Kekalahan Ahok-Djarot di Jakarta adalah kekalahan keempat yang harus diterima PDI Perjuangan. Salah satu partai terbesar di Indonesia ini, sampai bulan April 2017, sudah menelan pil pahit kekalahan di Gorontalo, Banten, Jakarta, dan Bangka Belitung.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]M[/dropcap]egawati Soekarnoputri, ketua umum partai banteng bermoncong putih sejak 1998 hingga hari ini, tentu merasa sedih dan boleh jadi sangat khawatir. Pasalnya, dari Pilkada yang terselenggara hanya tiga kemenangan yang diperoleh, yakni di Aceh, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Jika kekalahan kembali dialaminya pada Pilkada selanjutnya, tentu saja luas kekuasan PDI Perjuangan semakin sempit.
PDI Perjuangan sempat mereguk popularitasnya kala kejatuhan Soeharto tahun 1998. Tahun 1999, partai ini mampu memenangkan Pemilu, hingga di tiap sudut jalan berdiri posko warga, yang seakan menghubungkan militansi warga dengan PDI Perjuangan. Dari sini, PDI Perjuangan diidentikan dengan orang-orang kecil, masyarakat kelas bawah, yang secara ekonomi tidak mapan. PDI Perjuangan pun juga menjuluki dirinya sebagai “partai wong cilik”.
Dukungan yang deras dari para warga tak hanya diwujudkan melalui posko saja, tetapi juga aksi 1,2 juta orang turun ke jalan dengan pakaian merah. Aksi ini disebut dengan “Cap Jempol Darah” dan mampu membuat jalanan utama di Jakarta menjadi lautan merah. Partai PDI Perjuangan saat itu dianggap sebagai pelampiasan dari keberadaan partai-partai lama yang mendominasi Orde Baru selama puluhan tahun.
Namun, apakah hari ini jargon partai wong cilik masih relevan? Mengingat tingkat kepopuleran PDI Perjuangan terus merosot di kalangan masyarakat.
Bukan Basis, Bukan Rasis?
Sampai pada akhir bulan April 2017, terhitung sudah ada tujuh Pilkada yang diikuti PDI Perjuangan. Pilkada tersebut diadakan di Gorontalo, Papua Barat, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Aceh, Banten, dan Jakarta. Dari ketujuh Pilkada tersebut, PDI Perjuangan hanya mendapat kemenangan di Aceh dengan kader Drh. Irwandi Yusuf dan H. Nova Iriansyah, Sulawesi Barat dengan H. Ali Baal dan H. Enny Anggraeny, serta Papua Barat dengan Drs. Dominggus Mandacan dan Mohammad Lakotani.
Kemenangan PDI Perjuangan di Aceh, bisa jadi adalah sebuah prestasi karena sebelumnya, PDI Perjuangan tak pernah mendominasi Aceh. Aceh selalu didominasi partai lokal. Pilkada 2017, PDI Perjuangan berkoalisi dengan Partai Damai Aceh dan Partai Nasional Aceh. Sedangkan Papua Barat, sejak dahulu memang menjadi lumbung suara PDI Perjuangan. Saat Pilpres 2014, Papua Barat adalah salah satu provinsi yang menyumbang suara terbanyak untuk Jokowi, yang juga berasal dari PDI Perjuangan. Dengan demikian, kemenangan di Papua Barat bukanlah sesuatu yang unik. Hal yang sama juga berlaku di Sulawesi Barat. Kemenangan PDI Perjuangan di basisnya sendiri bukanlah sebuah pencapaian yang berarti.
Kekalahan yang dialami PDI Perjuangan di Gorontalo, Bangka Belitung, Banten dan Jakarta juga memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Gorontalo memang sejak dahulu bukanlah basis kekuatan PDI Perjuangan. Kultur muslim yang bersifat dinastik di Gorontalo, secara turun temurun selalu memenangkan kader yang masih berelasi dengan bangsawan lokal dan non-PDI Perjuangan. Pada Pilkada Gorontalo 2017, PDI Perjuangan mencalonkan Hana Hasanah Fadel, seorang politisi sekaligus istri Fadel Muhammad, yang sedang tersandung kasus korupsi. Di Banten, PDI Perjuangan biasanya selalu berkoalisi dengan Golkar. Baru pada Pilkada 2017 ini, Golkar dan PDI Perjuangan tidak berkoalisi, selisih kemenangan juga sangatlah tipis. Namun tetap saja, kepopuleran Rano Karno tidak mampu mengalahkan Wahidin Halim dari Golkar.
Di Jakarta, seperti yang sudah kita ketahui bersama, isu-isu penistaan agama, penggusuran, reklamasi, dan etnis dimainkan sehingga Basuki Tjahaja (Ahok) harus kalah dari Anies Baswedan. Keadaan di Bangka Belitung bisa jadi adalah kasus unik. Jika dibandingkan dengan Pilpres 2014, perolehan suara PDI Perjuangan untuk Jokowi di Bangka Belitung sangatlah tinggi, namun hasil sebaliknya terjadi di Pilkada 2017. Kader usungan Gerindra, Nasdem, PKB, dan Demokrat bernama Erzaldi Rosman Djohan berhasil mengalahkan kader PDI Perjuangan bernama Rustam Effendi dan Muhammad Irwansyah.
