Site icon PinterPolitik.com

Gatot Galau Tak Mungkin Nyapres?

Gatot Galau Tak Mungkin Nyapres?

Keengganan Gatot menjadi kader parpol berpeluang mengubur mimpinya menjadi capres maupun cawapres. (Foto: istimewa)

Selain PAN, PBB dan Nasdem, hampir semua partai politik menyiratkan keraguan untuk mengusung Gatot Nurmantyo sebagai capres, bahkan cawapres. Keengganan Gatot masuk menjadi kader, serta perebutan kekuasaan di internal parpol, membuat peluang Gatot menjadi semakin kecil.


PinterPolitik.com

“Honor is not the exclusive property of any political party.”

:: Herbert Hoover (1874-1964), politisi ::

[dropcap]G[/dropcap]naeus Julius Agricola (40-93 M) dikenang sebagai salah satu jenderal besar Romawi yang sukses menaklukan wilayah yang kini dikenal sebagai Inggris Raya. Atas jasanya, ia diangkat sebagai Gubernur di wilayah tersebut.

Namun, hubungannya dikabarkan tidak begitu baik secara politik dengan Kaisar Domitian (51-96 M) yang saat itu menjadi penguasa Roma, termasuk juga berbagai intrik yang terjadi di belakangnya.

Domitian menarik Agricola dari jabatannya di Inggris dan menawarkan jabatan pemimpin di wilayah-wilayah yang lain.

Namun, Agricola menolak jabatan-jabatan baru yang diberikan kepadanya, dan setelah pensiun, sang jenderal menepi dari kehidupan militer dan publik. Walaupun meredup, namanya akan diingat sebagai salah satu jenderal besar yang pernah hidup di zaman Romawi.

Kini, kisah Agricola tersebut memperlihatkan dimensi yang berbeda pada diri seorang purnawirawan jenderal, Gatot Nurmantyo. Yang berbeda adalah Agricola mundur dari kehidupan politik dan militer pasca pensiun, sementara Gatot, vice versa, justru melanjutkan ambisinya untuk menjadi penguasa di negeri ini.

Pasca pensiun dari jabatannya di dunia kemiliteran, Gatot Nurmantyo memang menguatkan keinginannya untuk terjun langsung ke dalam dunia politik. Ambisi politik Gatot memang sudah terlihat sejak masih menjabat sebagai Panglima TNI, di mana jenderal kelahiran Tegal, Jawa Tengah ini sudah dihubung-hubungkan dengan posisi sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk Pilpres 2019.

Hal inilah yang menyebabkan partai-partai politik telah sejak awal menargetkan Gatot sebagai calon potensial untuk menjadi alternatif, jika skenario Pilpres 2019 kembali akan mempertemukan Jokowi dengan Prabowo.

Portal The Diplomat sempat menulis bahwa ambisi Gatot – yang saat itu masih menjabat sebagai Panglima TNI – untuk terlibat aktif dalam politik, merupakan hal lain yang menjadi refleksi makin lemahnya institusi politik, seperti partai politik, sebagai ujung tombak kontrol sipil atas negara.  Akibatnya, perwira militer dengan pangkat tinggi – seperti Gatot – cenderung mencari saluran aspirasi politik.

Namun, sempat menjadi primadona banyak partai politik saat masih aktif, jalan politik Gatot tampaknya tidak semulus yang dibayangkannya pasca pensiun. Kini, ia harus melakukan manuver satu per satu ke partai-partai politik yang ada.

Keengganan Gatot menjadi kader beberapa partai – Gerindra, PAN dan PKS – bahkan menimbulkan pertanyaan, apakah Gatot memang serius “menggarap” pencapresannya dan – dalam konteks ini – melampaui Gnaeus Julius Agricola?

Gatot Galau, Tak Mungkin Nyapres?

Survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada akhir Maret hingga awal April lalu memang sedikit banyak menggambarkan posisi Gatot, katakanlah di hadapan Jokowi dan Prabowo.

