Kata “gemoy” menjadi istilah yang tengah naik daun dalam beberapa waktu terakhir, utamanya dikaitkan dengan kampanye Prabowo Subianto. Demam gemoy membuat citra Prabowo menjadi lebih lunak di mata pemilih, utamanya di kalangan pemilih muda. Persepsi melunaknya Prabowo yang di dua gelaran Pilpres sebelumnya dilihat sebagai sosok yang keras dan cenderung “menakutkan” hadir dalam berbagai bentuk. Mulai dari demam joget ala Prabowo yang menjadi trend, hingga tajuk kampanye menggunakan karakter atau gambar kartun menggemaskan yang di-generate AI. Akankah ini jadi jaminan kemenangan sang jenderal di 2024?
Sebutan “Pak Gemoy” memang menjadi sentilan-sentilan yang menarik yang dilontarkan oleh para pendukung Prabowo. Kata “gemoy” itu sendiri merupakan turunan dari “gemes” atau “menggemaskan” dan umum dipakai oleh anak-anak muda. Gemoy adalah simbol perubahan imej yang saat ini terjadi pada Prabowo.
Setidaknya sejak bergabung dengan pemerintahan, Prabowo memang menjadi sosok yang jauh lebih lunak dan jauh dari apa yang ia tampilkan di Pilpres 2014 dan 2019. Di dua geleran kontestasi elektoral sebelumnya itu Prabowo memang menampilkan diri sebagai sosok yang kaku, keras dan sering marah-marah.
Di Pilpres 2014, saat masih berstatus capres, Prabowo pernah memarahi sejumlah wartawan televisi seperti Berita Satu, Kompas TV, dan Metro TV. Hal tersebut terjadi saat Prabowo baru saja selesai mencoblos di Tempat Pemungutan Suara di rumahnya. Prabowo juga menyebut Kompas dan Tempo yang tidak menulis tentangnya sesuai fakta.
Prabowo juga pernah menunjukkan reaksi kemarahannya pada media The Jakarta Post. Ia menyebut harian The Jakarta Post “brengsek”, dan Sofyan Wanandi – salah satu petinggi The Jakarta Post—tidak demokratis.
Jelang Pilpres 2019, Prabowo juga kerap melontarkan kritikan tajam kepada pemerintah, misalnya soal kebijakan utang dan pajak. Ia bahkan berpidato membahas prediksi Indonesia bubar di tahun 2030. Pidato itu menyinggung soal kekayaan Indonesia yang sebagian besar dinikmati oleh luar negeri.
Citra keras dan kaku serta pemarah yang ditampilkan itu makin membuat takut pemilih, apalagi ketika dikampanyekan lawan politik dengan menyerang isu dugaan pelanggaran HAM penculikan aktivis di tahun 1998. Prabowo untuk beberapa lama memang dituduh sebagai sosok di balik peristiwa-peristiwa tersebut.
Imej Prabowo kemudian terlihat melunak usai dirinya merapat ke pemerintahan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan pada Oktober 2019. Pada era sebagai Menteri Pertahanan Jokowi dan jelang Pilpres 2024, dalam salah satu unggahannya di akun Twitter dan Instagram-nya, Prabowo nampak mengenakan hoodie putih dengan latar belakang langit, seperti di puncak gunung. Foto ini menjadi populer dan memantik diskusi di kedua platform tersebut, terutama di kalangan anak muda.
Tidak hanya soal penampilan, persona Prabowo yang muda dan segar juga dapat dilihat dari media sosialnya dan media sosial Partai Gerindra yang lebih cair kepada audiensi. Perubahan imej Prabowo makin kentara terlihat bahkan sebelum masa-masa kampanye. Dengan mengenakan peci hitam dan kemeja putih berkantong dada kelir putih, Prabowo Subianto, si calon presiden, berjoget. Tercatat Prabowo semakin sering berjoget, bernyanyi, dan menampilkan aksi-aksi lucu sejak ada di pemerintahan Jokowi dan dalam momen-momen jelang Pilpres 2024.
Aksi-aksi joget Prabowo gemoy kemudian menjadi viral dan dalam beberapa waktu terakhir digandrungi oleh anak muda. Beberapa video menunjukkan gaya joget Prabowo saat pengumuman nomor urut capres-cawapres di KPU dioleh sedemikian rupa menjadi koreografi tarian.
Video yang diunggah oleh PAN misalnya, menampilkan challenge berjoget ala Prabowo. Sekelompok anak muda tampak mencoba menirukan jogetan ala Prabowo. Kemudian di video lain ada Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang berjoget gemoy Prabowo bersama mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan menteri BUMN Erick Thohir.
Usaha untuk mempopulerkan joget gemoy juga dilakukan oleh Wakil Ketum Partai Gerindra Deddy Mulyadi. Ia menggelar lomba joget gemoy di Subang, Jawa Barat, yang diikuti oleh lebih dari 500 peserta. Ini turut meningkatkan animo masyarakat akan joget gemoy, dan ujungnya pada citra Prabowo.
Bisa dibilang, gemoy Prabowo adalah bukti kekuatan media sosial yang bisa mempengaruhi preferensi pemilih lewat hal-hal yang lucu dan menggemaskan. Pertanyaannya adalah akankah strategi ini berhasil mengantarkan Prabowo ke kursi tertinggi di republik ini?
