Industri kelapa sawit mendapatkan sorotan besar beberapa waktu terakhir terkait deforestasi dan perburuhan. Baik Jokowi maupun Prabowo memang masih positif melihat persoalan ini. Namun, pertalian kepentingan bisnis dan politik – hingga pendanaan kampanye – sangat mungkin mempengaruhi arah dukungan terhadap kandidat yang bertarung. Lalu, ada di kubu mana bisnis yang dikuasai oleh 29 taipan dengan total harta mencapai 67 persen APBN 2017 ini akan berdiri?
PinterPolitik.com
“Democracy is being allowed to vote for the candidate you dislike least”.
:: Robert Byrne (1930-2016), politisi AS ::
[dropcap]T[/dropcap]he world’s most versatile vegetable oil – minyak nabati paling serba guna di dunia – itulah julukan yang diberikan kepada minyak kelapa sawit.
Mulai dari pomade yang bikin rambut David Beckham berkilau, hingga lipstik yang membuat wajah Kendall Jenner makin rupawan; mulai dari sabun yang bintang iklannya Sophia Latjuba, hingga biodiesel yang diributkan Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto; mulai dari pasta gigi yang bikin gebetan makin nempel, hingga gorengan Bu Sumiyati di pojok Pasar Santa, semuanya adalah produk yang tidak bisa lepas dari minyak sawit.
Namun, industri komoditas minyak yang biaya produksinya disebut jauh lebih murah dibandingkan minyak-minyak nabati lain ini juga tidak sedikit mendatangkan masalah, pun menjadi hot issue yang kerap diperdebatkan jelang kontestasi politik, dalam hal ini Pilpres 2019.
Prabowo juga punya beberapa perusahaan yang bergerak di sektor tersebut. Demikianpun dengan pasangannya, Sandiaga Uno yang juga memiliki sejarah pertalian bisnis di sektor ini. Share on XDebat kedua Pilpres beberapa waktu lalu misalnya, masih meninggalkan berjuta cerita, termasuk terkait komoditas minyak dari tumbuhan bergenus Elaeis itu. Isu sawit memang menarik perhatian karena berhubungan dengan perbincangan tentang sumber energi non-fosil.
Jokowi misalnya menyebut dirinya akan mendorong pengurangan sebanyak-banyaknya penggunaan energi fosil sebagai sumber energi dan mendorong peningkatan penggunaan biodiesel serta biofuel.
Ia mengklaim pemerintahannya sudah mewujudkan B20 – produk bahan bakar diesel hasil pencampuran 80 persen solar dengan 20 persen minyak kelapa sawit – dan sedang meneruskannya hingga sampai B100 alias 100 persen berbahan bakar biodiesel dari minyak sawit.
Sementara Prabowo juga tidak mau kalah dan berdiri pada spektrum yang sama ketika berbicara tentang isu energi baru terbarukan (EBT) itu. Ia menyebutkan bahwa dirinya akan mendorong perkebunan inti rakyat di sektor sawit dan akan mewujudkan B100 sama seperti Brasil.
Dengan konteks pandangan serupa ini, terlihat bahwa keberadaan industri kelapa sawit dianggap vital oleh dua kandidat yang bertarung tersebut. Persoalannya adalah dalam beberapa minggu terakhir beberapa media internasional menyoroti persoalan kelapa sawit ini.
South China Morning Post (SCMP) misalnya menurunkan artikel dari The Guardian yang spesifik membahas persoalan ini.
Disebutkan bahwa kelapa sawit memang menjadi komoditas primadona karena karakteristiknya yang bisa digunakan di banyak produk, namun juga menyebabkan hilangnya hutan (deforestasi) akibat pembukaan lahan perkebunannya. Hilangnya habitat satwa liar seperti orang utan dan gajah juga menjadi konsen isu bagi para pecinta lingkungan.
Selain itu, beberapa kasus kebakaran hutan juga tidak sedikit yang bersumber dari upaya untuk membuka lahan sawit – hal yang diklaim oleh Jokowi tidak pernah terjadi dalam 3 tahun terakhir.
Ini tentu menjadi sisi kelam karena perkebunan sawit masih menjadi penyumbang devisa terbesar di Indonesia dengan US$ 20,54 miliar atau sekitar Rp 280 triliun. Indonesia pun masih menjadi eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2017 jumlah yang diekspor menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, mencapai 31,5 juta ton dengan nilai total mencapai US$ 22,9 miliar.
Dengan sentralnya isu ini, termasuk bergulirnya wacana membuka informasi terkait Hak Guna Usaha (HGU) para pengusaha sawit ke publik, tentu pertanyaannya adalah siapakah yang akan didukung oleh para pemangku bisnis di sektor ini?
Sawit, Industri Penentu Politik
Sebagian besar publik tentu masih ingat aksi kampanye Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang beberapa waktu lalu mengajak masyarakat untuk mendukung industri ini. Hal tersebut sempat mendatangkan kontroversi, mengingat partai berlambang tangan yang menggenggam mawar itu awalnya dipersepsikan menjadi bagian dari gerakan progresif yang juga memperjuangkan isu-isu lingkungan.
Namun, konteks kampanye tersebut bisa jadi beralasan karena pertautan PSI dengan konglomerasi bisnis sawit. Jika mengacu pada data dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), kepemilikan perkebunan sawit memang didominasi oleh korporasi besar seperti Salim Group, Sinar Mas Group, Jardine Matheson Group, Wilmar Group dan Surya Damai Group.
PSI nyatanya punya pertalian dengan salah satu korporasi sawit besar tersebut. Hal ini bisa dilihat dari petinggi partai tersebut, Sunny Tanuwidjaja yang diketahui memiliki pertalian dengan salah satu korporasi sawit, yaitu Sinar Mas Group. Sunny adalah sepupu menantu Eka Tjipta Widjaja, pendiri dari grup tersebut.
Konteks tersebut juga sekaligus menggambarkan bahwa sangat mungkin grup-grup bisnis sawit tersebut punya pertautan dengan dunia politik, terutama terkait kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah. Kampanye “sawit putih” – sebutan untuk industri sawit yang taat aturan – yang dilakukan oleh PSI adalah cara untuk meningkatkan persepsi positif masyarakat terhadap industri ini.
Pasalnya, dengan segudang persoalan turunan yang ditimbulkannya, citra sawit memang mulai dipandang negatif – seiring menguatnya kampanye kelompok-kelompok aktivis dan dunia internasional terhadap industri tersebut. Publik tentu ingat bagaimana Uni Eropa sempat menerapkan larangan impor pada produk tersebut.
Kemudian, grup bisnis besar seperti Salim Group juga beberapa waktu terakhir sedang disorot terkait persoalan perburuhan. Pada 2017 lalu, raksasa produsen mi instan Indofood yang merupakan bagian dari Salim Group dituding melanggar aturan perburuhan kelapa sawit.
NGO Rainforest Action Network (RAN) menyebut perusahaan milik Salim Group ini masih melanjutkan pelanggaran terkait persoalan perburuhan perempuan dan anak. Indofood juga ditengarai hanya satu dari beberapa grup bisnis lain yang juga melakukan hal yang sama.
Belum lagi jika berbicara konflik agraria yang terjadi di sektor ini. KPA misalnya menyebut konflik agraria di sektor perkebunan tinggi karena industri sawit.
Lalu, bagaimana pemerintahan Jokowi melihat persoalan-persoalan ini?
Jika diamati, Jokowi memang cenderung ada pada posisi mendukung industri ini. Ia dan jajaran menterinya misalnya, menjadi yang terdepan untuk berdiplomasi terhadap larangan impor minyak kelapa sawit yang diterapkan oleh negara-negara Eropa.
Program-program yang mendorong sektor ini juga terus ditingkatkan, misalnya peremajaan perkebunan sawit, hingga inovasi produk-produk turunannya. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan bawahan-bawahan sang presiden.
Pada pembukaan Konferensi dan Pameran International Gas Indonesia (IndoGAS) 2019 beberapa waktu lalu misalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menggarisbawahi persoalan industri sawit ini sebagai tantangan terhadap komoditas sumber energi fosil.
