Deklarasi yang akan dilakukan oleh partai Gelora memunculkan banyak tanggapan dari tokoh publik. Manuver politik partai Gelora akan segera teruji dengan akan berpartisipasinya partai ini dalam Pilkada 2020. Dapatkah partai besutan Fahri Hamzah dan Anis Matta ini bersaing dalam perpolitikan nasional? Ataukah mereka justru akan bernasib sama dengan partai baru lainnya?
PinterPolitik.com
Pada 10 November 2019 mendatang, Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) akan mendeklarasikan diri sebagai partai politik (parpol) di Indonesia. Partai besutan Fahri Hamzah dan Anis Matta ini tampaknya sangat siap untuk berkontestasi dalam perpolitikan nasional.
Pasalnya, partai Gelora berencana akan langsung ikut dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) langsung 2020, dengan mendukung kandidat yang berlaga di gelaran tersebut.
Dibentuknya partai Gelora oleh dua eks kader tulen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menimbulkan tanda tanya mengenai maksud dan tujuan dari pembentukan partai Gelora.
Di lain pihak, PKS melalui Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP)-nya, Mardani Ali Sera menanggapi santai pembentukan Partai Gelora. Mardani melihat dengan dibentuknya partai Gelora justru akan menjadikan partainya bertambah solid. Ketua DPP PKS tersebut bahkan secara terbuka mempersilakan partai Gelora jika ingin mengambil kader PKS.
Nada sumbang juga muncul dari berbagai pengurus partai lainnya. Andi Arif, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat bahkan mengatakan partai ini sebagai Gelanggang Orang Rapuh (Gelora) karena banyak mengambil kader dari partai lain.
Skeptisme banyak pihak tampaknya tidak menyurutkan partai ini untuk terus berkembang. Lantas, mampukan partai Gelora bersaing dan menunjukkan tajinya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang? Atau justru akan bernasib sama seperti partai baru lainnya?
Gelora, Rival baru PKS?
Fahri Hamzah dan Anis Matta sebagai merupakan pionir dari Partai Gelora sebelumnya merupakan kader elite PKS. Melihat sepak terjang keduanya di PKS, tentu sulit untuk tidak mengaitkan gerakan partai Gelora akan membawa narasi dan cara berpolitik yang sama dengan PKS.
Banyak spekulasi muncul jika partai Gelora dibentuk untuk menyaingi PKS yang telah menjadi salah satu kekuatan politik di Indonesia. Pasalnya, dua tokoh tersebut bisa dibilang merupakan barisan sakit hati atas tindakan PKS. Pada 2018, Fahri disebut-sebut secara sepihak dipecat oleh PKS. Sementara itu, pada bursa pencalonan presiden PKS 2019, Anis Matta gagal kembali ke posisi puncak partai tersebut.
Dibentuknya partai Gelora memang bisa jadi sebagai upaya untuk menyaingi PKS. Terlebih lagi, hengkangnya Fahri dan Anis bisa jadi membuat kedua tokoh membutuhkan kendaraan politik baru.
Realitas di atas sejalan dengan apa yang diungkapakan oleh Ridho Imawan Hanafi dalam The Emergence And Challenges Of New Political Parties In 2019 Election. Hanafi menyebut partai baru terbentuk akibat dari perpecahan internal dan menjadi alat tokoh politik untuk bisa kembali meraih kekuasaan dan menjadi elite.
Keinginan untuk mengatur dan berkuasa tersebut tentu tidak akan tercapai jika Fahri dan Anis masuk ke dalam partai politik lama yang jelas telah memiliki elitr dan tokoh sentral di dalamnya.
Jika dilihat lebih jauh, fenomena di atas memang lumrah terjadi dalam perpolitikan di Indonesia. Munculnya berbagai macam partai sempalan akibat konflik elite sering terjadi. Partai Golkar misalnya, merupakan parpol yang banyak menghasilkan partai sempalan seperti Partai Berkarya, Nasional Demokrat (Nasdem) dan Gerindra.
Pilkada 2020, Pemanasan Gelora
Sesuai dengan namanya, Partai Gelora tampaknya sangat optimis untuk bisa bersaing dalam perpolitikan Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan komitmen partai ini untuk langsung ikut dalam Pilkada serentak 2020.
Asa partai Gelora tersebut bukannya tanpa pertimbangan. Partai Gelora hingga saat ini mampu menggaet elite-elite lokal seperti Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, Wakil Gubernur Kalimantan Timur Hadi Mulyadi dan Mantan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana.
Akan tetapi, Hanafi mengungkapkan jika Pilkada cenderung sangatlah elitis. Kondisi tersebut diperlihatkan dari banyaknya calon kepala daerah yang maju umumnya merupakan elite lokal ataupun dari partai kuat di daerah.
Berdasarkan pernyataan Hanafi, Gelora memang mampu menjaring kader dari elite lokal namun pada akhirnya konsensus partai politiklah yang mampu menentukan calon kepala daerah yang diusung. Partai-partai kecil bisa dipastikan hanya akan menjadi partai pengikut dan pelengkap dalam Pilkada mendatang.
Sepak terjang Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Pilkada serentak 2018 bisa menjadi gambaran realitas bagaimana partai kecil tidak memiliki kekuatan yang signifikan. PSI hanya dapat menjadi parpol pendukung bukan pengusung pada Pilkada 2018. Kondisi yang sama akan sangat mungkin terjadi pada partai Gelora pada Pilkada tahun depan.
