga perubahan idealisme partai setelah bergabung dengan kekuasaan juga menjadi hal lain yang disoroti. Baik atau buruk untuk Gerindra?
PinterPolitik.com
“To run an effective political party you need a degree of tribalism. It’s the glue that holds everyone together”.
:: Charles Kennedy, mantan Pemimpin Partai Liberal Demokrat Inggris ::
Partai Gerindra merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke-12 pada 6 Februari 2020. Namun, nuansa perayaan ulang tahun partai yang selama hampir 1 dekade terakhir menjadi oposisi pemerintah ini terasa cukup berbeda di tahun ini. Pasalnya, kini Gerindra telah ada di kubu pemerintah yang berkuasa.
Ada sang Ketua Umum Prabowo Subianto yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan, serta sang Wakil Ketua Umum Edhy Prabowo yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Prabowo sendiri adalah sosok penting yang bersaing pada dua gelaran Pilpres, baik di 2014 maupun di 2019. Artinya, dalam sekurangnya 10 tahun terakhir mantan Danjen Kopassus tersebut adalah salah satu tokoh sentral utama politik Indonesia – hal yang berbanding lurus terhadap perolehan suara Gerindra yang kini ada di posisi tiga terbesar secara nasional.
Namun, refleksi yang mencuat di tengah perayaan ulang tahun tersebut adalah terkait konteks kemutlakan kekuasaan di tubuh Gerindra. Pasalnya, hingga kini hanya Prabowo yang menjadi satu-satunya tokoh paling dominan di partai tersebut.
Ia menduduki dua jabatan tertinggi di partai, yakni sebagai Ketua Dewan Pembina dan sebagai Ketua Umum alias Ketua Dewan Pimpinan Pusat. Konteks tersebut seolah menyiratkan adanya kemutlakan kekuasaan – jika ingin disebut demikian – yang ada di Partai Gerindra.
Hal tersebut bukannya tanpa alasan. Jika membaca Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Gerindra, sangat jelas terlihat betapa dua posisi tersebut punya kekuasaan yang sangat besar atas partai. Artinya, jika dua posisi tersebut diisi oleh satu orang, bisa dipastikan betapa berkuasanya sosok tersebut.
Hal lain yang disoroti adalah terkait regenerasi kepemimpinan yang hingga kini masih belum jelas. Bahkan, konteks regenerasi ini membuat Prabowo “tertinggal” dibandingkan tokoh politik nasional utama lainnya, misalnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri yang masing-masing telah mengorbitkan anak-anak mereka.
Dengan sentralisasi kekuasaan yang besar pada Prabowo dan persoalan regenerasi yang menghantui, tentu pertanyaannya adalah akan seperti apa nasib Gerindra di tahun-tahun yang akan datang? Mungkinkah Gerindra menjadi partai pemenang baru katakanlah di Pemilu 2024 mendatang?
Menebak Absolutisme Prabowo
Ketika Prabowo mendirikan Gerindra pada 2008 lalu, banyak pihak menilai langkah tersebut sebagai cara sang jenderal mengembalikan ambisi politiknya setelah “tersingkir” pada 1998.
Dengan visi untuk mencapai “Indonesia Raya” – apa yang oleh wartawan senior, Aboeprijadi Santoso dalam tulisannya di portal Inside Indonesia kala itu diterjemahkan sebagai “Greater Indonesia” – Prabowo seolah mengembalikan statusnya sebagai salah satu tokoh yang harus diperhitungkan di tingkat nasional.
Nyatanya, visi Greater Indonesia itu punya latar historis yang mirip dengan visi Partai Indonesia Raya (Parindra) yang pada era perjuangan kemerdekaan menjadi salah satu partai yang cukup besar dengan tokoh seperti M. Husni Thamrin di dalamnya. Parindra adalah salah satu partai nasionalis dengan visi yang melampaui zamannya ketika hampir semua partai politik saat itu bertujuan untuk mewujudkan Indonesia merdeka.
Hal lain yang menarik adalah dari barisan tokoh-tokoh Parindra, ada nama Raden Mas Margono Djojohadikusumo, yang tidak lain adalah kakek Prabowo sendiri. Konteksnya menjadi semakin menarik karena Parindra adalah partai yang populis, sama seperti Prabowo dan Gerindra.
Husni Thamrin misalnya sampai ditahan oleh pemerintanan Hindia Belanda karena dituduh menjalin kedekatan dengan Jepang dan Jerman – selain karena ketertarikannya pada semangat juang dan nasionalisme orang Jepang, di samping pula kekagumannya terhadap Nazisme dan Adolf Hitler.
Yang jelas, nasionalisme Prabowo bisa dianggap sebagai “kebangkitan kembali” semangat yang sama dari masa lampau.
