HomeNalar PolitikGemuk Anggaran, Sulit Peremajaan Alutsista?

Gemuk Anggaran, Sulit Peremajaan Alutsista?

Insiden kapal selam KRI Nanggala 402 kembali menjadi tanda bagi pemerintah untuk segera melakukan peremajaan alutsista. Dengan anggaran yang gemuk, mengapa peremajaan alutsista masih lamban?


PinterPolitik.com

Kapal selam KRI Nanggala 402 terbilang merupakan kapal tua. Kapal ini buatan Jerman dan sudah beroperasi sejak 1981. Walaupun begitu, kapal selam ini merupakan andalan TNI Angkatan Laut (AL) karena hanya memiliki lima kapal selam.

KRI Nanggala bukan insiden pertama. September 2018, KRI Roncong-622 buatan Korea Selatan tahun 1976 terbakar dan tenggelam di Papua Barat. Kemudian ada KRI Teluk Jakarta-541 buatan Jerman Timur tahun 1979 yang tenggelam di Jawa Timur pada Juli 2020.

Tenggelamnya KRI Nanggala menjadi sinyal bagi pemerintah untuk melakukan modernisasi alat utama angkatan persenjataan (alutsista). Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan (Menhan) mengatakan bahwa modernisasi alutsista stagnan untuk dilakukan karena ada masalah di anggaran. Prabowo menjelaskan bahwa untuk saat ini pemerintah  masih memprioritaskan program di sektor ekonomi daripada pertahanan.

Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sendiri memperoleh anggaran terbesar kedua setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat (PUPR) pada tahun 2021. Kemenhan memperoleh sebesar Rp 137 triliun, di mana pembelian alutsista menjadi salah satu rencana penggunaan dana.

Baca Juga: Menguak Manuver Prabowo di Denwalsus

Lantas dengan anggaran yang besar, mengapa Indonesia masih mengalami kendala dalam pengadaan dan peremajaan alutsista?

Permasalahan dalam Pengadaan

Walaupun Global Fire Power (GFP) menyatakan kekuatan militer Indonesia berada pada peringkat 16, namun alutsista Indonesia banyak yang tidak memadai. Imparsial mencatat setidaknya ada 4 persoalan dalam pengadaan Alutsista TNI.

Pertama, pembelian alutsista sering kali di bawah standar. Pemerintah kerap kali membeli alutsista dengan status bekas dan harus menggelontorkan kembali uang untuk perbaikan-perbaikan. Misalnya ketika Prabowo menyurati Menhan Austria Klaudia Tanner dalam upaya membeli 15 unit pesawat jet tempur Eurofighter Typhoon dalam rangka modernisasi alutsista.

Pesawat tempur ini merupakan pesawat bekas yang dibuat oleh konsorsium beberapa negara Eropa pada 1983. Austria sendiri berencana untuk memensiunkan pesawat ini karena dianggap menghabiskan anggaran negara.  Hal ini menunjukkan pemerintah cenderung menekankan pada unsur kuantitas daripada kualitas.

Kedua, pembelian alutsista bekas sulit mendukung transfer teknologi.

Ketiga, ada permasalahan pada pengadaan alutsista yang tidak dibarengi dengan kelengkapan peralatannya. Misalnya pengadaan pesawat tempur tidak dibarengi dengan rudal dan alat lainnya yang mendukung. Hal ini tentu mempengaruhi kesiapan alutsista itu sendiri dan mentalitas prajurit di lapangan.

Keempat, ada dugaan keterlibatan broker dalam pengadaan alutsista. Hal ini disebut beberapa kali terjadi di masa lalu.

Misalnya pada pembelian Sukhoi masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggunakan jasa perantara padahal kantor resminya ada di Jakarta. Penggunaan jasa perantara membuat pengeluaran pemerintah membengkak karena harus memberikan komisi. Hal ini juga dipengaruhi koneksi politik kuat dengan pihak tertentu.

Keempat permasalahan ini menjadi sumbangsih mandatnya peremajaan alutsista di tubuh TNI. Ini juga ditambah fakta bahwa pembagian anggaran untuk belanja alutsista terbilang sedikit, yakni tidak sampai 25 persen.

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Baca Juga: Kinerja Prabowo Dinilai Berlebihan?

Dalam menggunakan anggaran untuk pengadaan alutsista, ada pula ketimpangan di antara tiga matra TNI. TNI AD dikatakan lebih banyak mendapatkan anggaran dibandingkan TNI AL dan TNI AU.

Dominasi TNI AD?

Walaupun TNI memperoleh anggaran terbesar kedua dibandingkan sektor lainnya, namun anggaran militer Indonesia terbilang sedikit. Untuk 2021, TNI memperoleh anggaran sebesar Rp 137 triliun. Angka yang diusulkan oleh Prabowo ini jumlahnya lebih tinggi dari yang pertama kali diusulkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok kebijakan Fiskal Tahun 2021 sebesar Rp 129,3 triliun.

Namun, anggaran militer Indonesia terbilang sedikit dibandingkan negara lain. Anggaran militer tidak sampai 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tahun 2020, negara tetangga Singapura memiliki anggaran militer sebesar Rp 163,8 triliun yang menjadikannya negara dengan anggaran militer terbesar di ASEAN.

Selain itu, anggaran juga harus dibagi untuk tiga matra. Ada pula persoalan pembagian anggaran yang kurang merata antar matra.

Pada tahun 2020, TNI AD mendapatkan anggaran Rp 55,92 miliar dengan alokasi alutsista sebesar Rp 4,5 miliar. TNI AL memperoleh Rp 22,08 miliar dengan alokasi alutsista Rp 4,1 miliar. Sedangkan TNI AU memperoleh dana Rp 15,5 miliar dengan alokasi dana alutsista Rp 2,1 miliar. TNI AD memperoleh anggaran dua kali lebih besar daripada matra lainnya.