Menurut survei tersebut, tingkat elektabilitas Jokowi mencapai 55,9 persen, Prabowo 14,1 persen, sementara Gatot hanya memperoleh dukungan 1,8 persen. Dengan perolehan dukungan yang “secuil” itu, tentu saja sangat berat bagi Gatot untuk menyodorkan dirinya menjadi capres kepada partai mana pun.

Peluang bagi Gatot kemungkinan besar hanyalah menjadi cawapres, apalagi jika melihat perolehan dukungan bagi Gatot adalah yang tertinggi jika dipasangkan dengan Prabowo Subianto (8,3 persen).

Nama Gatot juga muncul di posisi ketiga tertinggi sebagai cawapres Jokowi dengan 5,3 persen, di belakang Jusuf Kalla (15,7 persen) dan Prabowo Subianto (8,8 persen). Menimbang Jusuf Kalla sudah dua periode menjadi wapres dan Prabowo kecil kemungkinan berpasangan dengan Jokowi, maka Gatot sesungguhnya menjadi cawapres terkuat dengan siapa pun ia dipasangkan.

Pertanyaannya adalah apakah hasil survei itu saja cukup?

Tentu saja tidak. Gatot tentu saja butuh dukungan dari partai-partai politik. Masalahnya, seperti kata politisi Israel, Moshe Kahlon: “Soldiers don’t have a lobby or a political party”. ‘Tentara tidak punya lobi atau partai politik’.

Butuh waktu bagi seorang tentara yang baru pensiun seperti Gatot untuk memiliki kuasa dalam partai politik – katakanlah seperti yang dimiliki oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Demokrat, Prabowo di Gerindra, Sutiyoso di PKPI, atau Wiranto dan Moeldoko di Hanura. Hal inilah yang tergambar dari pandangan 14 partai peserta Pemilu 2019 terhadap Gatot.

Dari kubu partai pendukung Jokowi, ada Golkar, PPP, PKB dan Hanura yang menyebut diri tidak tertarik menjadikan sosok Gatot sebagai cawapres Jokowi.

Khusus untuk Golkar, sikap tersebut terlihat bertolak belakang dengan perlakuan terhadap Gatot saat masih menjadi jenderal aktif – mungkin karena banyak polemik (senjata ilegal dan mutasi perwira tinggi) yang melibatkan Gatot sebelum sang jenderal pensiun.

Sementara PDIP memilih menggunakan “bahasa politis” untuk menyerahkan perihal pencalonan Gatot kepada suara masyarakat. Belakangan beredar kabar bahwa partai banteng ini tertarik menduetkan Jokowi dengan Gatot – walaupun hal tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya. Dari kubu koalisi Jokowi, hanya Nasdem yang menjadi pendukung utama duet Jokowi-Gatot.

Adapun Gerindra, PKS dan Demokrat menyebut tidak tertarik untuk mencalonkan Gatot – besar kemungkinan sebagai capres – mengingat masih ada Prabowo di Gerindra, lalu PKS lebih mempercayakan capres kemungkinan kepada Prabowo dan cawapres kepada tokoh internal. Adapun Demokrat menyebut di internal partai masih ada sosok Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang punya elektabilitas tidak jauh dibanding Gatot.

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Partai Berkarya, Perindo, serta PSI, sementara Partai Garuda belum menyatakan sikapnya.

Hanya PAN dan PBB, dua partai yang mendukung Gatot. PAN mempertimbangkan pencapresan Gatot, sementara PBB ingin menduetkannya dengan Yusril Izha Mahendra. Walaupun demikian, mengingat jumlah kursi PAN hanya 7,59 persen dan PBB belum punya perwakilan di DPR, maka sangat besar kemungkinan pencapresan Gatot sulit terjadi.

The only way, satu-satunya kemungkinan Gatot bisa maju menjadi capres adalah jika Prabowo Subianto menjadi kingmaker dan memberikan mandat kepadanya. Jika hal itu terjadi, maka Gatot berpeluang untuk membawa gerbong dukungan Prabowo.

