HomeNalar PolitikGatot-Zulkifli, Pasangan Imajiner

Gatot-Zulkifli, Pasangan Imajiner

Wacana untuk memasangkan Jenderal Gatot Nurmantyo dengan Zulkifli Hasan sebagai pasangan alternatif untuk Pilpres 2019 bermunculan, seiring terbukanya peluang terbentuknya poros ketiga. Mungkinkah?


PinterPolitik.com

“Politicians also have no leisure, because they are always aiming at something beyond political life itself, power and glory, or happiness.”

– Aristoteles (384-322 SM) –

[dropcap]P[/dropcap]ilpres 2019 kemungkinan besar akan kembali diwarnai oleh dua kubu utama, sama seperti yang terjadi pada 2014 lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai petahana kemungkinan besar akan kembali berhadapan dengan rivalnya Prabowo Subianto pada gelaran pesta demokrasi lima tahunan nanti.

Namun, belakangan wacana terbentuknya koalisi poros ketiga sebagai penyeimbang dua calon tersebut muncul ke permukaan. Wacana ini mengemuka seiring mulai munculnya kebosanan politik di masyarakat yang memimpikan figur alternatif.

Apalagi, partai-partai yang belum menentukan sikap, digawangi oleh Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berpeluang besar membentuk satu poros baru untuk ikut dalam pertarungan perebutan kursi RI 1. Hal ini beralasan mengingat Indonesia tidak menganut sistem politik dua partai, sehingga membuka kesempatan bagi semua partai politik untuk membentuk koalisi dan mengusung calon sendiri.

Jika koalisi ini terbentuk, maka pertarungan politik dengan tiga pasang calon seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu sangat mungkin terulang kembali, namun dengan skenario yang berbeda. Pada gelaran politik di ibukota tersebut, Partai Demokrat membentuk kubu ketiga dan mengajukan calonnya sendiri.

Walaupun demikian, koalisi ini tentu saja cukup berat diwujudkan, mengingat Demokrat misalnya justru telah membuka peluang untuk bergabung dengan PDIP dan mendukung Presiden Jokowi untuk periode berikutnya. Hal ini nampak dalam pidato sang Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat.

Namun, jika skenario tersebut tidak terjadi dan pertalian politik antara Demokrat dan PDIP tidak terwujud, maka poros ketiga adalah opsi paling mungkin jika partai tersebut ingin tetap eksis dan tidak menjadi “penyeimbang kekuasaan” – status yang disandang pasca Pilpres 2014 lalu.

Hal inilah yang membuat partai lain macam PAN mulai “genit-genitan” menaikan pamor dan mencoba peruntungan mencari tokoh alternatif yang akan diusung lewat poros ini.

Persoalan terbesar dalam konsepsi poros baru ini adalah siapa tokoh utama yang akan diusung sebagai ujung tombak calon presiden yang paling mungkin diterima oleh semua pihak dan paling berpeluang menyaingi elektabilitas Jokowi dan Prabowo? Apakah nama-nama macam Jenderal Gatot Nurmantyo dan Zulkifli Hasan yang diusulkan PAN bisa menjadi pasangan alternatif?

Gatot-Zulkifli, Pilihan Tak Terbendung?

Untuk beberapa lama sosok eks-Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi magnet elektoral. Beberapa survei politik juga mengatakan bahwa Gatot sangat berpeluang menjadi “kuda hitam” pada Pilpres 2019 dan menjadi pesaing terberat untuk Jokowi dan Prabowo.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Jika skema Pilpres 2019 menghadirkan 3 pasangan calon, maka Gatot berpeluang menjadi penantang terberat baik bagi Jokowi maupun bagi Prabowo. Khusus bagi Prabowo, citra Gatot yang militeristik dan dekat dengan kelompok agamis akan menjadi saingan yang cukup berat, bahkan Gatot berpeluang merebut basis massa Prabowo.

Gatot-Zulkifli, Pasangan Imajiner

Gatot mewakili hampir semua syarat untuk menjadi seorang kepala negara: nasionalis, agamis dan militeristik – karakter terakhir masih dipandang oleh mayoritas masyarakat sipil sebagai faktor yang mampu mengamankan negara. Walaupun secara elektabilitas Gatot masih kalah dari Prabowo dan Jokowi, namun popularitas dan citra politiknya cukup tinggi di masyarakat.

Inilah yang membuat PAN mewacanakan untuk mendukung Gatot sebagai calon presiden alternatif. Menariknya, partai matahari putih itu memasangkan sang Ketua Umum, Zulkifli Hasan sebagai pendamping Gatot.

Zulkifli yang juga menjabat sebagai Ketua MPR ini memang belakangan terlihat punya ambisi besar untuk menjadi penghuni Istana Negara, sekalipun partai pimpinannya tengah terseok-seok. Bahkan oleh beberapa lembaga survei PAN diprediksi akan kesulitan bersaing dengan partai-partai baru pada Pemilu 2019.

Dari sisi ketokohan, Zulkifli akan menjadi pelengkap Gatot, terutama dari sisi track record-nya sebagai seorang pebisnis – variabel yang tidak dimiliki oleh Gatot.

Ia juga akan berpeluang mengambil hati banyak pendukung yang masih mengidolakan Amien Rais, mengingat dirinya adalah besan dari tokoh reformasi tersebut. Pada 2011 lalu anak pertama Zulkifli, Futri Zulya Safitri menikah dengan putra Amien Rais, Ahmad Mumtaz Rais.

