Site icon PinterPolitik.com

Gatot, Anomali Eks Panglima?

Gatot, Anomali Eks Panglima

Jenderal Gatot Nurmantyo saat dilantik sebagai Panglima TNI baru oleh di Istana Kepresidenan Jakarta pada Juli 2015 silam. (Foto: Reuters)

Gatot Nurmantyo menyinggung tabir politik dan kebijakan pemutaran film G30S PKI sebagai faktor masa jabatannya yang prematur sebagai Panglima TNI. Lalu, apa makna sesungguhnya dari manuver politik Gatot sampai sejauh ini? Akankah dirinya mendapat simpati dari manuvernya itu atau justru sebaliknya?


PinterPolitik.com

Konfrontasi ideologis, terutama liberalisme vs komunisme, nyatanya memang “barang lama” yang kian samar signifikansinya dalam tatanan high politics pasca Perang Dingin berakhir.

Namun pada dimensi berbeda, meski globalisasi dianggap membuat paradigma dunia mengarah pada terbentuknya karakteristik masyarakat yang moderat atau bahkan non-ideologis, Peter Hays Gries dalam Does Ideology Matter? menyebut bahwa ideologi inheren yang tertanam, baik secara langsung maupun tidak langsung, di suatu negara tetap merupakan penggerak dan pemersatu sikap masyarakat yang kuat.

Sudut pandang itu yang mungkin membuat Gatot Nurmantyo merasa perlu untuk kembali mengungkit isu ideologis seperti komunisme ke dalam tatanan politik kontemporer tanah air untuk kesekian kalinya.

Tercatat beberapa kali sejak masih aktif di TNI, Gatot memang acapkali menekankan pentingnya kewaspadaan akan pergerakan komunisme yang masih menjadi ancaman keamanan dan persatuan bangsa walau secara kasat mata tak terlihat.

Kali ini, Gatot mengklaim bahwa instruksi untuk menonton film G30S PKI yang kemudian diperkeruh dengan sentilan dari partai politik (parpol) tertentu, disebut menjadi salah satu faktor pendorong kejatuhannya lebih awal dari jabatan militer tertinggi di angkatan bersenjata.

Reaksi logis sontak datang dari parpol yang dituding, yakni PDIP dan juga Istana. Kedua pihak yang tentu dirugikan dengan pernyataan Gatot merespon bahwa pergantian mantan KASAD itu telah sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang berlaku.

Lebih substansial, politikus PDIP Effendi Simbolon juga mempertanyakan dan menegaskan bahwa tak seharusnya film tersebut dijadikan referensi tunggal anti komunisme, terlebih diwajibkan secara institusi.

Namun pertanyaannya, mengapa kali ini isu terkait komunisme yang Gatot hembuskan dikaitkan dengan intrik politik yang spesifik atas pemberhentiannya sebagai Panglima TNI?

Tentara Politik

Dalam publikasi yang berjudul Political Armies: The Military and Nation Building in the Age of Democracy, Kees Koonings dan Dirk Kruijt menyebutkan konsep political armies atau tentara politik di mana keterlibatan seorang eks militer dalam politik domestik serta pemerintahan adalah bagian utama dari fungsi sah mereka.

Kalangan tersebut biasanya juga memiliki identifikasi yang kuat dengan nasib bangsa dan nilai-nilai landasan negara. Oleh karenanya, “intervensi” menjadi penting atas nama kepentingan nasional yang sejalan dengan visinya selama ini.

Fenomena tentara politik memang cukup lazim ketika para eks militer yang notabene pernah mengampu jabatan penting seperti panglima atau sederajat, tak jarang memberikan pandangan, masukan, kritik pada berbagai isu atau bahkan terjun langsung dalam dunia politik.

Di Amerika Serikat misalnya, saat Presiden Donald Trump mengerahkan militer untuk menghadapi demonstran Black Lives Matter. Tak tanggung-tanggung, tiga mantan Joint Chiefs of Staff yakni Martin Dempsey, Colin Powell, sampai Mike Mullen menentang keras kebijakan Trump tersebut.

