Dukungan Fahri Hamzah dan Partai Gelora ke Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution di Pilkada 2020 memunculkan sentimen minor dari publik. Fahri, yang selama ini vokal mengkritik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dianggap menjilat ludah sendiri. Sebenarnya, apa tujuan Fahri dan Partai Gelora merapat ke kubu Istana?
Kemunculan partai baru memang selalu menarik perhatian publik. Hadirnya pendatang baru dalam panggung politik nasional bagaikan angin segar di tengah jengahnya masyarakat terhadap sepak terjang partai-partai lama.
Mungkin hal ini juga dirasakan sebagian orang ketika Anis Matta dan Fahri Hamzah secara resmi mengumumkan susunan pengurus Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia di akhir tahun lalu.
Sebagai partai politik (parpol) yang lahir akibat konflik internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS), publik mungkin berharap Partai Gelora bisa ikut mengisi kekosongan barisan oposisi pemerintah. Apalagi masyarakat tentu masih ingat dengan sosok Fahri yang dulu kerap ceplas-ceplos mengkritik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)
Namun bagi sebagian pihak yang mungkin rindu dengan kritikan Fahri agaknya harus menelan pil pahit kekecewaan. Pasalnya, belum lama ini, Fahri bersama partai barunya menyatakan dukungannya terhadap putra dan menantu Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution di Pilkada Kota Solo dan Medan. Hal ini kemudian diterjemahkan sebagai pertanda merapatnya Fahri dan partai barunya itu ke Istana.
Tak hanya menghebohkan, berita dukungan ini juga langsung memantik sentimen minor terhadap Fahri dan Partai Gelora. Fahri dituding menjilat ludah sendiri lantaran dulu sempat mencibir Gibran yang berencana maju di Pilwalkot Solo.
Fahri sendiri telah memberikan pembelaannya dalam acara Indonesia Lawyers Club beberapa waktu lalu. Di acara tersebut, mantan Wakil Ketua DPR RI itu menyebut bahwa semuanya bisa berubah. Oleh karenanya di dunia tak ada yang pasti kecuali perubahan itu sendiri.
Dalih Fahri tersebut sebenarnya memang benar adanya. Di mana pun, apalagi dalam dinamika politik, tak ada kawan maupun lawan yang abadi.
Namun terlepas dari apapun persepsi yang menyertainya, tak bisa dipungkiri, perubahan sikap Fahri dan manuver partai barunya kadung menimbulkan polemik tersendiri di tengah masyarakat. Lantas pertanyaannya, apa sebenarnya motif Partai Gelora mendukung kerabat Presiden Jokowi di gelaran Pilkada di tengah banjir kritik politik dinasti?
Mencari Modal?
Meski memancing reaksi negatif dari publik, Pengamat Politik dari Universitas Paramadina, Hendri Budi Satrio justru tak terkejut dengan manuver Partai Gelora. Sebagai partai baru, Fahri CS memang membutuhkan popularitas dan dukungan. Hal ini lantas dilakukan dengan cara mendekati kubu pemerintah.
Manuver Partai Gelora ini bisa dimaknai sebagai cara membangun relasi politik dengan penguasa. Relasi, menurut Robert D Putnam dalam tulisannya yang berjudul Making Democracy Work, merupakan salah satu bentuk modal sosial yang dapat memfasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk keuntungan bersama.
Putnam kemudian menganalisis perbedaan fungsional dalam modal sosial ke dalam dua kategori, yaitu modal mengikat (bonding capital) dan modal penghubung (bridging capital).
Modal mengikat berfungsi untuk mempertemukan orang-orang yang memiliki latar belakang mirip atau seragam satu sama lain dalam aspek-aspek penting, seperti suku, ras, kelas sosial dan sebagainya. Sementara modal penghubung bertindak sebaliknya, yakni mempertemukan orang-orang yang berbeda satu sama lain.
Lalu mengapa Partai Gelora memilih kubu pemerintah untuk meraup modal sosialnya? Bukankah sebagai partai yang memiliki keterkaitan dengan PKS, ceruk suara potensial Partai Gelora berada di seberang kubu pemerintah?
Untuk menjawabnya, kita perlu memandang modal sosial dari kacamata yang berbeda. Modal sosial dalam politik sejatinya tak melulu berkaitan dengan dukungan elektoral. Menurut sejumlah studi, modal sosial memiliki korelasi positif terhadap modal ekonomi.
Pierre Bourdieu dalam teori bentuk-bentuk modal sebagaimana dikutip oleh J. G. Richardson dalam bukunya Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education mengatakan bahwa modal sosial dapat ditransfer menjadi modal ekonomi dengan sejumlah cara. Poin ini kemudian diterima secara luas oleh para peneliti modal sosial, dan telah didukung oleh banyak studi empiris.
Ekonomi memang menjadi aspek penting dalam politik, termasuk dalam ranah sistem kepartaian. Bagaimanapun, tak bisa dipungkiri, setiap proses politik yang dijalankan partai memerlukan sokongan dana.
