Bagi para kandidat yang bersaing di Pilpres 2019, imbauan menghentikan kampanye di daerah bencana bisa menguntungkan mereka untuk menaikkan elektabilitasnya. Masyarakat akan melihat imbauan tersebut sebagai sikap yang baik, dan tentu hal tersebut akan menaikkan citra positif kepada mereka.
Pinterpolitik.com
“The lion cannot protect himself from traps, and the fox cannot defend himself from wolves. One must therefore be a fox to recognize traps, and a lion to frighten wolves.”
:: Niccolo Machiavelli ::
[dropcap]F[/dropcap]enomena alam memang tidak bisa diprediksi kapan datangnya. Seperti tamu tak diundang alam kerap menunjukkan kegelisahannya. Khususnya bagi negara seperti Indonesia yang akrab oleh fenomena alam seperti gempa bumi ataupun tsunami.
Pun begitu dengan bencana yang mengguncang Sulawesi Tengah, tepatnya di Palu dan Donggala. Dalam waktu sekejap tanah bergoyang menggugurkan benda-benda di atasnya, air laut menggulung daratan menelan kehidupan orang-orang yang tersapu.
Bencana alam tersebut tentu membawa duka mendalam. Termasuk oleh para politikus negeri ini. Serentak mereka mengucapkan belasungkawa dan kesedihannya untuk daerah tersebut. Bahkan sebagian politikus sudah berancang-ancang menyatakan kepeduliannya turun ke daerah bencana.
Di lain hal, Indonesia tengah memasuki masa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di mana saat ini adalah masa kampanye nasional. Para kandidat sepakat jika masa kampanye ini tidak akan melibatkan daerah Sulawesi Tengah karena sedang terjadi bencana. Alasannya adalah sebagai bentuk rasa solidaritas dan kemanusiaan, sehingga tidak melibatkan unsur-unsur politik secara langsung di daerah tersebut.
Memang alasan dari penghentian kampanye di daerah bencana adalah sesuatu yang baik. Namun, ada yang perlu dicermati dari penyampaian imbauan tersebut kepada publik. Meski imbauan itu ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan, namun hal itu tidak terlepas dari unsur politik, apalagi yang mengucapkan adalah politikus. Ada makna tersembunyi dari kalimat yang disampaikan oleh para politikus ini.
Fenomena alam dan politik dalam tahap ini seperti memiliki pertalian yang erat. Musibah tak jarang dijadikan alat politik dengan menjual kesedihan. Lantas pertanyaannya adalah apa yang bisa dimaknai dari imbauan menghentikan kampanye di wilayah bencana dalam konteks Pilpres 2019 mendatang?
Imbau Hentikan Kampanye Adalah Kampanye
Kampanye adalah salah satu rangkaian dari penyelenggaraan Pilpres. Kampanye adalah bagian yang sah sebagai cara untuk memperkenalkan calon kandidat hingga menawarkan visi misi yang sudah dibentuk oleh tim kampanye masing-masing. Selain itu, kampanye juga sebagai tempat untuk menarik simpati massa.
Karenanya kampanye memiliki berbagai macam bentuk. Everet Rogers dan Douglas Storey mendefinisikan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.
Sementara itu, Robert E. Petty mengembangkan sebuah model yang disebutnya sebagai Elaboration Likelihood Model yang terangkum dalam Communication and Persuasion: Central and Peripheral Routes to Attitude Change. Petty menerangkan bahwa orang dapat memproses pesan persuasif dengan cara yang berbeda. Pada satu situasi, hal tersebut bisa dinilai sebagai sebuah pesan yang mendalam, dan pada situasi lain pesan yang sama juga bisa dinilai sambil lalu saja tanpa mempertimbangkan argumen yang mendasari isi pesan tersebut atau melalui kredibilitas komunikatornya.
Kampanye dalam artian luas bisa berasal dari mana dan dalam bentuk apa saja. Kampanye bisa saja hanya mengandalkan sumber daya yang tersedia, misalnya visi-misi, program kerja, pencapaian, hingga materi yang sifatnya dari luar. Dalam hal ini komodifikasi sebuah isu juga bisa dijadikan sebuah bahan kampanye.
Jika mengacu pada konsep kampanye yang diajukan oleh Rogers dan Storey tersebut, maka isu apa pun – termasuk bencana dan himbauan untuk tidak berkampanye – bisa dijadikan bahan kampanye, selama isu tersebut dikomunikasikan sedemikian rupa dengan menciptakan efek persepsi tertentu pada masyarakat luas. Dalam konteks ini, imbauan untuk menghentikan kampanye dalam suasana kampanye bisa jadi adalah bentuk kampanye itu sendiri.
Apalagi menurut Petty, ada sebuah proses persuasif dalam menyampaikan sebuah isi pesan. Dalam konteks imbauan penghentian kampanye, terdapat sebuah pesan tersendiri yang hendak disampaikan oleh para politikus tersebut. Mereka mengumandangkan kampanye dihentikan dengan gestur tubuh prihatin, namun di sisi yang lain menonjolkan aspek kepedulian berlebih yang memiliki makna tersirat.
Dalam hal posisinya sebagai politikus, apalagi yang tengah bersaing dalam memperebutkan kekuasaan, tentu hal itu bisa dicermati dan dikiritisi. Sebab ada nuansa politis dari imbauan-imbauan tersebut. Dalam bahasa Pierre Bourdieu, ada kuasa simbolik dari bahasa yang digunakan oleh politikus.
Masyarakat cenderung melihatnya sebagai sesuatu yang positif, serta sejalan dengan persepsi publik atas citra mereka. Tentu hal ini menguntungkan para politikus yang bisa mengkomodifikasi isu ini ke ranah yang lebih intim.
Paradoks Etika Politik
Jika berbicara tentang diskursus politik, sebenarnya ada sebuah etika politik yang menjadi bandul bagi para politikus. Etika politik adalah prinsip moral tentang baik buruk suatu tindakan yang memiliki implikasi politik. Etika politik ini diperkenalkan oleh Niccolo Machiavelli yang menilai etika atau moral harus dipisahkan dari ranah politik.
Sementara dalam studi lebih lanjut, Michael Walzer memberikan tambahan pada pemikiran Machavelli. Dalam Political Action: The Problem of Dirty Hands, Walzer menyebut dalam sistem demokrasi, urusan etika dan politik saling berkelindan dan kerenanya menimbulkan paradoks.
Dalam satu hal pemimpin negara atau politikus bisa berbuat salah untuk sebuah kebenaran, seperti misalnya menggunakan kekerasan untuk mengurangi tindak kekerasan yang lebih besar. Atau mereka bisa melakukan suatu hal yang benar, namun mendapatkan justifikasi yang salah.
1. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menyampaikan lima point penting, dalam pidato politik perdananya tantang moral dan etika politik. pic.twitter.com/aKGkumfA2w
— Hendi Kusuma (@hendikusumaaa) October 1, 2018
Apa yang disebut oleh para politikus tentang bencana memang sesuatu yang baik dan wajar. Namun, ketika hal itu bersinggungan dengan nafsu berkuasa, maka akan menimbulkan immoralitas. Immoralitas itu dilakukan dalam satu wajah yang lebih luhur, yakni dilakukan dengan cara melayani kebaikan publik. Dalam hal ini imbauan untuk menghentikan kampanye bisa menjadi paradoksal ketika hal itu diumbar dengan ujaran-ujaran retoris.
Dalam tradisi Machiavellian, politik adalah cara meraih tujuan, terlepas apakah cara meraih tujuan itu baik atau buruk. Ia tidak peduli dengan moralitas pun immoralitas. Persoalan mengenai “cara” dapat dan seharusnya dikaji tanpa memasukkan nilai kebaikan dan keburukan dari tujuannya.
Sifat mendua ini menurut Walzer bisa dimaklumi. Ia menilai hal ini sebagai suatu keniscayaan dalam politik. Maka, wajar saja apabila politikus negeri ini melakukan hal yang di permukaan terlihat baik, namun ada tujuan lain di baliknya.
Saling Diuntungkan
Bagi para kandidat yang bersaing di Pilpres 2019, imbauan menghentikan kampanye di daerah bencana bisa menguntungkan mereka untuk menaikkan elektabilitasnya. Masyarakat akan melihat imbauan tersebut sebagai sikap yang baik, dan tentu hal tersebut akan menaikkan citra positif kepada mereka.
Sejauh ini, dua kandidat Pilpres 2019 sama-sama sepakat untuk fokus membantu korban musibah di Palu dan sekitarnya. Jokowi sudah terlebih dahulu mengunjungi wilayah bencana dengan posisinya sebagai kepala negara. Jokowi dianggap responsif dilihat dari penggambaran media terkait dengan bantuan bencana. Sejauh ini sang presiden memang tidak memiliki tampilan yang “cacat”, katakanlah dalam bahasa pemberitaan yang ada.
Politikus cenderung akan menggunakan semua cara untuk meraih kekuasaan, meski harus menjual kesedihan. Share on XSementara itu, meski Prabowo sudah menyatakan keseriusannya ikut ambil bagian dalam penanganan bencana di Palu, namun tampaknya belum terlihat langkah riil yang dilakukan pihaknya. Walaupun demikian, kubu Prabowo disebut-sebut sedang menghimpun relawan dan bantuan yang akan segera dikirimkan ke Palu.
Bagi para pendukungnya, sikap kedua belah pihak adalah hal yang mulia. Apalagi melihat respons keduanya yang aktif. Tentu saja hal ini akan berdampak positif bagi kedua belah pihak dan mendukung tingkat keterpilihan masing-masing pihak, walaupun dalam konteks tertentu Jokowi jauh lebih unggul karena memiliki sumber daya negara.
Meskipun begitu, retorika bencana ini bukan satu-satunya unsur yang bisa menaikkan citra maupun elektabilitas. Konteks bencana hanya punya muara kampanye politik yang kuat karena Jokowi sebagai presiden akan maju lagi pada Pilpres mendatang. Apalagi, masih ada banyak instrumen kampanye lain yang bisa dimanfaatkan untuk menaikkan elektabilitas.
Menarik ditungu, apakah retorika-retorika sejenis akan terus menghiasi diskursus politik Indonesia beberapa waktu ke depan nanti. (A37)