Minggu lalu, Panglima TNI Gatot Nurmantyo melakukan silaturahmi dengan para Pengusaha Indonesia Tionghoa (INTI). Gatot siap Pilpres?
PinterPolitik.com
“Politik adalah seni kelihaian dalam mendapatkan suara dari masyarakat miskin, dan dana kampanye dari para konglomerat melalui kesepakatan untuk saling menjaga.” ~ Oscar Ameringer
[dropcap size=big]D[/dropcap]ibalik euforia peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober lalu, terselip peristiwa yang nyaris diabaikan media. Di hari bersejarah itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menghadiri acara silaturahmi dengan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) di JIExpo Kemayoran, Jakarta.
INTI mengundang Gatot khusus untuk memperkenalkan ketua umum mereka yang baru, Teddy Sugianto. Sementara kesempatan itu dipergunakan Gatot untuk memaparkan peta konflik dunia, kompetisi global, ancaman bahaya narkoba, serta pengaruh media sosial yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Sepintas, acara tersebut tidak terlalu menarik. Namun bagi yang paham politik, diundangnya Gatot di pertemuan INTI, mengundang pertanyaan. Sebab organisasi ini dikenal sebagai organisasi yang cukup kuat, baik dari segi politik maupun ekonomi.
Bagi para politisi, menghadiri acara-acara yang diadakan oleh Perhimpunan INTI dapat menjadi sinyal dukungan dalam kontestasi politik mendatang. Bahkan tak jarang, dukungan dari Perhimpunan INTI menjadi jembatan pasti untuk memenangkan pertarungan.
Manisnya Negeriku pic.twitter.com/kniGg2olAl
— Perhimpunan INTI (@PerhimpunanINTI) October 2, 2017
Mengapa perhimpunan ini begitu kuat? Siapa saja tokoh politik yang pernah sowan dengan mereka untuk mendapatkan dukungan?
Peristiwa Mei 98, Lahirkan INTI
“Tragedi terbesar bukanlah tekanan dan kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang jahat, tapi kebungkaman yang dilakukan oleh orang-orang baik.” ~ Dr. Martin Luther King, Jr.
Kerusuhan Mei 1998 merupakan salah satu sejarah kelam bangsa, terutama bagi keturunan Tionghoa. Namun melalui peristiwa itu pula, warga Tionghoa mendapatkan titik balik dalam kehidupan berpolitiknya. Karena akibat kejadian itulah, seluruh mahasiswa, aktivis, dan akademisi bergerak bersama sehingga berhasil menumbangkan rezim Orde Baru (Orba).
Seperti yang kita ketahui, di zaman Orba, para warga keturunan Tionghoa hidup dalam tekanan. Walau bebas berkegiatan di sektor ekonomi, namun secara politis peranannya disingkirkan. Kala itu, sulit bagi keturunan Tionghoa untuk bekerja di sektor pemerintahan dan militer.
Saat reformasi terjadi, semua tekanan itu seolah dilepaskan. Namun mereka tidak langsung menyambutnya dengan suka cita, karena genosida etnis yang nyaris terjadi, telah meninggalkan trauma mendalam. Hingga saat ini pun, cukup banyak warga Indonesia keturunan yang enggan pulang karena masih diselimuti ketakutan.
Atas dasar itulah, beberapa orang pemuda keturunan Tionghoa berinisiatif untuk membentuk Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) demi membangkitkan kembali rasa cinta pada Indonesia. Presiden saat itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), merupakan salah satu sosok yang ikut membantu terbentuknya organisasi ini.
Ketika itu, INTI adalah satu-satunya ormas Tionghoa yang ada. Organisasi bersifat kebangsaan dan inklusif ini, memiliki misi memperjuangkan kesetaraan hak serta menyelesaikan masalah Tionghoa di Indonesia. Terutama untuk membantu memulihkan trauma akibat kekerasan yang terjadi pada Mei 98, juga tekanan selama masa Orba.
Seiring perjalanan waktu, INTI memiliki anggota yang terdiri dari berbagai profesi, namun sebagian besarnya pengusaha. Misi perjuangan persamaan hak yang diemban INTI inilah yang kemudian menjadi landasan ketertarikan mereka untuk bersentuhan dengan politik, terutama dengan para tokoh berpengaruh di pemerintahan.
Potensi Kekuatan Ekonomi Politik
“Kita juga harus sadar bahwa permasalahan ketidakadilan ras dan ketidakadilan ekonomi tidak dapat diselesaikan tanpa redistribusi radikal dari kekuatan ekonomi dan politik.” ~ Dr. Martin Luther King, Jr.
Sejak Nusantara masih berbentuk kerajaan maupun di masa kolonial Belanda, para pedagang Tiongkok banyak bertandang ke Indonesia. Interaksi ekonomi ini pada akhirnya tak hanya menghasilkan asimilasi budaya, tapi juga proses amalgamasi atau perkawinan campur. Sehingga tak heran bila Indonesia merupakan salah satu negara dengan etnis keturunan Tionghoa terbesar di dunia.
Dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia pada 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 7,67 juta merupakan etnis Tionghoa, dan disinyalir peningkatannya semakin cepat dari tahun ke tahun. Lembaga ini juga mencatat, kalau etnis Tionghoa menempati jumlah ketiga terbesar setelah Jawa dan Sunda atau 1,20 persen dari keseluruhan jumlah penduduk.