Anggaran yang terbatas tentu juga mempengaruhi pengadaan serta kualitas alutsista. Kapal TNI AL sudah tiga kali tenggelam, termasuk kapal selam KRI Nanggala 402. Pada akhir Desember 2016, pesawat Hercules C-130 mengalami kecelakaan yang menewaskan 13 orang. TNI AU mengklaim bahwa kondisi pesawat masih layak terbang, namun pesawat Hercules dibuat pada tahun 1980-an.

Ketimpangan anggaran antara trimatra TNI dapat dijelaskan melalui rational choice theory. Holton R. J yang berjudul Rational Choice Theory in Sociology mengutip pemikiran James Coleman terkait rational choice. Ia mengatakan bahwa rational choice oleh seseorang tidak serta merta objektif karena dipengaruhi oleh interest. Interest tersebut dapat menjelaskan ketimpangan anggaran karena akumulasi faktor psikologis dan sejarah di TNI itu sendiri.

Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan ke-26 berasal dari matra Angkatan Darat. Ia sempat menduduki posisi strategis di militer pada zaman Orde Baru sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).

Sebelumnya Prabowo merupakan anggota Kopassus dengan jabatan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) sejak Desember 1955 hingga Maret 1988. Jenjang kariernya yang berasal dari Angkatan Darat mungkin memengaruhi Prabowo dalam keputusan anggaran militer yang menempatkan TNI AD memperoleh dana yang dua kali lebih besar daripada matra lainnya.

Selain itu, ada faktor sejarah yang menunjukkan dominasi TNI AD dalam militer. Sejak zaman Soekarno, dominasi TNI AD terlihat karena banyak pertarungan yang dilaksanakan di darat daripada di laut atau udara.

Dominasi TNI AD juga terlihat bahwa posisi Panglima TNI yang dominan berasal dari matra darat. Dominasi TNI AD ini sendiri diafirmasi oleh Misbah Hidayat melalui bukunya yang berjudul Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden, dan Abdoel Fattah yang berjudul Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004.

Mereka mengatakan untuk mengatasi dominasi TNI AD, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengambil Panglima TNI untuk pertama kalinya di luar matra darat.

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Baca Juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?

Langkah yang sama juga dilakukan oleh SBY, ketika ia mengangkat di luar matra TNI AD untuk menjadi Panglima TNI pada 2006 dan 2010.

Meskipun demikian, dominasi TNI AD masih terasa hingga kini. TNI AD misalnya memiliki alutsista siap tempur sebanyak 2.148 alutsista.

Ancaman yang Berbeda  

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sempat mengatakan bahwa dirinya merindukan kejayaan kekuatan militer Indonesia di masa pemerintahan Soekarno. Pada saat itu, kekuatan militer Indonesia memang merupakan salah satu kekuatan militer paling kuat, berbeda pada masa kini.

Pada zaman Soekarno, kekuatan militer TNI AL merupakan salah satu kekuatan yang disegani oleh negara lain. Indonesia sempat memiliki 12 kapal selam berjenis Whiskey Class buatan Rusia yang merupakan kapal selam terbaik di tahun 1960-an.

Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah kapal perang. Salah satunya KRI Irian yang panjangnya 210 meter dan tercatat sebagai kapal perang terbesar yang dimiliki Indonesia.

Indonesia juga sempat memiliki beberapa pesawat tempur yang canggih.  Contohnya adalah MiG-21, MiG 15, MiG-17 dan MiG-19 yang hanya dimiliki oleh beberapa negara saja.

Perbedaan kualitas alutsista pada masa Soekarno dan Jokowi dapat dijelaskan melalui buku Attila Balla yang berjudul Factors influencing defense expenditures – a Hungarian perspective. Ia mengatakan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan militer suatu negara, salah satunya adalah keamanan nasional. Perasaan aman atau tidaknya suatu negara dari ancaman dapat mempengaruhi anggaran suatu negara.

Berangkat dari tulisan Balla, ancaman nasional yang dihadapi oleh Soekarno pada masa itu berbeda dengan sekarang. Pasca kemerdekaan, Soekarno harus menghadapi ancaman dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga mengalami instabilitas sosial, di mana banyak konflik integrasi Papua, pemberontakan PRRI/Permesta, dan sebagainya. Whiskey Class sendiri digunakan untuk berbagai operasi, seperti Operasi Trikora.

Baca Juga: Komcad Bukan Kartu As Prabowo?

Untuk konteks masa kini, militer lebih digunakan untuk deterrence atau alat gentar. Ancaman masa Jokowi juga lebih banyak ke ancaman ekonomi.

Dengan berbagai halangan dan tantangan peremajaan alutsista di Indonesia, sudah seharusnya permasalahan ini menjadi sorotan khusus bagi pemerintah. Hal ini tentu untuk menghindari kejadian atau insiden, seperti kapal selam KRI Nanggala 402. (R66)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Ivermectin, Kebijakan Buru-Buru Erick?

Obat ivermectin yang diperkenalkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi polemik di masyarakat. Obat ini sendiri masih dalam tahap uji klinis, namun sudah digunakan...

Jokowi di Simpang Infrastruktur dan Pandemi

Masih berjalannya proyek infrastruktur di saat pandemi menjadi polemik di tengah masyarakat. Besarnya anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan infrastruktur dianggap menjadi sikap pemerintah yang...

Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Presiden Jokowi memberikan arahan kepada Menko Polhukam Mahfud MD untuk mewujudkan dialog dengan Papua sebagai upaya pemerintah menggunakan pendekatan damai. Di sisi lain, pemerintah...