Site icon PinterPolitik.com

Genting, Tito Wajib Tiru Bush?

Genting, Tito Wajib Tiru Bush

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat Rapat Kerja bersama Komisi II DPR dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Juni lalu. (Foto: Antara)

Beberapa kepala daerah dan sejumlah pejabat lainnya telah menjadi bukti bahwa kematian akibat Covid-19 merupakan ihwal absolut bagi refleksi fananya idealisme, hingar bingar, dan ambisi politik yang ada. Lantas seberapa signifikan refleksi akan kematian tersebut berpengaruh pada kebijakan politik dan pemerintahan di Indonesia saat ini?


PinterPolitik.com

Di tengah kunjungan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ke pemakaman khusus Covid-19 di Pondok Ranggon pada akhir pekan lalu, sebuah tangkapan kamera turut membingkai betapa kematian menjadi hal yang sangat dekat di tengah pandemi.

Kemungkinan untuk terhindar dari kematian dan sembuh dari jangkitan virus memang cukup besar. Namun bagi sebagian orang dengan ketetapan medis tertentu, garis tangan berkata sebaliknya dan membuat mereka kehilangan eksistensinya di dunia selamanya.

Tak hanya masyarakat biasa maupun tenaga medis, kematian juga tak dapat dihindari oleh para pejabat di tanah air pada berbagai level pemerintahan. Tercatat sejumlah nama seperti Bupati Morowali Utara Aptripel Tumimomor, Ketua DPRD Jepara Imam Zusdi Ghozali, Wali Kota Banjarbaru Nadjmi Adhani, hingga Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov DKI Jakarta Saefullah meninggal dunia akibat Covid-19.

Kematian para pejabat tersebut menegaskan sekali lagi bahwa akibat pandemi Covid-19, semakin jelas bahwa kematian dapat menginterupsi semangat, idealisme, hingar-bingar, maupun ambisi politik yang ada.

Lantas, seberapa besar sebenarnya makna kematian bagi manusia dan bagaimana pemaknaan tersebut mendefinisikan perilaku, khususnya dalam ranah politik?

Secara filosofis, Karl Jespers mengatakan bahwa kematian merupakan salah satu situasi batas dari sebuah eksistensialisme. Kematian dikatakan Jespers mencapai makna eksistensialnya ketika ihwal yang tak terelakkan itu membawa seseorang sampai pada kesadaran bahwa ketiadaan sebagai masa depannya.

Dengan kata lain, keniscayaan kematian pada hakikatnya memiliki posisi yang cukup esensial dalam membentuk cara pandang dan perilaku manusia. Ketika diurai pada ranah politik, eksistensi kematian pun semestinya dapat menjadi variabel vital penentu berbagai manuver dan kebijakan politik dan pemerintahan, terlebih di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19.

Akan tetapi, esensi tersebut tampaknya belum merasuk pada beberapa kebijakan pemerintah sejauh ini, salah satunya dengan tetap akan digelarnya agenda Pilkada 2020. Padahal, bombardir kritik atas pentingnya mengedepankan prioritas nyawa manusia dibandingkan urgensi politik terus mengemuka.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang dianggap memiliki posisi vital atas keputusan berlangsungnya Pilkada 2020 sejauh ini sama sekali tak menyodorkan gelagat adanya opsi penundaan pesta demokrasi kepala daerah mendatang.

Bahkan diskursus dan kajian mengenai kewenangan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai Pilkada 2020 hanya berbicara seputar penegakan protokol kesehatan saat kampanye dan pemungutan suara.

Lantas, mengapa esensi dan hakikat penting dari kematian seolah belum menjadi orientasi kebijakan pemerintah yang lebih bijaksana, khususnya pada terus dipromosikannya pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang kian mengkhawatirkan?

Pengaruh Politik Kolektif?

Meskipun proses politik acapkali disebut mengesampingkan faktor transendental dan lebih mengedepankan empirisme serta rasionalitas, David R. Weise, Tom Pyszczynski dan kawan-kawan dalam The Role of Terror Management and Attachment Processes in Shaping Political Preferences menemukan bahwa secara psikologis kematian dapat menentukan preferensi dan orientasi politik seseorang.

Terdapat kecenderungan bahwa pemaknaan akan kematian nyatanya dapat menentukan apakah seseorang akan berubah haluan menjadi lebih liberal, konservatif, atau justru mempertahankan preferensi politik sebelumnya.

Interpretasi kematian yang bermuara pada nilai toleransi dan kasih sayang satu sama lain dikatakan Weise dan Pyszczynski akan mengarah pada pengejawantahan liberalisme. Sementara pemahaman atas pentingnya kepastian, stabilitas, dan absolutisme akan mengarah dan mempertegas paradigma konservatisme.

Kematian sebagai konsep yang bermakna secara politis juga dapat dipahami ketika diperlakukan sebagai sebuah ide filosofis. Kenneth Harris dalam tulisannya yang berjudul The Political Meaning of Death: An Existential Overview menjabarkan dengan gamblang dari kacamata eksistensialisme bahwa terdapat keterkaitan antara hakikat dan pemaknaan akan kematian dengan orientasi maupun perilaku politik.

