Gatot Nurmantyo cium tangan SBY, apa ini pertanda keduanya akan berjuang di Pilpres 2019 bersama-sama? Akankah Gatot jadi kuda hitam Demokrat?
PinterPolitik.com
“Kekuatan sesungguhnya tidak memukul dengan keras, tetapi tepat sasaran.”
[dropcap]K[/dropcap]ecerdikan dan rencana dengan perhitungan yang tepat, merupakan kunci bagi Panglima Perang Khalid bin Walid untuk dapat berhasil membalikkan kondisi kekalahan Pasukan Muslim menjadi kemenangan gemilang, melawan Pasukan Romawi yang jumlahnya lebih besar berkali-kali lipat.
Berkat kegigihannya tersebut, ia mendapat sebutan sebagai “Sang Pedang Allah” oleh Khalifah Umar bin Khatab. Saat perang, Khalid memang selalu menghunuskan pedangnya, namun bukan pedang itu yang diberkati oleh Allah SWT, tapi dirinyalah yang seolah menjelma bagai pedang terhunus bagi setiap musuh dihadapannya.
Sepelik apapun situasi perang yang dihadapi, Khalid sebagai komandan perang selalu mampu mengubah keadaan. Satu hal yang selalu menjadi tujuannya, yaitu melepaskan tentara Islam dari kemusnahan total dan mencegah jatuhnya korban sehingga mampu keluar dari kondisi perang dengan selamat.
Setelah lebih dari seratus kali bertarung dan membuahkan kemenangan, suatu kali Khalifah Umar mengatakan pada Khalid, kalau ia diberhentikan dari jabatannya. Meski begitu, sahabat Rasulullah tersebut mengatakan kalau pencopotan itu bukanlah karena ia gagal, tapi agar tak menjadi sombong dengan segala kehormatan yang dimiliki.
Walau sudah tidak lagi menjadi panglima, namun Khalid tetap maju berperang dan tak keberatan harus di komando bawahannya dulu. Semangat juang panglima kebanggaan Umat Muslim ini, diaku Gatot Nurmantyo merupakan teladan baginya saat jabatan sebagai Panglima TNI dicopot oleh Presiden Jokowi, Februari lalu.
Hanya saja peperangannya setelah pensiun, bukan lagi di medan perang tapi di pertarungan pemilihan presiden tahun depan. Meski pernah mengatakan tidak berambisi di politik, namun toh mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) ini tengah sibuk mencari dukungan dari partai politik agar dapat maju sebagai calon presiden.
Sehingga saat Gatot mencium tangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tak lain adalah Ketua Umum Partai Demokrat, banyak pihak pun berspekulasi kalau Gatot kemungkinan akan berlabuh di Partai Mercy tersebut. Apalagi, hubungan keduanya memang sudah dekat dari sejak SBY menjabat sebagai presiden.
Bila benar, apakah mungkin Demokrat masih berupaya agar dapat mengusung capresnya sendiri? Apakah mungkin, SBY akan menggandeng Gatot sebagai “kuda hitam” di Pilpres nanti? Lalu, kira-kira bagaimana probabilitas atau kemungkinan koalisi yang akan diraih Demokrat, demi memenuhi ambang batas presiden?
Strategi “Kuda Hitam”
“Politik mirip permainan catur, pemain yang melakukan langkah cerdik akan menang.” ~ Ejike Henry Akuneziri
Pertarungan politik, seperti kata Akuneziri di atas, memang tak beda jauh dari permainan catur yang membutuhkan strategi dan pertimbangan mendalam untuk melangkah. Itu pula yang tengah dilakukan oleh mantan perwira Kostrad, SBY, menghadapi pemilihan presiden yang pendaftarannya akan mulai dibuka Agustus depan.
Sebagai parpol yang berada dalam posisi netral, sebenarnya pesona Demokrat yang memiliki jumlah kursi legislatif sebesar 10,19 persen sangat menawan bagi kedua pihak yang berseberangan, yaitu kubu petahana maupun oposisi. Namun walau berkali-kali berusaha di dekati, Demokrat hingga kini masih belum memutuskan keberpihakannya.
Berdasarkan teori catur, posisi Demokrat ini dapat diperkirakan sebagai pertahanan Alekhine, yaitu pertahanan dari lawan yang agresif. Fungsinya adalah untuk memancing lawan untuk melangkah, sebelum menghancurkan struktur yang telah dibangun lawan. Pertahanan yang cukup termasyur ini, diperkenalkan oleh Aleksander Alekhine saat melawan A. Steiner pada kejuaraan catur di Budapest tahun 1921.
Pertahanan yang mengandalkan kuda sebagai penghasil kejutan ini, awalnya memang sempat populer. Namun belakangan, strategi ini mulai ditinggalkan karena memiliki risiko cukup besar. Terutama bila efek kejut yang diharapkan gagal, alih-alih meraih kemenangan, pemain malah akan menciptakan blunder dan kehilangan kudanya.
