Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Andai isu dan spekulasi keterkaitan pergantian Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dengan kepentingan Joko Widodo (Jokowi) benar, hal itu seolah serupa tapi tak sama dengan manuver Presiden ke-2 RI, Soeharto di masa lalu. Terlebih, yang juga terkait case serupa dan sempat menimpa PPP. Mengapa demikian?
Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari kursi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar terus ditafsirkan memiliki keterkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan sosok Joko Widodo (Jokowi).
Bantahan dari pihak terkait dapat dipastikan menjadi jawaban atas isu, spekulasi, maupun dugaan tersebut. Akan tetapi, kausalitas berbagai variabel politik kekinian yang melandasi interpretasi itu tetap tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Pergantian posisi pucuk di kepemimpinan Partai Golkar sendiri seakan tak diwarnai tensi yang terlalu panas di panggung depan.
Sedikit flashback ke transisi kepemimpinan di PPP pada tahun 2022 dari Suharso Monoarfa ke Muhamad Mardiono, pun memiliki impresi serupa karena tak menimbulkan gejolak besar yang benar-benar mendiskreditkan nama pertama selepas jabatannya.
Di satu perspektif, tanpa mengaitkannya dengan Presiden Jokowi, konsolidasi dan deal tertentu agaknya berhasil di raih di balik pergantian kepemimpinan di dua partai politik (parpol), PPP dan Partai Golkar yang menariknya adalah dua dari tiga entitas warisan Orde Baru (Orba).
Akan tetapi, pertanyaan berikutnya tentu muncul mengenai mengapa konsolidasi dan deal itu bisa terjadi?
Kembali, di titik ini, keterkaitan dengan Presiden Jokowi menjadi salah satu probabilitas yang muncul dan belakangan jamak dinilai eksis dan melandasi latar belakang konsolidasi tersebut.
Terlebih, rezim Orba di bawah komando Presiden ke-2 RI, Soeharto pun dianggap memiliki seluruh kendali, mulai sejak awal kebijakan fusi parpol, penyelenggaraan “demokrasi semu”, hingga mengonsolidasikan politik kekuasaan.
Di satu titik, jika benar bahwa transisi kepemimpinan Partai Golkar terkait dengan Presiden Jokowi, kiranya memiliki rima yang selaras dengan bagaimana dinamika parpol terjadi di era Orba. Mengapa demikian?
Posisi Sakral bagi Jokowi?
Dalam menjalankan dan menyeimbangkan roda pemerintahan Indonesia dengan dinamika politik, Presiden Jokowi dinilai sangat piawai.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Jokowi Presiden Terkuat Setelah Soeharto?, cukup gamblang dijelaskan interpretasi yang secara harfiah menggambarkan judul tersebut.
Tak hanya memiliki kemampuan menekan kemungkinan gejolak dari setiap kebijakan yang diambil pemerintah, Presiden Jokowi dianggap berani mengambil langkah-langkah signifikan berdasarkan kalkulasi politiknya.
Berkaca dari para pemikir seperti Thomas Hobbes atau Carl Schmitt, salah satu faktor penentu pengaruh politik seseorang adalah legitimasi politiknya.
Hobbes membahasakannya dalam relasi konsep dominium atau dominion yang umumnya identik dengan apa yang disebut sebagai controlling power.
Dominium berasal dari kata dominus yang artinya tuan. Dengan demikian, political power bisa hadir jika seorang pemimpin mampu mengukuhkan status relasi “tuan-hamba”.
Dalam konteks Presiden Jokowi, sangat mungkin bahwa mantan Wali Kota Solo itu memahami konteks controlling power.
Hal ini turut berkelindan dengan bagaimana kemungkinan keterkaitan dinamika teranyar Partai Golkar dan Presiden Jokowi serta komparasinya dengan kontrol dan konsolidasi politik Soeharto.
Di era Soeharto, teori state corporatism agaknya diimplementasikan. Teori itu menjelaskan bahwa negara (pemimpin negara) memainkan peran dominan dalam mengorganisir dan mengendalikan berbagai kelompok kepentingan, termasuk partai politik.
Pada masa Orba, hal ini terlihat jelas melalui pengaturan ketat atas partai politik yang ada, seperti penggabungan partai politik menjadi tiga kelompok utama, yakni Golkar, PPP, dan PDI.
Negara, dalam hal ini, bertindak sebagai pengendali utama, menentukan siapa yang berhak berpartisipasi dalam politik dan bagaimana partisipasi tersebut diorganisir.
Dalam konteks Presiden Jokowi, meskipun kebijakan “radikal” seperti fusi atau penggabungan partai politik seperti era Orba tidak terjadi, terdapat beberapa spekulasi hingga indikasi penggunaan pengaruh negara untuk mengatur dinamika parpol.
Secara konseptual, hal itu dilakukan dengan upaya untuk mengontrol partai-partai besar melalui pendekatan kepada elite-elite parpol atau manuver politik. Ihwal yang memungkinkan fragmentasi internal, sehingga penguasa tetap memegang kendali dalam dinamika politik, mirip dengan pendekatan korporatisme negara yang diterapkan Soeharto, bahkan saat tak lagi menjabat sebagai kepala negara.
Komparasi dengan sosok Soeharto sendiri kian menemui relevansinya saat seorang sumber anonim dari internal Partai Golkar melakukan spill, yakni kemungkinan Jokowi akan menduduki posisi sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar kelak.
Posisi Ketua Dewan Pembina sendiri pernah diduduki oleh Soeharto sejak tahun 1971-1997. Saat itu, Soeharto memiliki kewenangan mutlak menentukan keberpihakan dan arah partai.
Meski pengaruhnya tentu berbeda saat dijabat oleh Soeharto dengan signifikansinya saat ini, posisi itu dan pengaruh yang mungkin dimainkan nantinya bisa menjadi show off platform bagi Jokowi bahwa dirinya adalah politisi tulen yang paten.
Impresi yang boleh jadi ingin ditujukan kepada seluruh aktor politik, baik kolega, yang menjadikan dirinya ancaman, hingga subjek “pembalasan dendam politik”.
Akan tetapi, andai interpretasi itu terjadi, seberapa besar pengaruh Jokowi sebenarnya masih dipertanyakan. Apalagi, Partai Golkar dikenal sebagai partai besar yang diisi legenda hidup politik Indonesia seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Agung Laksono, Akbar Tandjung, Luhut Binsar Pandjaitan dll.
Soeharto 2.0?
Selain teori state corporatism, Presiden Jokowi dinilai turut mengaktualisasikan perihal serupa tapi tak sama dengan apa yang dilakukan Soeharto, yakni patrimonialism dan bureaucratic authoritarianism.
Patrimonialism menekankan pada sistem di mana kekuasaan terpusat pada individu tertentu, dan hubungan politik dibangun berdasarkan loyalitas pribadi daripada institusi formal.
Soeharto memanfaatkan patrimonialism dengan membangun jejaring patronase yang luas, di mana loyalitas kepada presiden menjadi kunci untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya negara.
Dalam konteks Jokowi, meskipun tidak secara langsung menggunakan cara yang sama, namun terdapat kemungkinan dan indikasi bahwa eks Gubernur DKI Jakarta itu membangun hubungan patron-klien dengan elit partai dan tokoh-tokoh penting, memastikan loyalitas melalui distribusi posisi strategis atau proyek-proyek besar.
Itu juga tercermin dalam bagaimana Jokowi mengelola koalisi partai politik dan menjaga agar tidak ada oposisi kuat yang muncul di luar kendali. Pun dengan relasi positif dan simbiosis politiknya dengan kepala daerah hingga kepala desa selama dirinya menjabat sebagai presiden.
Sementara itu, bureaucratic authoritarianism menekankan kekuasaan yang kuat dengan legitimasi stabilitas dan pembangunan ekonomi.
Pada masa Soeharto, kekuasaan birokratik sangat dominan, dengan militer memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas politik dan sosial.
Sementara di era Presiden Jokowi, militer tidak dikerahkan sebagaimana terjadi di era Soeharto.
Pemerintahan di bawah komando Jokowi kerap dinilai menggunakan birokrasi dan instrumen-instrumen negara, termasuk yang digunakan untuk “mengendalikan” parpol.
Tak lupa pula bahwa Presiden Jokowi memiliki kekuatan tak kasat mata relawan yang coexist di samping keberadaan parpol.
Oleh karena itu, daya tawar seorang Jokowi kiranya memang tampak signifikan, tak terkecuali untuk dikaitkan dengan dinamika dan intrik parpol yang berpengaruh dengan proyeksi pasca presidensinya.
Sekali lagi, penjelasan di atas merupakan interpretasi semata berdasarkan beberapa variabel politik yang eksis sebelumnya. Yang jelas, menarik untuk menantikan apakah berbagai spekulasi dan isu yang telanjur muncul di balik pengunduran diri Airlangga Hartarto dan kemungkinan keterkaitannya dengan Jokowi. (J61)