Di samping itu, tentu menjadi sebuah hal yang penting bagi partai Gelora untuk ikut serta dalam Pilkada 2020. Selain sebagai bentuk pemanasan mesin partai untuk menyongsong Pemilu 2024, keikutsertaan Partai Gelora juga dapat menjadi momen yang strategis untuk mendekatkan diri pada basis konstituennya.
Cara ini dilakukan pada PSI pada Pilkada 2018, di mana PSI secara aktif mulai menarasikan wacana dan tema yang dibawa kepada masyarakat melalui dukungannya pada calon-calon kepala daerah yang mereka dukung.
Faktor lain yang penting dalam keikusertaan partai Gelora dalam Pilkada 2020 ialah sebagai upaya untuk menjaring sumber daya finansial. Saldi Isra beranggapan parpol bergerak sebagai “pukat Harimau”, dalam artian parpol dapat meraih untung secara materi dengan pertukaran dukungannya kepada salah satu calon.
Calon kepala daerah yang membutuhkan dukungan partai Gelora tentu akan memberikan mahar politiknya untuk partai tersebut.
Peluang Gelora di 2024
Pemilu 2024 tentu menjadi pertaruhan bagi parpol dalam menguji kerja-kerja politik yang telah dilakukan dalam lima tahun ke belakang. Berdasarkan pemaparan para tokohnya, Partai Gelora tampaknya jelas memang memiliki ambisi untuk menjadi parpol besar yang dapat berpengaruh dalam perpolitikan nasional.
Ambisi untuk langsung terjun dalam Pilkada 2020 tentu menunjukkan semangat yang besar partai ini untuk dapat meraih raihan maksimal pada Pemilu 2024.
Hanafi juga menjelaskan bahwa parpol baru haruslah memiliki karakteristik dan sumber daya yang mumpuni untuk dapat bersaing dalam kontestasi elektoral. Parpol baru harus memiliki tokoh dan ideologi yang jelas dan menarik bagi masyarakat. Selain itu, untuk meraih suara, parpol baru harus memiliki gaya politik yang tidak konvensinoal, dukungan finansial yang mumpuni dan basis struktural pemilih yang kuat.
Konsepsi Hanafi tersebut, tampaknya tidak bisa menggambarkan seluruhnya tentang perjuangan parpol baru pada pemilu 2019 di Indonesia. Pasalnya, PSI, Perindo, Berkarya dan Garuda sebagai parpol baru tidak ada yang mampu menembus kuatnya dominasi partai-partai lama, padahal partai-partai tersebut memiliki karakteristik yang diungkapkan oleh Hanafi.
Secara ketokohan dan ideologi politik yang dibawa memang keempat partai tersebut belum menunjukkan pembaruan yang signifikan daripada parpol yang ada sebelumnya. Akan tetapi, dalam tiga aspek lainya parpol baru yang berkontestasi pada pemilu 2019 memiliki keunggulan dan karakteristik yang tidak dimiliki parpol lama.
Partai Perindo misalnya, memiliki dana kampanye terbesar dengan total mencapai Rp 82,63 miliar. Selain itu PSI merupakan partai yang bisa dibilang merupakan partai yang mampu tampil beda dengan isu dan segmentasi pemilih yang sebelumnya tidak difokuskan oleh parpol lama. Dua keunggulan tersebut nampaknya tidak mampu membawa Perindo dan PSI untuk memenangkan Pemilu 2019.
Sementara itu partai Berkarya yang sering disebut partai trah Seoharto juga tidak mampu lolos pada Pemilu 2019. Padahal, basis struktural partai ini bisa dibilang cukup kuat.
Faktor yang mungkin harus dimaksimalkan partai Gelora sebagai parpol baru untuk sukses dalam pemilu mendatang ialah dukungan finansial. Akan tetapi, sampai saat ini belum jelas diketahui sumber pendanaan partai Gelora.
Belajar dari pengalaman partai Nasdem pada pemilu 2014, Nasdem sebagai parpol baru dapat dibilang sukses dengan meraih 6.7 % suara. Salah satu kekuatan Nasdem pada saat itu ialah dukungan finansial partai yang tinggi. Tidak tanggung-tanggung, dalam Pemilu 2014 Nasdem menghabiskan Rp 277,4 Miliar untuk dana kampanyenya.
Berkaca dari pengalaman diatas, tampanya partai Gelora harus bekerja ekstra keras dalam menyongsong Pemilu 2024. Hal ini dikarenakan secara ketokohan bisa dibilang Fahri Hamzah dan Anis Matta belum mampu disejajarkan dengan tokoh parpol lainnya seperti Surya Paloh, Wiranto dan lain sebagainya.
Di samping itu, segmentasi ceruk pemilih dan ideologi yang dibawa sangat beririsan dengan PKS dan Partai Amanat Nasional (PAN). Partai Gelora tampaknya tidak bisa menggunakan manuver politik yang biasa untuk mendorong keberhasilannya pada dua pemilu mendatang. Hal di atas diperparah dengan sistem pemilu di Indonesia dengan sistem batas ambang parlemen tentu sangat sulit membuat partai baru seperi Gelora untuk dapat bersaing.
Patut ditunggu seperti apa kiprah Partai Gelora ini nantinya. Meski punya semangat membara, berbagai sejarah terkait dengan partai baru di negeri bisa menjadi jalan terjal bagi mereka dalam menyuri jalan politik Indonesia. (Y56)
Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut