Ketidakhadiran Presiden Jokowi pada Munas Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa politik identitas dalam kadar tertentu masih menjadi komoditas politik yang sensitif.
PinterPolitik.com
“In the social jungle of human existence, there is no feeling of being alive without a sense of identity.” – Erik Erikson (1902-1994), ahli psikologi
[dropcap]D[/dropcap]alam dua tahun terakhir, isu politik identitas – terutama terhadap etnis Tionghoa – semakin kuat terasa muncul ke permukaan. Ketidakhadiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Musyawarah Nasional (Munas) PSMTI pada 8 Desember 2017 lalu tentu menunjukkan sensitivitas isu tersebut yang pada tataran tertentu cenderung boleh jadi terkesan diskriminatif.
Mungkin Jokowi punya alasan sehingga tidak bisa menghadiri acara ini. Namun, jika melihat sejarahnya, PSMTI merupakan salah satu organisasi masyarakat Tionghoa yang cukup besar dan menjadi organisasi pertama setelah reformasi 1998 yang memperjuangkan masalah-masalah masyarakat Tionghoa Indonesia. Dengan demikian, ada signifikansi yang cukup besar dari organisasi ini terhadap kehidupan kebangsaan secara keseluruhan – which is tentu saja harus mendapat perhatian pemerintah.
Munas PSMTI ini juga sesungguhnya menjadi momen menarik di tengah geliat menguatnya isu politik berbasis Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) beberapa waktu terakhir. Semenjak Pilkada DKI Jakarta beberapa bulan lalu, isu ini juga menjadi konsumsi politik yang kuat dan punya dimensi persoalan yang melibatkan banyak hal, mulai dari masalah ekonomi hingga sentimen rasial. Pada tataran tertentu, hal ini juga berpotensi memecah belah masyarakat.
Jakarta Gov'r @aniesbaswedan talks abt how his grandpa fought hand-in-hand w Chinese Indonesians for ?? independence in an event hosted by PSMTI (among d current major CI associations & d only formal one d@ was allowed to exist during Suharto).?https://t.co/Zy8tykr0KQ
— Christine S.Tjhin陈姝伶 (@cataya) December 8, 2017
Pidato Anies Baswedan pasca pelantikan Gubernur beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh menguatnya isu tersebut – walaupun Anies adalah salah satu tokoh yang hadir dalam Munas PSMTI kali ini. Ia bahkan sempat memberikan sambutan dalam Munas tersebut dan berbicara terkait perjuangan masyarakat Tionghoa mendukung kemerdekaan Indonesia.
Tentu aneh melihat tokoh yang menyebabkan kata ‘pribumi’ kembali muncul ke permukaan tersebut membicarakan hal yang berbeda dari perkiraan orang. Apalagi, ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ – dengan penafsiran yang makin tidak jelas – masih akan menjadi isu politik yang ‘malu-malu kucing’: disadari keberadaannya, namun sulit dibicarakan secara terbuka karena bias yang mungkin ditimbulkannya.
Kini, menjelang tahun politik di 2018 dan 2019, akankah politik identitas – khususnya terhadap masyarakat Tionghoa – kembali menjadi warna utama politik nasional? Apakah diskriminasi untuk kepentingan politik masih akan terus terjadi?
Tionghoa dan Politik Indonesia
Jika melihat sejarah, faktanya, isu politik berbasiskan SARA terutama terhadap kelompok Tionghoa merupakan salah satu warisan dari zaman kolonial. Dikotomi yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang menempatkan warga keturunan Tionghoa lebih tinggi dari etnis Melayu atau Jawa masih terasa hingga saat ini.
Padahal, gerakan politik masyarakat Tionghoa untuk mendukung kemerdekaan Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1932 ketika beberapa tokoh mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). PTI menjadi wadah kontribusi warga Tionghoa terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pasca kemerdekaan, Soekarno memang sempat mengangkat beberapa menteri dari komunitas Tionghoa. Siauw Giok Tjhan merupakan salah satu tokoh PTI yang aktif dalam perjuangan Kemerdekaan. Ia sempat diangkat sebagai Menteri Negara Urusan Minoritas pada Kabinet Amir Syarifudin. Nama lain yang menjadi menteri Soekarno adalah Oei Tjoe Tat dan Ong Eng Die.
Namun, diskriminasi rasial pun terjadi di era ini melalui Peraturan Pemerintah (PP)Nomor 10 tahun 1959 yang menghapus izin warga Tionghoa non-WNI untuk menjalankan usaha dagang kecil milik mereka. PP ini membuat sekitar 100.000 warga Tionghoa pergi dari Indonesia karena kehilangan usahanya.
Pada tahun 1961 lahir Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang merupakan organisasi kaum Tionghoa untuk wadah dakwah agama Islam. Namun, pasca tragedi 1965, nama organisasi ini diubah menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia karena kata ‘Tionghoa’ sempat dilarang oleh pemerintahan Orde Baru.
Di era Soeharto, diskriminasi rasial terus terjadi terhadap komunitas Tionghoa. Dari sisi administratif misalnya, warga etnis Tionghoa dilarang untuk memiliki tanah di pedesaan, menjadi pegawai negeri dan menjadi tentara. KTP warga Tionghoa pun diberi tanda khusus.