Jonan menyebutkan bahwa tantangan yang harus dihadapi oleh para pelaku bisnis di sektor minyak dan gas adalah kompetisi melawan sektor energi nabati, secara khusus ia menyebut minyak kelapa sawit. Jonan menceritakan perjalanannya ke Italia ketika ia dihadapkan pada mesin yang bisa memproses minyak kelapa sawit menjadi sumber energi listrik.
Artinya, sangat mungkin akan ada pergeseran di sektor sumber energi kalau Jokowi terpilih lagi dan kelapa sawit akan menjadi salah satu yang bisa mengambil keuntungan. Namun, sang petahana berpotensi akan kehilangan dukungan, jika para pengusaha di sektor ini “diutak-atik”.
Pasalnya, pada pertengahan 2017 lalu Mahkamah Agung (MA) telah memerintahkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membuka data HGU perkebunan kepada publik.
Hal ini sempat mendatangkan kekhawatiran dari pelaku usaha di sektor tersebut. Sebagai catatan, kepemilikan atas lahan perkebunan sawit bisa berupa HGU, bisa pula berupa hak milik, hak guna bangun, dan/atau hak pakai – hal yang menjadi perdebatan dalam kasus 220 ribu hektare lahan milik Prabowo.
Lalu, bagaimana dengan sikap Prabowo terhadap industri ini?
Sangat mungkin sang jenderal juga akan bersikap serupa dengan Jokowi. Bagaimanapun juga industri sawit tetap menjadi sektor primadona. Apalagi, Prabowo juga punya beberapa perusahaan yang bergerak di sektor tersebut.
Demikianpun dengan pasangannya, Sandiaga Uno yang juga memiliki sejarah pertalian bisnis di sektor ini. Artinya, sangat mungkin keduanya juga akan mengambil kebijakan yang serupa dengan yang dilakukan oleh Jokowi yang cenderung pro terhadap bisnis sawit ini.
Sengkarut Bisnis dan Politik
Sebagai entitas bisnis, industri sawit memang punya pertalian dengan kebijakan-kebijakan politik. Tender lahan sawit misalnya, disebut-sebut punya potensi penyalahgunaan dan melahirkan praktik KKN. Pada 2015 lalu, The Guardian menyoroti praktik KKN di bisnis sawit Indonesia, dan menyebut ada hubungan yang sangat dekat antara pengambil kebijakan politik dengan para pengusaha sawit.
Hal ini juga disinggung oleh Patrick Anderson – seorang peneliti masalah-masalah Indonesia – yang menyebut sektor bisnis kertas dan sawit sebagai dua entitas yang memiliki potensi korupsi.
Dua sektor ini pula yang sering menjadi pemasukkan untuk partai-partai politik di Indonesia, termasuk bagi dana kampanye kandidat yang bertarung pada Pemilu. Hal ini tentu menunjukkan pertautan kepentingan yang sangat besar antara bisnis dan politik di sektor sawit.
Bias politik dalam bisnis sawit memang tidak dapat dihindari. Tengok saja nama-nama taipan pengusaha sawit yang rata-rata adalah pengusaha besar. Dengan kondisi politik Indonesia yang lekat dengan fenomena “perkawinan” pebisnis dan oligarki politik, jelasakan selalu ada pertautan kepentingan yang terlihat.
Mengguritanya bisnis, menggurita pula persoalan yang terjadi di sektor sawit. Yang utama tentu saja adalah masalah ekologi terkait deforestasi dan perusakan habitat hewan, misalnya gajah dan orang utan yang sering menjadi korban bisnis sawit. Kerusakan struktur tanah juga menjadi salah satu isu lingkungan akibat perkebunan sawit.
Pada akhirnya, apa pun yang ditulis SCMP, The Guardian dan media-media internasional lainnya, semoga saja tak menjadi angin lalu. Yang jelas, baik Jokowi maupun Prabowo sangat mungkin masih akan tetap pro terhadap industri ini, selama ada simbiosis mutualisme yang terbangun.
Sementara bagi publik, yang terpenting adalah segala pelanggaran yang terjadi dalam bisnis ini tetap harus ditindak. Dan yang lebih penting lagi, semoga gorengan Bu Sumiyati tetap terjangkau kantong di setiap pagi. (S13)