Sebagai politisi bertangan kuat alias strong-man politician, Prabowo juga merupakan politisi dengan karakter yang sangat kuat. Hal ini kemudian berdampak pada cara komunikasi dan pendekatan politiknya.
Beberapa pengamat menyebut gaya komunikasi Prabowo bertipe dynamic style. Gaya yang demikian ditunjukkan oleh kata-kata yang cenderung eksplisit, to the point dan menggunakan bahasa lugas. Gaya komunikasi ini sering juga disebut sebagai komunikasi apa adanya.
Prabowo juga seorang populis. Profesor di Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, Edward Aspinall dalam tulisannya menyebut Prabowo sebagai salah satu politisi yang menggunakan populisme sebagai cara untuk meraih dukungan politik.
Secara spesifik, populisme Prabowo adalah oligarch populism, merujuk pada posisi Prabowo yang merupakan bagian dari golongan elite. Prabowo adalah bagian dari Orde Baru jika merujuk pada rekam jejaknya sebagai petinggi militer sekaligus menantu Soeharto.
Aspinall juga menunjuk pada latar belakang Prabowo yang kerap mengkritik kelompok elite dalam setiap narasi nasionalisme, pencurian kekayaan negara, hingga kehancuran Indonesia yang diutarakannya, namun pada saat yang sama juga secara tidak langsung menonjolkan citra dirinya sebagai bagian dari kelompok elite tersebut – misalnya lewat aksi-aksi berkuda, dan sejenisnya.
Konteks tersebut memang pada akhirnya melahirkan pertanyaan terkait idealisme sang jenderal, apalagi jika membandingkan dengan keadaan politik saat ini, di mana Gerindra telah masuk menjadi bagian dari kekuasaan.
Yang jelas idealisme, nasionalisme dan populisme serta visi tentang Greater Indonesia sudah lebih dari cukup untuk membuat kekuasaan politik Prabowo menjadi sangat besar di Gerindra. Personifikasi Gerindra sebagai Prabowo dan Prabowo sebagai Gerindra mirip-mirip dengan PDIP dan Megawati yang memang tidak bisa dipisahkan.
Konteks tersebut juga pada akhirnya membuat kekuasaan sang jenderal menjadi sangat absolut di dua jabatan yang kini disandanganya di partai. Perlu lebih dari cukup idealisme, rasa nasionalisme yang berapi-api, serta populisme yang besar bagi tokoh lain untuk bisa menggantikan peran Prabowo di partai.
Masa Depan Gerindra?
Beberapa pihak menyebut kekalahan Prabowo di Pilpres 2014 dan 2019 adalah karena ia bukan sosok the right man at the right time – orang yang tepat untuk waktu yang tepat.
Guatam Mukunda dari Harvard Business School menyebut mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill sebagai salah satu contoh the right man at the right time. Churchill adalah tipe pemimpin yang mirip Prabowo, sama-sama punya gaya komunikasi dynamic style.
Namun, Churchill memimpin di saat Inggris butuh sosok pemimpin yang berkarakter kuat ketika harus terjun di Perang Dunia II. Situasi tersebut berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang cenderung tidak dalam situasi genting dalam konteks keamanan nasionalnya.
Hal inilah yang membuat banyak pertanyaan muncul terkait akan seperti apa masa depan Gerindra di tahun-tahun berikutnya? Apakah Prabowo masih akan berjuang lagi untuk Pilpres 2024? Akan seperti apa Gerindra tanpa Prabowo?
Setelah 12 tahun ia dan saudaranya Hashim Djojohadikusumo menghabiskan uang begitu banyak, apa yang ingin dikejar selanjutnya?
Pertanyaan-pertanyaan yang demikian akan selalu berulang sampai terlihat ada sosok yang dominan yang bisa menggantikan peran Prabowo suatu saat nanti. Aspinall dalam bagian lain tulisannya sempat menyebutkan bahwa Hashim menghabiskan sekitar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun jika dihitung berdasarkan kurs hari ini, untuk mendanai pendirian Partai Gerindra pada 2008-2009.
Konteks tersebut pada akhirnya menghasilkan satu kesimpulan bahwa sosok yang mungkin menggantikan Prabowo – jika tak punya idealisme setara, nasionalisme yang luar biasa besar, dan populisme – adalah sosok yang punya financial capital atau modal finansial yang besar.
Di Gerindra ada nama Sandiaga Uno yang punya faktor terakhir ini. Pertanyaannya adalah apakah Sandi bisa mengimbangi ketokohan Prabowo? Atau kita harus menunggu 50-100 tahun lagi untuk menyaksikan ada sosok lain yang membangkitkan kembali visi Greater Indonesia seperti di zaman Parindra?
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.