Site icon PinterPolitik.com

Gatot Gagal Nyapres?

Berita tentang keinginan mantan Panglima TNI tersebut, disampaikan oleh Wakil Sekertaris Jenderal Gerindra Andre Rosiade.

Istimewa

Kabarnya, ambisi mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo untuk maju di Pilpres 2019 akan kandas. Benarkah?


PinterPolitik.com

“Ambisi adalah kekuatan. Hasrat yang ada di dalam diri manusia. Setinggi apapun keberhasilan yang telah diraih, tidak akan mampu memuaskannya.”~ Niccolò Machiavelli

[dropcap]S[/dropcap]impang siur terkait ambisi Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon presiden (capres) maupun calon wakil presiden (cawapres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang, akhirnya terjawab sudah. Berita tentang keinginan mantan Panglima TNI tersebut, disampaikan oleh Wakil Sekertaris Jenderal Gerindra Andre Rosiade.

Andre menjelaskan, awal Maret lalu, jenderal bintang empat itu telah mengajukan niat dan keinginannya tersebut pada Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto. Gatot yang April nanti akan memasuki masa pensiun ini, namanya memang dikabarkan telah masuk dalam daftar cawapres bagi Prabowo.

Di sisi lain, niatan Gatot ini ternyata tidak berjalan mulus seperti yang awalnya diduga. Walau hubungannya dengan Gerindra dan PKS terlihat cukup mesra, terutama karena memiliki visi yang sejalan, namun kemesraan itu ternyata berbuah penolakan baik dari PKS bahkan dari internal Gerindra sendiri.

Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman misalnya, tegas-tegas menyatakan kalau Prabowo-Gatot bukanlah pasangan ideal untuk diusung pada 2019 nanti. Begitu juga dengan PKS. Seperti yang diketahui, partai Islam ini bahkan mengingatkan Gerindra kalau mereka telah memiliki daftar nama cawapres dari kadernya sendiri. cil

Baik Habiburokhman maupun Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan, latar belakang Gatot dan Prabowo yang sama-sama dari militer memperkecil kemungkinan untuk bisa disatukan. Sebagai partai yang sudah dipastikan akan berkoalisi dengan Gerindra nanti, PKS merasa kalau kadernya jauh lebih memungkinkan untuk disandingkan dengan Prabowo, ketimbang Gatot.

Bila pintu dari pihak Prabowo sudah tertutup, bagaimana peluang Gatot untuk bersanding dengan Jokowi? Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, survei menunjukkan kalau masyarakat memfavoritkan Jokowi dan Gatot untuk bersanding. Keduanya berhasil meraih nilai tertinggi, yaitu 38,4 persen dibanding suara Prabowo dan Anies Baswedan misalnya, yang hanya mendapat 20,7 persen.

Hanya saja, peluang Gatot untuk “bercengkrama” dengan Jokowi di Pilpres nanti sepertinya akan sulit. Di samping daftar cawapres dari partai pendukungnya juga sudah cukup panjang, hubungan pribadi antara Gatot dengan Jokowi pun diduga kurang harmonis. Terlihat dari keputusan Jokowi yang buru-buru mencari pengganti panglima TNI, bahkan sebelum Gatot benar-benar pensiun.

Berdasarkan fakta di atas, apakah hasrat Gatot untuk bertarung di Pilpres nanti akan kandas? Mengingat partai-partai yang sebelumnya mengelu-elukkan dirinya pun, mendadak “bisu” tak kala Gatot memasuki masa pensiun. Bahkan Gerindra hanya bersedia membuka pintu dengan syarat, yaitu Gatot harus menjadi kader terlebih dahulu dan hanya bisa nyapres di 2024. Bersediakah Gatot menanti selama itu?