Sementara untuk memperebutkan posisi cawapres Jokowi atau Prabowo, Gatot harus berhadapan dengan banyak partai politik. Secara politik, Gatot jelas tidak punya kekuatan di hadapan parpol, apalagi ia menolak ajakan beberapa parpol – misalnya Gerindra, PAN dan PKS – untuk menjadi kader dari partai-partai tersebut.

Pada titik ini Gatot terlihat over confidence atau kelewat percaya diri, dan melupakan bahwa dalam politik, euforia dukungan kepadanya saat masih menjadi Panglima TNI sangat mungkin bertolak belakang saat ia telah lepas dari jabatan prestisius tersebut.

Dengan demikian, jika berkaca pada kondisi riil politik saat ini, peluang Gatot untuk menjadi capres atau cawapres kemungkinannya sangat kecil bisa terwujud. So, what’s next, Pak Gatot?

Kuasa Parpol Melawan Jenderal

Kerinduan masyarakat Indonesia untuk kembali dipimpin oleh sosok militer, bukanlah hal yang sederhana. Untuk sampai ke titik itu, memenangkan dukungan parpol adalah yang mutlak dibutuhkan oleh siapa pun calonnya, termasuk Gatot. Kuasa parpol adalah keniscayaan, apalagi dalam konteks politik Indonesia pasca pengesahaan presidential threshold 20 persen.

Nyatanya, saat ini Gatot kesulitan berhadapan dengan kondisi politik yang demikian. Apa yang terjadi pada Gatot ini, sesungguhnya sesuai dengan gambaran teori partai politik, salah satunya yang diungkapkan oleh Kathleen Bawn dkk.

Menurut mereka, kekuasaan partai politik dalam sistem politik begitu besar, sehingga mampu menentukan kekuasaan. Joseph Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy juga menyebutkan bahwa kader partai politik selalu berjuang untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan demikian, parpol akan selalu berpikir dua kali ketika mencalonkan orang yang bukan kadernya.

Oleh karena itu, menjadi jelaslah mengapa Gerindra, PAN, dan PKS meminta Gatot untuk menjadi kader mereka jika ingin dicalonkan pada Pilpres 2019. Jika parpol secara sepihak mengangkat orang dari luar partai sebagai calonnya, jelas akan ada gejolak di internal partai. Kebijakan tersebut tentu akan membuat garis kaderisasi politik menjadi sia-sia.

Sikap Gatot yang demikian – tidak mau menjadi kader parpol – sesungguhnya menjadi pengingkaran terhadap teori parpol itu sendiri sebagai alat untuk mencapai kekuasaan.

Bahkan, Presiden Jokowi pun harus menjadi kader PDIP sebagai jalan untuk meniti karier kekuasaannya, mulai dari walikota, gubernur, hingga presiden – sekalipun status “petugas partai” yang melekat padanya terlihat menjadi belenggu politik.

Pernyataan Gatot yang menyebut tidak harus menjadi kader parpol untuk mencalonkan diri tentu saja menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Tidak heran, mayoritas parpol kemudian mengambil sikap yang bertolak belakang terhadap sang jenderal, selain juga karena berbagai polemik yang terjadi sebelum sang jenderal pensiun.

Pada akhirnya, Gatot mungkin harus memahami esensi kekuatan parpol dalam politik di Indonesia. Jika itu tidak terjadi, maka besar kemungkinan tidak akan ada nama sang jenderal di surat suara pada Pilpres 2019 nanti.

Kalaupun harus berakhir demikian, mungkin Gatot harus mempertimbangkan jalan politik Gnaeus Julius Agricola, bahwasannya mengasingkan diri dari dunia politik dan mempertahankan kehormatan korsanya – seperti kata Herbert Hoover di awal tulisan – bukanlah hal yang memalukan untuk seorang jenderal. (S13)

Exit mobile version