Kendati begitu, Harris berkesimpulan bahwa interpretasi atas eksistensialisme kematian bersifat sangat subjektif, dan oleh karenanya pemaknaan mortalitas secara kolektif yang dapat berpengaruh mendalam dan berkesinambungan cukup sulit terjadi.

Ya, kekhawatiran atas kematian akibat Covid-19 turut membuat sejumlah pihak mengkritik tetap dilangsungkannya Pilkada 2020 dengan membawa narasi bermakna filosofis akan kematian itu sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago juga turut menyebut bahwa Pilkada maupun pemulihan ekonomi masih bisa ditunda, namun tidak dengan nyawa manusia.

Hal dengan nada serupa juga jamak dihaturkan oleh berbagai tokoh bangsa seperti mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, pimpinan PBNU dan PP Muhammadiyah dan sebagainya.

Bahkan pelaksanaan pesta demokrasi 9 Desember mendatang dinilai menunjukkan sikap nihil empati kepada para korban yang telah meninggal dunia.

Terlepas dari apakah mengarah pada pemikiran dengan kecenderungan liberalisme, konservatisme, atau kombinasi keduanya, yang jelas sebuah preferensi dan sikap politik memang secara nyata dapat terdefinisikan dari interpretasi akan kematian, khususnya akibat Covid-19.

Namun jika mengacu pada simpulan tulisan Harris, sebuah postulat juga dapat sedikit tersingkap mengapa dengan esensi kematian akibat Covid-19 yang terus meningkat di tanah air dan tak sedikit juga merenggut nyawa para pejabat publik, pemerintah tampaknya tetap acuh dengan pemaknaan atas keniscayaan kematian itu sendiri, salah satunya dengan bersikukuh melangsungkan Pilkada 2020.

Begitu subjektifnya interpretasi pemaknaan kematian tampaknya benar-benar terjadi dalam rapat kerja di Senayan kemarin. Komisi II DPR, Mendagri Tito Karnavian, KPU, Bawaslu, dan DKPP yang sepakat tidak akan menunda Pilkada serentak 2020 seolah menegaskan bahwa pemaknaan akan kematian secara kolektif, mendalam, dan berkesinambungan sulit terjadi untuk dituangkan ke dalam sebuah keputusan politik yang sebenarnya bernilai sangat vital.

Meski latar belakang konkret yang bersifat lebih politis tentu sangat kompleks, kesepakatan tersebut membuat seolah esensi dan hakikat dari kematian “tidak berfungsi” pada logika politik para pemangku kebijakan.

Padahal di sisi lain, mengelola esensi dan hakikat dari kematian yang kemudian diterjemahkan menjadi sebuah kebijakan tertentu dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk meraih kemaslahatan bersama sekaligus merengkuh kepentingan politiknya. Mengapa demikian?

Kepentingan Praktis dan Moralitas

Dalam sebuah publikasi berjudul Terror Management of Fear, Hate, Political Conflict, And Political Violence, Tom Pyszczynski menyebutkan bahwa politisi, pemangku kebijakan, hingga pemimpin dapat menggunakan taktik persuasif dengan memaksimalkan pemaknaan psikologis, termasuk ketakutan maupun ancaman akan kematian, untuk meraih dukungan publik dan kepentingannya.

Strategi tersebut berhasil digunakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush ketika mengakomodasi kekhawatiran dan ancaman terhadap keselamatan jiwa rakyat negeri Paman Sam pasca teror 11 September.

Kebijakan agresif bertajuk War on Terror berhasil menarik simpati dan dukungan publik yang turut berkontribusi pada terpilihnya kembali Bush junior pada Pilpres 2004.

Pendekatan Bush tersebut secara filosofis juga berbanding lurus dengan konsep face to face relations yang dikemukakan Emmanuel Levinas. Konsep tersebut relevan dengan tanggung jawab etis dan etika kontemporer mengenai relasi intersubjektif antar manusia, dalam hal ini kekhawatiran dan ancaman akan kematian.

Singkatnya, pemahaman akan sensibilitas kebenaran moral secara dua arah atau kolektif sangat penting dalam mendefinisikan dan merekonstruksi hubungan intersubjektif yang positif.

Pendekatan tersebut juga tampaknya masih memungkinkan untuk dilakukan oleh Mendagri Tito saat bola panas pro-kontra Pilkada 2020 bergantung pada penerbitan Perppu oleh pemerintah.

Saat ini pemaknaan akan kematian akibat Covid-19 dinilai sedang berada pada titik kulminasinya. Oleh karenanya, sensibilitas dari pemerintah dalam menerjemahkan interpretasi itu benar-benar sedang diuji.

Mendagri Tito dinilai dapat menjadi cerminan awal bagaimana kiranya pemerintah menerjemahkan pemaknaan tersebut dalam konteks keputusan final Pilkada 2020, maupun praktiknya jika memang benar-benar dilaksanakan.

Selain itu, secara umum esensi pemaknaan akan kematian yang mendalam akibat Covid-19 juga dinilai cukup penting sebagai fundamental orientasi kebijakan pemerintah lainnya selama pandemi demi hubungan intersubjektif yang positif dengan publik.

Tak hanya demi kepentingan citra atau kepentingan politik belaka, melainkan agar kemaslahatan dan keselamatan jiwa masyarakat secara konkret dapat terakomodasi dengan baik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version