Melihat Kasus Bongbong Marcos
Konteks pemanfaatan media sosial sebagai sarana kampanye politik yang efektif tampaknya mulai menjadi template yang sedang banyak digunakan oleh para pemimpin dunia. Ini karena adanya peremajaan demografi pemilih yang tengah terjadi di banyak negara, utamanya di negara-negara berkembang.
Rumusan ini salah satunya dipakai oleh Ferdinand Romualdez Marcos atau Bongbong Marcos yang kini menjadi Presiden Filipina. Ia merupakan anak dari diktator Filipina, Ferdinand Marcos, yang berkuasa selama 21 tahun sebelum digulingkan pada 1986. Banyak kontroversi selama kepemimpinan Marcos Sr., salah satunya dia dicap sebagai diktator korup.
Beberapa analisis sepakat bahwa kampanye yang masif melalui media sosial adalah salah satu faktor penentu kemenangan Bongbong. Sebelum dipilih langsung di bilik suara oleh rakyat Filipina, ia telah memenangkan pertarungan di media sosial ketika berhasil mengambil segmen pemilih muda yang efektif memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut.
Kemenangan Bongbong pun erat berkaitan dengan penyatuan dua kekuatan dinasti politik: ia mendaulat putri Rodrigo Duterte, Sara Duterte, sebagai wakil presiden. Ada kesamaan yang “tidak sengaja” terdapat antara Prabowo dan Bongbong Marcos.
Pertama, tentu saja kampanye masif dengan mengubah citra melalui media sosial dan menarget anak muda lewat gemoy. Dan yang kedua adalah soal bagaimana pada akhirnya Prabowo menggandeng Gibran, Wali Kota Surakarta sekaligus putra sulung Presiden Joko Widodo. Disadari atau tidak, ini menunjukkan Prabowo seolah meniru Bongbong.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah joget dan gemoy yang beredar dalam dunia maya bisa menjadi cara efektif mendulang suara pemilih muda? Well, banyak pengamat yang menilai Generasi Z akan menjadi segmen pemilih yang paling diperebutkan oleh para kontestan pemilu. Strategi meraih dukungan via media sosial kini telah menjadi hal wajib yang dilakukan oleh para kontestan pemilu karena bisa menjangkau pemilih lebih efektif dan efisien. Kekurangannya adalah tidak ada jaminan 100 persen bahwa suara publik di dunia maya itu akan terkonversi menjadi suara pemilih.
Kemudian, sama seperti Bongbong Marcos, Prabowo ada di posisi yang bisa memanfaatkan gap sejarah. Pasalnya, generasi muda saat ini mungkin tak banyak yang ingat soal peristiwa 1998 karena belum lahir atau masih terlalu kecil untuk memahami peristiwa-peristiwa itu di masa lalu.
Ini tentu akan menguntungkan karena citra gemoy dengan sendirinya membuat citra Prabowo dan masa lalunya menjadi variabel yang tidak penting lagi. Bagi Prabowo, ini adalah salah satu kunci yang bisa memungkinkannya merengkuh kursi RI-1.
Prabowo Gemoy Strategi Jitu?
Sebagai parafrase dari citra yang lucu dan menggemaskan, gemoy bisa menjadi kunci kemenangan Prabowo. Pasalnya, pemimpin yang memiliki citra lucu dan menggemaskan seringkali lebih disukai oleh pemilih karena beberapa alasan psikologis dan sosial.
Alasan utamanya adalah soal keterlibatan emosional. Ketika pemimpin terlihat lucu dan menggemaskan, mereka dapat menciptakan keterlibatan emosional dengan pemilih. Tertawa dan senyum adalah cara yang efektif untuk membina ikatan emosional, dan pemilih cenderung merasa lebih dekat dengan pemimpin yang mampu membuat mereka tertawa atau merasa senang.
Kemudian, citra gemoy Prabowo bisa menciptakan kesan positif. Pemilih cenderung lebih suka mendukung pemimpin yang dianggap ramah, hangat, dan bersahabat. Citra ini dapat mengurangi ketegangan dalam hubungan pemimpin-pemilih dan menciptakan lingkungan yang lebih positif.
Selanjutnya, pemimpin yang memiliki kecenderungan humor dapat menjadi penghibur yang baik. Kemampuan untuk melepas tegangan dan memberikan hiburan dapat membuat pemimpin terlihat lebih manusiawi dan mudah didekati.
Dalam konteks Prabowo, hal ini juga bisa mengurangi kesan dominan dan otoriter. Citra yang lucu dan menggemaskan dapat mengurangi kesan bahwa seorang pemimpin bersifat terlalu dominan atau otoriter. Ini dapat membuat pemimpin terlihat lebih terbuka terhadap berbagai pendapat dan lebih mudah diajak berkomunikasi.
Sementara poin lainnya adalah soal peningkatkan keterkenalan dan brand politik Prabowo sendiri. Pasalnya, pemimpin yang memiliki citra yang menggemaskan dapat lebih mudah diingat oleh pemilih. Mereka menciptakan “merek politik” yang lebih mudah diakses dan diidentifikasi oleh pemilih, terutama di era media sosial yang cepat.
Dari poin-poin tersebut, jelas imej gemoy akan menguntungkan Prabowo. Namun, efektivitasnya tentu perlu dibuktikan. Menarik untuk ditunggu seperti apa hasilnya di bilik suara pada Februari 2024 mendatang. (S13)