Herbert E. Alexander dalam bukunya Financing Politics: Money, Elections and Political Reform menyatakan bahwa uang menjadi alat paling signifikan untuk memperoleh kekuasaan politik dalam masyarakat modern. Perubahan fungsi uang dari sekadar alat tukar, membuat aspek keuangan dalam politik menjadi komponen penting dalam semua proses tata kelola pemerintahan bahkan dalam masyarakat paling tradisional.
Namun uang sebenarnya hanyalah sebuah simbol. Kompetisi yang sebenarnya adalah untuk mendapatkan kekuasaan, harga diri, maupun nilai-nilai yang lain. Dengan kata lain, uang adalah instrumen, sisi pentingnya adalah bagaimana uang digunakan oleh masyarakat untuk mendapatkan pengaruh, ataupun uang ditukar menjadi sumber-sumber daya lainnya.
Dalam konteks Indonesia, peran uang dalam proses politik faktanya tak terlalu sulit untuk diidentifikasi. Sejak dulu, mahalnya ongkos politik kerap dijadikan kambing hitam atas munculnya fenomena pejabat pemburu rente.
Pun dalam hal membangun dan membesarkan partai baru, uang memainkan peran yang cukup sentral. Hal ini sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem dan aturan dalam Undang-undang (UU) pemilu kita.
Pada Pemilu 2019 lalu misalnya. Salah satu syarat bagi partai politik untuk bisa lolos verifikasi menjadi peserta pemilu adalah memiliki kantor pengurus di setiap level, mulai dari pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Semua ini tentu memerlukan modal uang yang cukup besar.
Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI Ahmad M Ali pernah menyoroti hal tersebut. Ia terang-terangan menyebut bahwa untuk mendirikan partai politik baru, setidaknya diperlukan modal Rp 50 miliar.
Lalu dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang ada, boleh jadi manuver Partai Gelora mendekat dengan kubu pemerintah adalah dalam rangka mengumpulkan modal sosial yang kelak bisa dikonversi menjadi modal ekonomi. Namun perlu dicatat bahwa modal sosial seperti relasi dan jejaring tak bisa begitu saja mendatangkan uang secara instan. Sebagaimana Bordeiu katakan, bahwa modal sosial bisa ditransfer menjadi modal ekonomi dengan catatan harus melalui beberapa usaha.
Relasi sendiri, seperti yang dikatakan Putnam merupakan salah satu bentuk modal sosial yang dapat memfasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk keuntungan bersama. Lalu pertanyaan selanjutnya, apa kira-kira keuntungan yang didapat Gibran, atau dalam konteks yang lebih luas, kubu Jokowi dari merapatnya Partai Gelora?
Gerus Ceruk Suara PKS?
Modal sosial hanyalah salah satu dari tiga modal yang diusulkan oleh Bordieu dalam teorinya. Dua modal lain yang juga Ia singgung adalah modal ekonomi dan modal budaya.
Ketiga bentuk modal ini dapat ditransfer ke bentuk modal lain dalam kondisi tertentu. Namun, sebagaimana diungkapkan Saijun Zhang dalam tulisannya The Relationship Between Social Capital and Economic Well-Being, Bordieu tidak menimbang ketiga bentuk modal ini secara setara karena Ia menganggap modal ekonomi sebagai fondasi dari dua bentuk modal lainnya. Bahkan, Bourdieu memandang modal sosial dan modal budaya sebagai modal ekonomi terselubung.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Partai Gelora memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan PKS. Partai ini didirikan oleh dua orang mantan kader PKS yang didepak dari partai, yaitu Anis Matta dan Fahri Hamzah.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno bahkan sempat menyebut kehadiran Partai Gelora bisa saja menggerus ceruk suara PKS. Hal ini lantaran Anis dan Fahri merupakan politikus yang membesarkan partai tersebut.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tadi, maka dapat dikatakan relasi dengan Partai Gelora bisa saja mendatangkan insentif berupa dukungan dari basis PKS yang selama ini agaknya sulit diraih oleh kubu Jokowi.
Keuntungan elektoral kepada kubu Jokowi tersebut merupakan bentuk konversi modal ekonomi menjadi modal sosial, atau bisa dibilang kebalikan dari konversi modal yang terjadi terhadap Partai Gelora. Dengan demikian, dapat dikatakan relasi antara Partai Gelora dan kubu Jokowi ini merupakan simbiosis mutualisme yang sama-sama menguntungkan sebagaimana disinggung oleh Putnam.
Namun, tentu harus dicatat, sekelumit analisis yang mengatakan bahwa dukungan Partai Gelora kepada Gibran dan Bobby bertujuan untuk mendapatkan modal politik hanyalah asumsi teoritis semata. Namun yang jelas, hubungan keduanya sedikit banyak akan memiliki pengaruh dalam dinamika politik ke depan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.