Berbeda seperti di Jakarta, kekalahan PDI Perjuangan di daerah lain tidak selalu terjadi karena isu penistaan agama dan kasus lingkungan. Hal tersebut bisa menjadi beberapa faktor, namun tidak selalu kuat. Faktor basis suara juga menentukan pendapatan suara PDI Perjuangan di daerah tersebut. Bagaimanapun, kasus di Bangka Belitung penting sekali untuk diperhatikan, kebalikan dengan Aceh, Bangka Belitung pada Pilkada 2017 tidak memberikan suara sebanyak Pilpres 2014 kepada PDI Perjuangan. Hal ini bisa saja diterjemahkan sebagai salah satu tanda kemerosotan popularitas PDI Perjuangan di Bangka Belitung. Apa yang terjadi di Bangka Belitung, sangat mungkin terjadi di Pilkada Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 2018.
BLBI Ancam Ketua Umum PDI Perjuangan?
Tak hanya kekalahan bertubi-tubi, PDI Perjuangan juga masih harus menghalau gonjang-ganjing akibat terbukanya kembali kasus Badan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Kasus yang sempat terkubur sejak turunnya Soeharto pada 1997, sempat dibuka lalu menghilang, sekarang ditelusuri kembali. Komisi Penanggulangan Korupsi (KPK) pada Rabu (26/04) sudah menetapkan Syarifudin Tumenggung, mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPK) sebagai tersangka. Namun, mengapa PDI Perjuangan harus merasa khawatir?
Semua berawal pada masa krisis moneter tahun 1997-1998. Untuk mengatasi ketidakpercayaan rakyat terhadap Rupiah, serta krisis yang dihadapi bank akibat kredit macet, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1998. Secara sederhana, keputusan ini berisi pemberian pinjaman uang sebesar Rp. 144, 53 triliun untuk beberapa bank swasta guna melancarkan kembali siklus keuangan bank. Dana ini murni diturunkan dari Bank Indonesia, yang notabene badan keuangan terbesar negara. Namun, uang yang sudah dikucurkan tersebut, tidak digunakan sesuai kesepakatan. Para obligor yang juga pengusaha bank itu, membawa kabur uang kucuran BI dan membiarkan bank mereka collapse.
Menghadapi pencurian besar-besaran itu, pemerintah membangun Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang tugasnya menagih hutang tersebut. Persoalan ini dilengserkan ke pemerintahan berikutnya. Hingga Megawati mengeluarkan Inpres no. 8 tahun 2002, yang berisi instruksi kepada tujuh pejabat, yakni Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Kehakiman dan HAM, para anggota Komite Kebijakan sektor Keuangan, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua BPPN, untuk memberi jaminan hukum kepada para obligor atau penghutang.
Alhasil, ketua BPPN saat itu, Syarifudin Tumenggung mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada para obligor. Padahal bukti dan transparansi pembayaran hutang tak pernah ada. Di sinilah peran langsung Megawati memuluskan status release and discharge dalam SKL kepada para koruptor. Dengan kata lain, Megawati turut melindungi pencuri terbesar negara dengan dikeluarkannya SKL atau status release and discharge.
SKL yang dikeluarkan dari Inpres Megawati tak berarti kebal untuk diadili. Jika keputusan atau produk kebijakan (mantan) presiden terbukti melanggar hukum atau masuk dalam ciri-ciri Perbuatan Melanggar Hukum, hal tersebut dapat diadili di badan hukum tertinggi negara, yakni MA atau harus melalui Pengadilan Tindak Pidana korupsi (Tipikor).
Kasus BLBI tentu saja menjadi penyumbang keguncangan PDI Perjuangan, sekaligus semakin menurunkan elektabilitas para kadernya. Dengan kata lain, bagaimana cara sebuah partai mempromosikan keberpihakannya kepada rakyat jika pihaknya (terbukti) berkontribusi melindungi praktik korupsi besar-besaran? Presiden Jokowi, yang juga berasal dari PDI Perjuangan memang menunjukkan gelagat membela sang ketua umum. Tetapi, langkah yang selanjutnya ditempuh tidak bisa diprediksi, sebab yang membuka kembali kasus BLBI ini adalah Jokowi sendiri.
Hal ini bisa menambah gonjang-ganjing di tubuh PDI Perjuangan, mengingat Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2016 menyatakan, PDI Perjuangan adalah partai terkorup di Indonesia dengan 84 jumlah kasus. Menilik kanker yang terjadi di tubuh PDI Perjuangan, tak heran partai ini tak akan mendapat dukungan meriah seperti pada Pilpres 2014 lalu, bahkan pada tahun 1999.
Menatap Pilkada 2018 dan Pilpres 2019
Pilkada 2018 dan Pilpres 2019 akan menjadi perjalanan yang cukup berliku bagi PDI Perjuangan. Sosok Megawati sendiri sebagai seorang ketua umum dan mantan presiden, tidak meninggalkan kesan mendalam yang berarti pada masyarakat. Di masa pemerintahannya tahun 2001 – 2004, penjualan-penjualan aset negara, kasus SKL BLBI, lepasnya Sipadan-Ligitan, kenaikan harga BBM dua kali, serta tingginya tingkat korupsi partai besutannya, tentu akan tercatat sebagai faktor peralihan dukungan terhadap PDI Perjuangan.
PDI Perjuangan saat ini tak lagi pantas menyandang sebagai partainya “wong cilik”, jika Megawati dan juga para anggotanya hanya dapat bersedih dan khawatir karena kekalahan perolehan suara, tanpa benar-benar mengerti realitas sosial dan kebutuhan masyarakat. Modal historis yang dimiliki partai ini, akan menjadi tombak baru jika hal tersebut dikelola dengan maksimal, walaupun tetap saja tak akan seperti yang pernah terjadi pada akhir masa Orde Baru lalu.
“There comes a time when one must take a position that is neither safe, nor politic, nor popular, but he must take it because conscience tells him it is right.” — Dr. Martin Luther King
(Berbagai sumber/A27)