Dari sisi budaya, ada pemaksaan untuk mengubah nama Tionghoa menjadi nama yang terdengar Indonesia, pelarangan dan penutupan sekolah yang mengajar bahasa Tionghoa dan pelarangan perayaan Imlek. Pada periode ini hanya sedikit tokoh keturunan Tionghoa yang dapat berkarir di politik. Salah satunya adalah ‘aktivis 66’ Arif Budiman yang sempat mengkritik Order Baru.
Soeharto memang cukup dekat dengan para pengusaha besar Tionghoa. Namun, banyak akademisi dan pakar sejarah mengatakan bahwa hal ini digunakan Soeharto untuk memperkaya dirinya tanpa perlu merasa terancam kekuasaannya diganggu oleh para pengusaha tersebut. Sementara itu, pada saat yang sama Soeharto juga memicu munculnya konflik SARA di berbagai daerah dan seolah-olah menunjuk semua kesalahan ekonomi adalah akibat kaum Tionghoa.
Pada zaman itu, Soeharto memang mendapat blue print politik identitas dari think tank yang berisikan lulusan perguruan tinggi dalam dan luar negeri, termasuk mereka yang mendapatkan pengaruh Martin Lipset dan Samuel Huntington – dua tokoh yang terkenal karena pemikiran tentang politik identitas tersebut.
Kebijakan Soeharto yang hanya memperbolehkan kaum Tionghoa berdagang dan berbisnis membuat mereka cenderung lebih baik dari sisi ekonomi dibandingkan masyarakat kebanyakan dan hal ini melahirkan persoalan baru: kecemburuan sosial. Konflik yang pecah pada tahun 1998 disebut-sebut sebagai salah satu muara dari dikotomi yang terjadi sejak zaman kolonial, termasuk juga terkait dengan kecemburuan sosial-ekonomi.
Pasca reformasi, berdirinya PSMTI menjadi tanda kesadaran politik yang lebih terbuka dan membuat kaum Tionghoa merasa perlu memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasi mereka. PSMTI mewakili semangat untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi. Pada tahun 1999, karena perbedaan pendapat di antara para pengurusnya, beberapa tokoh PSMTI mengundurkan diri dan mendirikan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI).
Sejak saat itu, artikulasi kepentingan komunitas Tionghoa punya wadah yang lebih jelas, walaupun di antara PSMTI dan INTI masih sering terjadi friksi. Yang jelas PSMTI dan INTI menjadi bagian dari semangat anti diskriminasi tersebut, meskipun banyak pihak yang menyebut dua organisasi ini juga berpengaruh besar dalam politik nasional dan ikut menentukan siapa yang berkuasa di negara ini.
Politisasi Isu Belum Berakhir?
Ketika Presiden Jokowi belakangan ini dituduh ‘pro Tiongkok’, sentimen yang beredar di masyarakat bawah cenderung mengarah pada politik identitas terhadap warga beretnis Tionghoa. Sementara tataran kebijakan luar negeri Indonesia terhadap negara Tiongkok hanya dipakai sebagai jalan masuk menuju titik tersebut.
Paradigma politik yang demikian membuat batasan antara ‘Tiongkok’ sebagai entitas negara yang tentu saja berbeda dengan etnis keturunan Tiongkok yang disebut orang ‘Tionghoa Indonesia’ menjadi kabur.
Padahal, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), telah dikeluarkan aturan terkait status kewarganegaraan etnis Tionghoa melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa etnis Tionghoa yang lahir di Indonesia adalah orang Indonesia asli. Jika ‘pribumi’ adalah istilah untuk menyebut orang Indonesia asli, maka warga Tionghoa juga adalah pribumi.
Luciana Sani Kosasih dalam tesisnya di Universitas Utrecht berjudul Chinese Indonesians: Stereotyping, Discrimination and anti-Chinese Violence in the context of Structural Changes up to May 1998 Riots menyebut kekerasan dan gerakan anti-Tionghoa biasanya terjadi pada saat pergantian kekuasaan dan saat ada ketidakstabilan ekonomi.
Menurutnya, pola-pola tersebut selalu terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Jika ada pergantian kekuasaan, maka sangat mungkin sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa muncul ke permukaan dan diartikulasikan oleh kelompok tertentu.
Menguatnya politik identitas saat ini boleh jadi membenarkan argumentasi Kosasih tersebut. Tahun politik yang sebentar lagi akan datang tentu meninggalkan pertanyaan akankah isu yang sama digunakan sebagai ‘mainan politik’ lagi atau tidak. Apalagi, sentimen untuk isu politik tersebut terus menguat di tengah semakin sulitnya Jokowi sebagai petahana digoyang oleh isu politik yang lain.
Jika demikian, hal ini tentu disayangkan karena politik pada akhirnya melahirkan kebencian rasial yang berakibat buruk untuk keutuhan bangsa. Mungkin saja Jokowi tidak hadir saat Munas PSMTI demi menghindari tuduhan bahwa ia ‘pro Tiongkok’ atau berpihak terhadap masyarakat Tionghoa – which is akan menjadi isu yang mudah ‘digoreng’.
Pada akhirnya, seperti kata Erik Erikson di awal tulisan ini, identitas memang menjadi salah satu alasan kita merasa ‘hidup’ di tengah lautan manusia. Namun, apakah layak menebar kebencian untuk tujuan politik? (S13)