Diinginkan Rakyat, Diacuhkan Partai

“Saat Anda berharap bisa mendapat posisi yang paling tinggi, akan tetap terhormat bila hanya meraih posisi kedua maupun ketiga.” ~ Cicero

Pilpres memang masih setahun lagi, namun persiapan-persiapan tentu sudah mulai dilakukan oleh partai politik maupun kandidat presiden itu sendiri. Hanya saja, hingga hari ini, capres yang sudah positif akan maju hanya Jokowi saja. Sementara Prabowo sebelumnya masih terlihat gamang, walau para kadernya sudah sangat yakin kalau ketua umumnya itu akan kembali bertarung menghadapi Jokowi.

Kegamangan Prabowo inilah yang sempat menimbulkan dugaan, mungkinkah ia tengah berpikir untuk pensiun dan mengalah dengan mengusung nama lain sebagai capres Gerindra? Bila benar, bisa jadi Gatot melihatnya sebagai peluang. Hanya saja, bila pun Prabowo memberi kesempatan itu pada Gatot, bisa dipastikan pria yang gemar berkuda itu akan mendapat banyak tentangan, baik dari PKS maupun kadernya sendiri.

Padahal sebelumnya, nama Gatot sempat digadang-gadang sebagai cawapres potensial, bukan hanya bagi Prabowo tapi juga Jokowi. Gatot dinilai mampu menggaet kaum Muslimin, bahkan sangat difavoritkan massa Aksi Bela Islam 212. Jadi selain mendekatkan Jokowi pada kalangan militer, Gatot juga bisa menjembatani Jokowi dengan umat Islam – terutama Islam garis keras.

Popularitas Gatot pun mendadak tinggi, bahkan di mata partai politik (parpol). Golkar misalnya, saat musyawarah nasional tahun lalu sempat berniat mengusung Gatot sebagai capres. Begitu juga dengan NasDem yang tertarik menyandingkan Gatot dengan Jokowi. PKS dan Gerindra pun tak kalah sigap, keduanya mengaku membuka pintu lebar-lebar bagi jenderal berusia 58 tahun itu.

Meski begitu, hitung-hitungan politik pada akhirnya tidak berpihak pada Gatot. Ketika parpol mulai mendeklarasikan diri mengusung Jokowi, otomatis mereka pun berlomba-lomba mendaftarkan kadernya sebagai cawapres mantan Walikota Solo tersebut. Saat itulah, nama Gatot seolah-oleh terlupakan oleh Golkar maupun NasDem. Terbukti, hal yang sama juga dilakukan oleh PKS dan Gerindra.

Sikap “mendingin” parpol pada Gatot ini, ternyata berbanding terbalik dengan yang terjadi di masyarakat. Walau banyak pengamat memperkirakan pamor Gatot akan turun karena tidak lagi menjabat sebagai panglima TNI, namun survei dari Lembaga Media Survei Nasional (Median) memperlihatkan fakta yang berbeda. Elektabilitas Gatot malah perlahan-lahan semakin meningkat.

Menurut Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun, elektabilitas Gatot hingga Februari tahun ini mencapai 5,5 persen, naik hampir dua kali lipat dari Oktober 2017 yang hanya 2,8 persen. Peraihan suara Gatot ini, lebih tinggi dibanding “ tokoh baru” lainnya, seperti Anies Baswedan yang mendapat 4,5 persen, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan 3,3 persen.

Sayangnya walau naik cukup signifikan, namun peraihan suara Gatot ini masih belum dapat menyamai elektabilitas Prabowo, apalagi Jokowi. Bisa jadi, angka hasil survei ini yang kemudian menjadi “pengganjal” bagi Gatot untuk diusung oleh parpol. Sebab walau elektabilitas para politisi tersebut lebih rendah, seperti AHY misalnya, namun ada dukungan mesin partai dan para kader di belakangnya. Tapi, benarkah hanya itu?

Gatot Kandas atau Diganjal?

“Hal yang paling substansial dari ambisi hanyalah bayangan atas impian.” ~ William Shakespeare

Wacana akan adanya presiden alternatif memang sempat mengemuka, terutama ketika bisa dipastikan kalau Pilpres 2019 nanti hanya mengulang pertarungan di 2014 lalu. Di mana Jokowi akan kembali berhadapan dengan Prabowo. Banyak pihak melihatnya secara pesimistis, karena di 2014 lalu, hampir setengah jumlah pemilih – yaitu 40 persen, memutuskan untuk tidak memilih atau menjadi golongan putih (golput).

