Site icon PinterPolitik.com

Gejolak Papua, Haruskah Ditindak Represif?

Foto: Manado Post

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua semakin ganas, nyawa tenaga kesehatan jadi korbannya. Ketua MPR Bamsoet sebut ini sudah saatnya berantas KKB tanpa perlu lagi ditahan oleh HAM. Pertanyaannya, apakah ide pemberantasan ini dapat menyelesaikan konflik di Papua?


PinterPolitik.com

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) lagi-lagi membuat tanah Papua berdarah. Pada pertengahan September ini kelompok tidak bertanggung jawab tersebut melakukan penyerangan ke Pegunungan Bintang. Dalam penyerangan ini KKB membakar Puskesmas Kiwirok dan membunuh tenaga kesehatan (nakes) bertugas yang bernama Gabriela Meilan.

Insiden mengerikan ini kemudian dikecam keras oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo atau yang akrab dipanggil Bamsoet. Ia mengatakan bahwa sudah saatnya pemerintah mengerahkan prajurit di seluruh matra TNI dan Polri untuk memberantas habis ancaman KKB di Papua.

Dalam penegasannya, Bamsoet menyebutkan TNI dan Polri tidak perlu lagi terhambat oleh permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM). Pernyataan ini ia lontarkan lantaran KKB Papua sudah terlalu banyak mengambil korban jiwa, mulai dari TNI-Polri, masyarakat biasa, guru, sampai tenaga kesehatan. Bamsoet juga mempertanyakan peran para aktivis HAM yang dinilai diam terkait peristiwa ini. Menurutnya, aktivis HAM hanya berteriak ketika aparat berusaha menumpas KKB.

Baca Juga: Jokowi Perlu ‘Politik Rekognisi’ Papua?

Ucapan kekesalan juga disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco yang meminta aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, untuk bersikap tegas dalam menumpas KKB. Ia menilai apa yang dilakukan kelompok tersebut akhir-akhir ini tidak bisa ditolerir dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Menariknya, Dasco melihat tindakan kekerasan ini memang disengaja oleh KKB guna mencari perhatian dunia internasional.

Komnas HAM pun ikut mendukung tindakan tegas dari negara. Frits Bernard Ramandey, Perwakilan Komnas HAM Papua menyebutkan tindakan penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Tenaga kesehatan, guru, dan masyarakat sipil seharusnya sama sekali tidak boleh menjadi korban. Berdasarkan Undang-undang RI (UU RI) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, profesi yang memenuhi hak atas kesehatan dan pendidikan wajib dilindungi negara. Oleh karena itu, Fritz menyebutkan negara harus melakukan tindakan hukum.

Di balik semua pernyataan yang mendorong adanya tindakan tegas dari pihak berwajib, tampaknya masih terdapat satu permasalahan penting yang patut kita pertanyakan. Perlukah Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan tindakan keras untuk mengakhiri cerita teror di Bumi Cendrawasih? Atau justru seharusnya negara jangan terpancing oleh aksi teror KKB dan lebih mengutamakan dialog?

Tarik Pelatuk Tak Selesaikan Masalah

Dari berbagai respons spontan yang ditunjukkan, seperti dari Bamsoet, kita bisa melihat sepertinya ada motif ingin membawa fragmentasi insiden kekerasan di Papua menjadi persoalan keamanan negara. Perilaku yang seperti ini di dalam studi hubungan internasional disebut sebagai tindakan sekuritisasi.

Menurut Ole Wæver dalam bukunya Security: A New Framework for Analysis, menjelaskan sekuritisasi sebagai upaya politisasi versi ekstrem yang mengizinkan cara apapun demi menjaga keamanan. Wæver berpendapat speech act atau pernyataan yang dikeluarkan seorang tokoh besar negara adalah salah satu indikasi awal dalam proses sekuritisasi. Dari sini pembicara berupaya membawa isu tertentu ke ranah keamanan yang kemudian berusaha menjustifikasi upaya kekerasan sebagai tindakan yang perlu dilakukan. 

Namun, sifat doktrin sekuritisasi yang represif dinilai tidak akan cocok diterapkan dalam isu kekerasan Papua. Gagalnya pendekatan ini dibuktikan oleh mantan Presiden Soeharto ketika mengatasi konflik antara proyek Freeport dengan penduduk asli menggunakan kekuatan militeristik. Karena mekanisme konvensional yang simplistik ini, ketidakpuasan masyarakat Papua justru semakin kompleks dan panjang, hingga sekarang.

Terlebih lagi, berdasarkan laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang berjudul The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement menyebutkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terdiri dari fraksi-fraksi yang saling bersaing. Disebutkan ada kelompok bersenjata yang cenderung ekstrem dan ada juga yang begerak untuk mendapat pengakuan internasional.

Salah satu kelompok bersenjata ekstrem ini dikomandoi oleh Egianus Kogoya, yang memulai konflik bersenjata antara TNI dan KKB di Nduga pada tahun 2020. KKB sendiri diduga sebutan yang diberikan pada Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) yang menyatakan perang kepada Indonesia pada tahun 2018.

Baca Juga: Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?

