Site icon PinterPolitik.com

Gempa Lombok, Upper Echelon Jokowi

Istimewa

Masyarakat Lombok masih dalam suasana mencekam dan butuh bantuan, sementara para politikus lebih sibuk dengan persiapan Pilpres.


PinterPolitik.com

“Pujian kesuksesan akan diklaim semua orang, sementara musibah hanya akan dipanggul sendirian.” ~ John F. Kennedy

[dropcap]D[/dropcap]i balik panas dan riuhnya situasi perpolitikan tanah air, sudah lebih dari seminggu ini warga Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB) mengalami bencana gempa bumi dengan kekuatan dan frekuensi yang begitu luar biasa. Selain jumlah korban jiwa dan luka-luka yang terus bertambah, kerusakan yang terjadi pun terbilang cukup masif.

Berbeda dengan gempa bumi lainnya, di Lombok tercatat sudah lebih dari 500 kali terjadi gempa susulan dengan skala yang cukup besar. Tak mengherankan bila jumlah korban dan kerusakan yang terjadi akan terus bertambah, begitu juga dengan kerugian yang harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah (Pemda) maupun Pusat.

Walau bencana ini secara ilmiah disebabkan oleh pergeseran lempeng tektonik Australia di bawah lempeng Sunda Indonesia, namun sempat beredar rumor yang menyatakan kalau bencana tersebut merupakan azab akibat Gubernur NTB, M. Zainul Madji atau Tuan Guru Bajang (TGB), mengalihkan dukungannya pada Jokowi.

Bukan itu saja, beberapa politisi seperti Fahri Hamzah dan Gubernur NTB terpilih Zukieflimansyah (Zul) yang sama-sama kader PKS, menuding Pemerintah Pusat – dalam hal ini Jokowi, tidak serius menangani bencana Lombok. Sebab status bencana Lombok masih bencana provinsi, bukan bencana nasional seperti yang diinginkan keduanya.

Tudingan ini langsung dijawab oleh Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwonugroho. Menurutnya, sesuai dengan UU. No. 24/2007, bencana yang terjadi di Lombok bukanlah bencana nasional karena hanya terjadi di beberapa kabupaten dan pemda masih berjalan, tidak lumpuh total.

Meski begitu, Sutopo mengatakan kalau saat ini sebenarnya penanganan yang diberikan bagi bencana Lombok sudah sama dengan bencana nasional. Apalagi 95 persen dana rekonstruksi wilayah Lombok yang akan digunakan berasal dari pemerintah pusat dan diambil dari dana darurat APBN. Tapi, mengapa masih ada saja yang tak puas?

Pemilu dan Politisasi Bencana

“Saya selalu mencoba mengubah setiap bencana menjadi keuntungan!” ~ John D. Rockefeller

Bagi pemilik bisnis asal AS John Davison Rockefeller, setiap bencana tak selalu menyebabkan kerugian. Sebaliknya, dalam buku Attack and Win in Business, pemilik Standard Oil ini bahkan mengaku dapat mengubah bencana menjadi keuntungan. Prinsip Rockefeller ini, bisa jadi juga yang menginspirasi para politikus di seluruh negeri.

Politisasi bencana, itulah yang digunakan para elit politik untuk meraih keuntungan. Buktinya dalam setiap bencana yang terjadi, baik bencana alam maupun bencana kemanusiaan, akan selalu ada partai politik atau para elit yang berupaya menaikkan citranya atau menjatuhkan citra lawan, terutama di tahun politik belakangan ini.

Salah satu contoh politisasi bencana yang sempat dianggap berhasil menurunkan citra lawan, adalah saat Kejadian Luar Biasa (KLB) stunting atau gizi buruk di Suku Asmat, Papua. Akibatnya Pemerintah, khususnya Jokowi, bahkan sempat mendapatkan ‘kartu kuning’ dari Senat Mahasiswa Universitas Indonesia.

Mempolitisir bencana, menurut David G. Twigg dalam buku The Politics of Disaster: Tracking the Impact of Hurricane Andrew, tidak hanya terjadi di negeri ini saja. Di AS sendiri, berdasarkan penelitian Twigg paska bencana angin topan Andrew yang menerjang pada tahun 1992, para politisi di negeri Paman Sam itu pun kerap melakukannya.

Dari hasil observasinya, Twigg menemukan kalau figur atau parpol yang paling cepat tanggap membantu akan meninggalkan kesan tersendiri bagi korban bencana. Adanya ikatan perasaan dipedulikan ini, akan terus membekas dan sangat mudah dimanfaatkan oleh parpol maupun elit politik untuk meraih kemenangan di Pemilu.

Jadi tak heran bila saat ini, beberapa parpol seperti PDI Perjuangan, Golkar, NasDem, maupun PKS, telah menurunkan para relawan yang tentu akan membawa bendera partai pula. Bukan hanya untuk membantu para korban, tapi secara tak langsung juga berupaya membangun kesan peduli seperti yang dikatakan oleh Twigg sebelumnya.

Selain ‘perang bendera parpol’ di lokasi bencana, ilmuwan politik dari Florida International University itu juga mengatakan kalau bencana dapat menjadi senjata bagi lawan politik. Seperti yang terjadi pada kasus Asmat, pihak oposisi berhasil memberikan serangan telak yang disinyalir mampu mengurangi citra Jokowi di mata masyarakat.

Sekarang pertanyaannya, apakah desakan akan status bencana Lombok dari Fahri dan Zul juga merupakan upaya untuk menjatuhkan citra Jokowi di mata masyarakat? Begitu juga dengan mitos azab yang diterima masyarakat Lombok, apakah merupakan upaya untuk mempertahankan suara oposisi di wilayah tersebut?

Pilpres dan Penanganan Bencana Jokowi

“Kebajikan terbesar apa yang dapat ditemukan selain kebaikan hati?” ~ Jean Jaques Rousseau

Perlu diketahui, pada Pilpres 2014 lalu, Jokowi mengalami kekalahan telak di NTB. Tak tanggung-tanggung, 70 persen masyarakat NTB yang beragama Islam lebih memilih pasangan Prabowo – Hatta yang diusung oleh PKS dan Gerindra. Di Pilkada lalu, Gubernur yang akan menggantikan TGB nantinya pun berasal dari PKS.

Sama seperti Zul yang punya kepentingan di wilayah yang akan dipimpinnya, Fahri pun tak lain merupakan kader PKS yang daerah pemilihannya di NTB. Sehingga dapat disimpulkan, tekanan keduanya pada Jokowi untuk segera meningkatkan status bencana provinsi menjadi bencana nasional, bisa jadi karena ada maksud tertentu.

Apalagi menurut Sutopo, sebenarnya penanganan antara bencana provinsi dengan nasional hanya terletak dari siapa yang pegang komando, apakah pemda atau pusat. Mengingat lokasi gempa tidak terjadi di semua wilayah atau hanya di beberapa kabupaten saja sehingga TGB masih mampu bekerja, maka status masih ditetapkan sebagai bencana provinsi.

Kondisi bencana Lombok, tentu berbeda dengan gempa bumi yang disertai gelombang tsunami di Aceh pada 2004 lalu. Selain menyebabkan 200.000 orang meninggal dan kerugiannya mencapai Rp 42,7 triliun, gelombang tersebut pun nyaris meluluhlantakkan sebagian besar provinsi sehingga mengakibatkan Pemda Aceh lumpuh total.

Adanya kekosongan pemerintahan inilah yang mengharuskan pemerintah pusat mengambil alih komando dalam penanganan bencana, sehingga statusnya menjadi bencana nasional. Berdasarkan perbandingan ini, tentu gempa Lombok yang Pemda-nya masih dapat bekerja tidak bisa serta merta diambil alih begitu saja oleh pusat.

Apalagi, seperti yang dikatakan oleh Twigg, figur yang paling cepat menangani korban, umumnya akan mendapatkan kesan tersendiri di masyarakat karena secara tak langsung telah melakukan “kampanye tanpa kampanye”. Dalam hal ini, Jokowi pun telah melakukannya, termasuk mendatangi langsung kamp pengungsian.

Strategi Jokowi yang memberikan tanggung jawab pada provinsi, namun tetap ikut memantau komando penanganan bencana, menurut Hambrik dan Mason merupakan ciri dari pemimpin upper echelon, yaitu pemimpin yang mampu memfilter keputusannya berdasarkan dinamika situasi melalui strategi yang dapat mengatasi semua tantangan.

Sebagai petahana, Jokowi tentu tidak bisa memusatkan perhatiannya pada bencana Lombok. Apalagi bencana terjadi tepat di saat masa pendaftaran capres dan cawapres, sehingga keputusannya untuk tetap memberikan tanggung jawab pada Pemda, akan membantunya memfokuskan diri pada proses pencapresannya.

Melalui keputusannya ini, Jokowi pada akhirnya memang mampu menangani dua permasalahan sekaligus, yaitu mempersiapkan pendaftaran Pilpres tanpa mengabaikan bantuan bagi warga Lombok. Sementara di pihak oposisi, dalam hal ini Zul dan Fahri, terpaksa gigit jari karena tudingannya mampu dipatahkan oleh BNPB.

Melalui delegasi kerja yang baik antara pusat dan daerah, dalam hal ini Jokowi dan TGB, pernyataan Presiden Kennedy di awal tulisan pun terpatahkan, karena tidak ada yang menanggung bencana sendirian. Terlebih, berhasil tidaknya penanganan bencana nantinya, akan jadi tanggung jawab gubernur NTB berikutnya, yaitu Zulkieflimansyah. (R24)

Exit mobile version