Pesimisme ini juga terlihat dari berbagai survei yang memperlihatkan elektabilitas Jokowi tak beranjak dari 40-50 persen, sementara Prabowo hanya dikisaran 15-25 persen. Besarnya jumlah warga yang belum memutuskan ini, menjadi peluang bagi tokoh lain untuk mendulangnya. Sehingga munculnya poros tengah pun sempat ikut menjadi pertimbangan, terutama pada parpol yang masih belum memutuskan untuk berkoalisi.

Sayangnya partai yang saat ini dianggap masih “netral”, baik Demokrat, PKB, dan PAN, belum pernah menyatakan ketertarikannya untuk mengusung Gatot. Padahal, dengan jumlah suara ketiganya yang mencapai 26,82 persen, sangat mungkin untuk mengusung capres alternatif. Sehingga posisi Gatot sebagai tokoh ‘tanpa partai’ memang membuat ambisinya terganjal untuk dapat maju ke Pilpres 2019.

Sistem Pilpres Indonesia yang mengharuskan capres diajukan parpol, memang menyulitkan sosok tanpa parpol menjadi presiden. Namun, Gatot sebenarnya memiliki peluang sebagai “Jokowi kedua”, bila memang elektabilitasnya semoncer Jokowi dulu. Bisa jadi, Gatot awalnya berharap bisa maju nyapres, juga karena adanya dorongan dari beberapa parpol.

Bahkan para penggemar Gatot pun sudah membuat wadah bernama Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN), tujuannya membantu Gatot meraih kursi RI-1 dengan melobi parpol yang ada. Namun sejauh ini, upaya mereka sepertinya belum mendapatkan hasil. Baik Golkar, NasDem, PKS, bahkan Gerindra seakan-akan “lupa” dengan tawarannya dulu. Mengapa ya?

Ada banyak spekulasi yang bisa menjadi alasan bagi para parpol menarik kembali dukungannya tersebut. Secara logis, setiap parpol tentu ingin agar ketua umum atau kadernya yang dapat diusung sebagai capres atau cawapres. Meski begitu, ada juga partai-partai lain yang masih “malu-malu” menyatakan minatnya pada posisi tersebut, tak terkecuali Golkar dan NasDem.

Kedua partai yang seharusnya “bertanggung jawab” karena mendorong Gatot untuk nyapres tersebut, sepertinya diam-diam menarik kembali dukungan. Ada banyak dugaan mengapa keduanya bersikap begitu, namun perkiraan terbesarnya adalah karena ketidakcocokan antara Jokowi dengan Gatot. Terutama karena saat menjadi Panglima TNI, Gatot kerap melontarkan polemik yang mengganggu citra Pemerintah.

Pernyataan-pernyataan Gatot yang terdengar cukup keras menuding pihak luar terkait proxy war, juga menjadi salah satu kemungkinan mengapa parpol menimbang-nimbang dukungannya kembali. Kasus ditolak masuknya Gatot ke Amerika Serikat oleh Pihak Keamanan AS dan retaknya hubungan militer Indonesia dengan Australia, juga menimbulkan kesan Gatot tidak disukai oleh dua negara donatur tersebut.

Dua alasan di atas serta Gatot yang terlihat lebih mesra ke PKS dan Gerindra, bisa jadi merupakan pemicu mengapa saat ia memasuki masa pensiun, dukungan Golkar dan NasDem malah meredup. Padahal tanpa bantuan parpol, sulit bagi Gatot untuk mewujudkan ambisinya. Jadi, peluang satu-satunya bagi Gatot adalah dengan menjadi kader Gerindra dan menunggu hingga Pilpres 2024. Bersediakah dirinya? (R24)

Exit mobile version