Dalam permainan catur, fungsi bidak kuda cukup penting karena memiliki kelebihan dari lainnya. Walau bidak kuda tidak memiliki pergerakan fleksibel seperti yang dimiliki bidak menteri dan ratu, namun kuda mampu bergerak melompati bidak musuh di depannya, sehingga berguna untuk menembus barikade yang telah dibuat lawan.
Dengan kemampuan yang tak dimiliki bidak lainnya ini, bidak kuda dapat menjadi penentu kemenangan, akibat langkahnya yang sulit diprediksi lawan. Tak heran bila di dunia percaturan, kuda kerap disebut sebagai Sang Ksatria (the knight). Di sisi lain, fungsinya yang kerap tidak diperhitungkan namun mampu menciptakan kemenangan kejutan inilah, muncul istilah kuda hitam.
Awalnya, Demokrat sengaja menggunakan pertahanan ini, dengan menghadirkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bidak kuda hitam yang diharapkan mampu menghasilkan posisi tawar bagi partainya, namun dengan masuknya Gatot, maka fungsi bidak tersebut tentu akan jatuh pada mantan KSAD di era SBY ini.
Secara elektabilitas, AHY memang mulai menanjak, namun dalam pertempuran Pilpres, perlu diakui kalau pengalaman AHY masih kalah dengan Gatot. Sehingga tak salah apabila Demokrat memutuskan untuk menggandeng Gatot, sebagai figur yang memberikan nilai tawar Partai Biru tersebut pada parpol lainnya.
Probabilitas Gatot-Demokrat
“Teori probalitas tak lebih dari akal sehat yang diturunkan melalui kalkulasi.” ~ Pierre-Simon Laplace
Sejauh ini, Demokrat sepertinya masih berharap PKB, PAN, dan PKS bersedia membentuk poros baru atau poros tengah. Namun sayangnya, hingga ini poros tersebut masih berupa wacana, mengingat PKB lebih mengarah ke kubu Jokowi, sementara PAN dan PKS masih bimbang dengan keputusan koalisi dari Gerindra.
Selain itu, poros ketiga juga belum memiliki figur kuat yang diharapkan mampu berhadapan dengan Jokowi maupun Prabowo. Sehingga munculnya sosok Gatot yang sudah mendapatkan tempat tersendiri di sebagian hati masyarakat, dapat saja diangkat sebagai “kuda hitam” bagi Demokrat – atau dalam hal ini poros ketiga.
Seperti juga kuda hitam di papan catur, sosok Gatot sangat memungkinkan untuk memunculkan efek kejut di masyarakat, sehingga memberikan angin segar dan alternatif capres lain. Pemikiran ini setidaknya sejalan dengan teori koalisi politik yang dinyatakan William H. Riker di bukunya, The Theory of Political Coalition (1962).
Menurut Politikus AS tersebut, koalisi parpol seharusnya terbentuk tak hanya berdasarkan platform rekanan (partner) semata, tapi juga strategi dalam menghadapi lawan (adversaries). Adanya kebutuhan figur kuat yang mampu mengalahkan lawan, juga merupakan syarat kuatnya koalisi, menurut Huan Wang dari New York University.
Elektabilitas Demokrat, PKB, dan Gerindra Naik Jika Usung Gatot Nurmantyo sebagai Capres https://t.co/pMIruLYxyQ #LSI Denny JA Elektabilitas Demokrat PKB Gerindra Gatot Nurmantyo Capres 2019
— aam alfaham (@muchaddam) May 8, 2018
Keberadaan Gatot, bila merujuk pada teori koalisi di atas, sangat mungkin menjadi daya tarik bagi Demokrat dalam menarik dukungan tak hanya dari PKB, PAN, PKS, dan Gerindra, tapi juga dari partai koalisi Jokowi saat ini. Sebagai kuda hitam yang memiliki gerak fleksibel, Gatot dapat menawarkan win-win solution pada parpol pendukungnya.
Berdasarkan teori probabilitas politik, kira-kira bagaimanakah peluang Gatot dan Demokrat dalam memenangkan pertarungan Pilpres? Menurut Pendiri Lingkaran Suryei Indonesia (LSI), Denny Januar Aji, ada tiga isu paling besar yang diperkirakan akan menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih pemimpinnya di 2019 mendatang.
Pertama, mayoritas publik menginginkan pemimpin kuat yang mampu meningkatkan perekonomian, kedua figur tersebut juga harus sanggup merangkul dan diterima oleh kekuatan mayoritas Islam dan pendukung Pancasila. Dan ketiga, publik juga ingin pemimpin tersebut memiliki record bersih dan berkomitmen memberantas korupsi.
Dari ketiga isu tersebut, pria kelahiran Palembang ini mengakui kalau sebenarnya Gatot memiliki kualitas yang nyaris sama dengan Jokowi dan juga Prabowo. Namun tentu saja, seperti juga yang dikatakan Ahli Matematika dan Astronom Prancis, Marquis de Laplace di atas, semua tergantung dari akal sehat yang diturunkan melalui hitung-hitungan politik para parpol. (R24)