Pada zaman Belanda, etnis Tionghoa di Indonesia sengaja ditempatkan sebagai penunjang sektor ekonomi. Strategi devide et impera atau politik adu domba juga sengaja dilakukan para inlander, agar kekuatan masyarakat terpecah belah dan mudah dipengaruhi. Karena itu, hingga sekarang istilah pribumi dan keturunan masih melekat kuat dalam masyarakat Indonesia.
Strategi yang sama juga dilakukan oleh Soeharto. Di era Orba, etnis Tionghoa maupun keturunannya hanya boleh bekerja di sektor perdagangan. Oleh sebab itu, hampir seluruh warga Tionghoa adalah pengusaha. Di tangan smiling general ini, para pengusaha Tionghoa juga menjadi mesin uang bagi negara, partai, maupun keluarganya.
Ketika reformasi terjadi, warga keturunan Tionghoa mendapatkan kembali hak untuk berpolitik dan menggeluti profesi apa saja. Sebagai etnis terbesar ketiga serta pemegang kekuatan ekonomi dan perdagangan bangsa, dukungan suara dari warga keturunan tentu sangat menguntungkan bagi para politisi yang tengah mengincar kekuasaan.
Kekuatan ini pula yang dimanfaatkan oleh Perhimpunan INTI untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah, guna memuluskan misi mereka dalam memperjuangkan hak-hak warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Karena itu, merekas termasuk sering mengundang para politikus maupun pejabat pemerintah di acara-acaranya.
Gatot Bersiap Maju Pilpres?
“Bila tidak menguntungkan keduanya, tidak akan ada kesepakatan yang sifatnya permanen.” ~ Jimmy Carter
Kesepakatan akan terjadi bila semua pihak merasa diuntungkan, begitulah prinsip pemegang Nobel Perdamaian yang juga Mantan Presiden Amerika ke 39 ini. Sama halnya dengan janji Joko Widodo (Jokowi) yang akan menghormati hak politik dan bernegara anggota Perhimpunan INTI bila terpilih sebagai Presiden, saat melakukan kampanye di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu.
Pada saat itu, sikap politik anggota Perhimpunan INTI terpecah. Ada yang memilih Jokowi karena memiliki masa lalu lebih bersih dibandingkan Prabowo, namun ada juga yang mendukung Prabowo karena menganggap Jokowi kurang berpengalaman di pemerintahan. Tapi ternyata, tim Jokowi – Jusuf Kalla (JK) lah yang pada akhirnya memenangkan hati mereka.
Sebagai Perhimpunan yang memiliki anggota beragam profesi, sebagian besar anggotanya juga melek politik. Beberapanya bahkan sudah pernah mengenyam kursi legislatif, seperti Moerdaya Poo yang sempat duduk di Senayan melalui PDI Perjuangan dan Ulung Risman yang merupakan aktivis 98, salah satu pendiri Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan politikus Partai Nasdem.
Pensiun, Panglima TNI Gatot Nurmantyo Kirim Sinyal, Pilih Jokowi atau Prabowo? https://t.co/jTS3IobA0k
— DEMOKRASI (@demokrasidotco) October 7, 2017
Biasanya, menjelang kontestasi politik, para kandidat baik calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres), akan mereka undang untuk mengetahui lebih jauh mengenai program kerjanya. Ketika Pilpres 2014 lalu, tercatat Megawati Soekarno Putri, Jokowi, Jusuf Kalla, Luhut Panjaitan, dan Prabowo Subianto datang untuk menerima undangan mereka. Hanya Hatta Rajasa, cawapres Prabowo saja yang absen.
Begitu juga di Pilkada lalu, Anies Baswedan termasuk yang ikut sowan ke Perhimpunan INTI untuk meminta dukungan. Sementara di Pilpres sebelumnya, baik Gus Dur, Hasyim Muzadi (Alm), dan Boediono, juga pernah mendapatkan undangan. Karena Gus Dur merupakan salah satu pendukung INTI, biasanya tokoh dan kiai Nahdlatul Ulama pun sering disambangi oleh perhimpunan ini.
Jadi hal yang wajar bila bisa mengasumsikan, diundangnya Panglima TNI ke acara silaturahmi Perhimpunan ini merupakan sinyal dukungan. Mengingat sepak terjang Gatot yang sering beririsan dengan politik praktis membuat beberapa partai, baik Golkar maupun Nasdem, terpikat untuk mengusung sang jenderal yang sebentar lagi pensiun ini di Pilpres 2019 mendatang.
Bahkan belakangan, Prabowo pun disebut-sebut ikut mempertimbangkannya sebagai pasangan. Di sisi lain, Gatot sendiri saat HUT TNI 5 Oktober lalu, menyatakan dirinya tidak menampik bila memang diminta untuk membaktikan diri kepada bangsa dengan mengikuti Pilpres nanti. Pertanyaannya, apakah Gatot akan maju sebagai capres atau cawapres? Dan bila menjadi cawapres, siapa yang pantas ia dampingi nanti. Apakah Jokowi atau Prabowo? (R24)