Oleh karena itu, kita perlu melihat insiden penembakan yang dilakukan KKB akhir-akhir ini sebagai bagian dari kesatuan permasalahan yang lebih besar, yang berkaitan dengan OPM, bukan sebagai kejadian yang muncul tanpa sebab. Dengan demikian, jika kita bisa melakukan pendekatan dengan kubu OPM yang terbuka atas usulan dialog, kita akan memperoleh informasi pemetaan fragmentasi sosial di Papua yang lebih akurat, yang tentunya akan bermanfaat untuk formulasi penyelesaian konflik.

Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM menekankan negara tidak perlu menunjukkan sifat yang represif dalam mengatasi permasalahan KKB. Walaupun upaya penegakan hukum harus tetap dilakukan kepada pihak yang melakukan kekerasan, pemerintah juga harus selalu melakukan pendekatan dialog dan diskusi dengan tokoh-tokoh agama, adat, dan kepala daerah sekitar untuk mencapai solusi bersama agar tindakan kekerasan bisa diredam semampu mungkin.

Perkataan Ahmad perlu kita renungi karena berdasarkan temuan Polri, KKB disebutkan sering masuk ke pemukiman penduduk dan berbaur dengan warga sipil. Karena dasar ini, kita tidak bisa dengan begitu saja melakukan serangan senjata, ada warga tidak bersalah yang berisiko menjadi korban tak diinginkan.

Pendekatan Sosio-Kultural dan Hukum Lebih Relevan

Tulisan Papua Road Map karya Muridan Widjojo menawarkan solusi yang bagus untuk menyelesaikan konflik di Papua. Muridan menyarankan pendekatan jalur hukum di mana Indonesia bisa membuat sebuah catatan publik tentang peristiwa di Papua melalui suatu komisi kebenaran. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi akan menjadi katalisator untuk meredakan pola konflik yang sedang berlangsung di Papua, dan membuka jalan menuju solusi jangka panjang.

Muridan berpendapat, agar efektif, komisi kebenaran ini membutuhkan akses ke arsip rahasia dan pejabat pemerintah, di masa lalu, dan sekarang. Kemudian perlu membuat catatan publik tentang peristiwa-peristiwa penting dan mempublikasikan nama-nama pelaku dan korban. Pejabat sipil dan militer yang terbukti terlibat dalam kekerasan di masa lalu perlu diadili. Negara juga harus mengakui korban dan penderitaan mereka melalui permintaan maaf publik dan pernyataan tekad bahwa kekerasan seperti itu tidak akan terulang kembali. Negara dapat mendirikan monumen untuk mengenang para korban.

Selama bertahun-tahun upaya mendamaikan Papua selalu tarik ulur antara pengembangan ekonomi dan legitimasi keamanan. Pendekatan Jokowi dengan pembangunan infrastruktur seperti proyek Trans-Papua Highway dianggap tidak efektif karena warga Papua menganggap proyek ini tidak menguntungkan bagi mereka, hanya investor luar Papua. Tekanan sosial dan ekonomi seperti ini memicu siklus konflik di Papua, kecuali jika siklus tersebut dapat diputus. Ketidakpuasan orang Papua Barat akan terus ada, entitas kekerasan seperti KKB akan terus muncul, sebagai akibatnya Indonesia akan lebih keras pada keamanan.

Seorang jurnalis senior sekaligus pengamat dinamika politik Melanesia yang bernama Johny Blades dalam tulisannya yang berjudul West Papua: The Issue That Won’t Go Away for Melanesia, menyebut bahwa sesungguhnya konflik di Papua adalah permasalahan yang muncul dari adanya alienasi penduduk asli dari lingkungan dan sumber daya mereka sendiri. Oleh karena itu, pendekatan politis non-kekerasan akan lebih efektif jika kita ingin menyelesaikan perseteruan di Bumi Cendrawasih.

Baca Juga: Membaca Siasat Tito Mekarkan Papua

Warga Papua secara etnis adalah kerabat warga negara-negara Melanesia. Dengan demikian, jika Indonesia bisa melakukan pendekatan ke negara seperti Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon, Indonesia bisa memperoleh kesempatan yang lebih tinggi untuk melakukan persuasi terhadap pemberontakan Papua. Blades pun menyarankan proses dialog akan lebih berhasil jika melibatkan satu pihak mediator netral sebagai orang ketiga.

Johny Blades dalam tulisannya juga menyampaikan usulan yang cukup menarik, yaitu pendekatan pembangunan rantai komersial dengan wilayah Melanesia. Untuk contohnya, karena negara-negara Melanesia adalah pecinta sepak bola, Indonesia bisa menjadikan tim Persipura sebagai pembuka gerbang komersil, di mana tim sepakbola itu bisa bermain di acara olahraga negara-negara Melanesia.

Pada akhirnya, kembali lagi kita harus mulai bisa menerawang suatu peristiwa dari perspektif yang lebih luas agar kita bisa mencari solusi yang mampu menjawab segala permasalahan. Kebijakan represif yang gegabah  hanya akan menyulut kekerasan lebih lanjut.

Akan tetapi, meskipun pendekatan dialog bisa menjadi jawaban yang tepat, kita tidak boleh membiarkan pelaku penembakan masyarakat sipil pergi begitu saja tanpa diadili. TNI dan Polri harus tetap melacak pelaku-pelaku kejahatan ini karena mereka sudah melecehkan nilai HAM sekaligus jaminan keselamatan warga sipil di Papua. (D74)


Exit mobile version