Pernikahan ini sangat mungkin menjadi jalan masuk Zulkifli memenangkan kekuasaan di PAN. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa PAN di bawah Zulkifli cenderung memiliki garis politik yang searah dengan Amien Rais – walaupun untuk beberapa kasus, partai ini juga bisa menjadi sangat pragmatis.

Secara finansial, Zulkifli diperkirakan memiliki harta senilai Rp 24,4 miliar berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LKHPN) pada 2014 lalu. Namun, jumlah itu diperkirakan bertambah besar dan belum termasuk perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh keluarganya saat ini.

Persoalan utama yang akan dihadapi oleh Zulkifli tentu saja adalah perolehan 7,59 persen suara PAN di DPR yang lebih rendah dari partai-partai yang kemungkinan menjadi penghuni koalisi poros ketiga. Jika ingin mengajak kerja sama Demokrat (10,19 persen kursi DPR) dan PKB (9,04 persen kursi DPR) yang punya jumlah kursi lebih besar di parlemen, PAN harus menghitung langkah politik yang paling masuk akal untuk diambil. Posisi tawar PAN juga akan menjadi lebih rendah dibanding dua partai lain.

Namun, jika mampu menarik Gatot ke kubunya, boleh jadi posisi tawar PAN akan meningkat, mengingat Gatot masih lebih baik secara politik dibandingkan calon lain, misalnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Demokrat yang dianggap masih terlalu muda, atau Muhaimin Iskandar dari PKB yang secara kapasitas politik masih diragukan – bahkan untuk menjadi cawapres sekalipun.

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Tapi, apa mungkin menduetkan Gatot dengan Zulkifli? Atau ini hanya sekedar upaya “mengecek ombak” yang dilakukan oleh PAN? Apalagi, partai berlambang matahari putih ini merupakan salah satu yang terancam tidak lolos parliamentary threshold jika berkaca pada hasil survei beberapa lembaga. Oleh karena itu, sangat mungkin segala upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas partai ini.

Nama Gatot adalah salah satu magnet elektoral. Sangat mungkin PAN menggunakan nama sang jenderal untuk meningkatkan citra politik di hadapan pemilih, apalagi belakangan partai tersebut mulai terjerat banyak kasus korupsi, misalnya yang menimpa Zumi Zola di Jambi dan beberapa kepala daerah di Sulawesi Tenggara. Jika demikian, apakah itu berarti poros ketiga ala PAN hanya jadi alat pendongkrak elektabilitas?

Poros Ketiga: Penyeimbang atau Pemenang?

Poros ketiga adalah fenomena yang linear dengan konsepsi third party yang umumnya terjadi di negara-negara penganut demokrasi dwi partai, misalnya di Amerika Serikat (AS). Partai politik macam Libertarian Party, Constitution Party, atau Reform Party di AS sering dianggap sebagai the third party di samping dua partai utama, yakni Partai Republik dan Partai Demokrat.

Partai-partai tersebut memang memiliki peluang yang kecil untuk memenangkan kontes politik, namun punya signifikansi yang cukup besar untuk mempengaruhi siapa yang memenangkan pemilu. Partai atau poros ketiga sangat berkaitan dengan politik memecah suara pemilih.

Gatot-Zulkifli, Pasangan Imajiner
Gary Johnson, calon presiden dari Partai Libertarian AS pada Pilpres 2016 lalu. (Foto: VOA News)

Secara teoritis, poros ketiga akan sangat berpeluang menjadi the third party jika pada 2019 nanti Jokowi kembali bertarung menghadapi Prabowo. Walaupun dalam konteks yang berbeda, nyatanya keberadaan “pilihan lain” sangat berpeluang memecah basis elektoral calon lain.

Berkaca pada Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, posisi third party nyatanya mampu mengubah hasil akhir kontes politik yang awalnya diprediksi akan memenangkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) – terlepas dari kasus hukum yang menimpa dirinya.

Hal inilah yang menjelaskan mengapa partai macam PKS – yang nota bene kemungkinan besar akan mendukung Prabowo – menyambut wacana kelahiran poros ketiga. Bagaimana pun juga, peluang memenangkan Prabowo – yang secara elektabilitas jauh tertinggal dibandingkan Jokowi – akan terbuka jika ada kontestan lain pada Pilpres mendatang.

Tentu PKS berkaca pada Pilgub Jakarta 2017 lalu, di mana pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang tidak diunggulkan nyatanya sangat terbantu dengan adanya pasangan AHY-Sylviana Murni yang menjadi the third party pada gelaran politik tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah Gatot-Zulkifli bisa menjadi the third party pada Pilpres 2019 nanti? Apalagi, pasangan ini disebut-sebut akan sulit terwujud. Bahkan Zulkifli sendiri mengakui bahwa untuk menciptakan poros ketiga pun butuh keajaiban.

Dengan demikian, apakah mungkin wacana Gatot-Zulkifli tidak lain adalah cara PAN mendompleng popularitas Gatot? Tidak ada yang tahu pasti juga. Yang jelas, seperti kata Aristoteles di awal tulisan ini, seorang politisi selalu melihat di balik segala sesuatu. Mungkin itu yang sedang diupayakan PAN. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.