Tak hanya pada isu kekinian, para purnawirawan jenderal top AS memang sejak lama sangat aktif dalam blantika politik negeri Paman Sam, baik sebagai pengamat, politisi, atau dalam sebuah strategi politik elektoral tertentu.

Selain di AS, para tentara politik juga ramai menghiasi dinamika politik dan pemerintahan di tanah air. Namun sedikit berbeda dengan di AS, tak banyak purnawirawan jenderal di Indonesia yang benar-benar “aktif” bermanuver secara politik.

Pasca era Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo Subianto, banyak dari mereka yang hanya bergabung dengan parpol yang telah eksis, ditarik sebagai komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau yang paling prestis ditarik menjadi seorang menteri.

Begitu pula dengan level jabatan Gatot Nurmantyo yang saat ini menjadi polemik. Sejak reformasi, mulai dari Laksamana Widodo Aji Sucipto sampai Jenderal Moeldoko, eks Panglima TNI kesemuanya dapat dikatakan nihil yang memainkan peran sebagai tentara politik dengan manuver aktif nan tajam, terutama terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.

Oleh karenanya, tak keliru kiranya kala mengatakan bahwa sosok Gatot Nurmantyo dengan manuver politiknya selama ini, merupakan anomali yang dinilai ingin ditunjukkan

Gatot dari konsep tentara militer para eks jenderal top, termasuk para mantan Panglima TNI pasca reformasi.

Dan ketika berbicara mengenai substansi yang menjadi gacoan Gatot mengenai komunisme, terdapat tendensi bahwa dirinya sedang memperjuangkan segmen politik tertentu.

Ketika nasionalisme kolektif kontemporer bangsa dinilai telah cukup objektif dalam memandang komunisme, tak sulit kiranya untuk menemukan korelasi antara narasi komunisme Gatot dengan kelompok religius, meski tak serta merta dapat dipisahkan seutuhnya dari nasionalisme.

Secara historis, internal militer Indonesia memang sempat terdistorsi oleh eksistensi dua faksi beraroma nasionalisme dan religiusitas, ABRI Merah Putih dan ABRI Hijau. ABRI Merah Putih adalah mereka yang nasionalis dan tak membawa bendera agama, sementara kubu Hijau adalah mereka yang dekat dengan subkultur Islam.

Distorsi yang dinilai berhulu dari Peristiwa Tanjung Priok menjadikan Benny Moerdani, Sintong Pandjaitan, Kivlan Zein, hingga Feisal Tanjung menjadi aktor-aktor yang “terjebak” dalam pusaran sentimen agama. Bahkan ketika itu dikatakan bahwa istilah ABRI Hijau digunakan untuk menyudutkan mereka yang dekat dengan kalangan Islam, dan berarti tidak Merah Putih.

Akhir cerita, Soeharto justru lebih memilih ABRI Hijau untuk mengisi jabatan strategis pada dekade 90-an hingga ia lengser, dan dinilai turut membentuk lanskap politik dan karakteristik “tentara politik” para purnawirawan setelahnya.

Lantas, adakah keterkaitan antara karakteristik tentara politik tersebut dengan manuver Gatot dengan narasi komunismenya belakangan ini?

Berbeda Dengan Prabowo?

Fakta sejarah berupa eksistensi ABRI Hijau di penghujung Orde Baru (Orba) tak hanya menunjukkan adanya pertautan antara militer dan kalangan religius, tetapi mungkin saja tak secara langsung juga membentuk mindset bagaimana purnawirawan jenderal yang memutuskan aktif dalam dunia politik membangun narasi.

Rangkulan yang Prabowo Subianto lakukan pada kalangan religius Islam dalam pencapresannya di Pilpres 2014 dan 2019 beserta dampak turunannya hingga kini, tampaknya menasbihkan bahwa terdapat beberapa elemen konstruktif yang secara politis dapat dieksploitasi atas sebuah narasi politik religius.

Akan tetapi setelah Prabowo merapat ke pemerintah, relasi tersebut nyatanya tak berakar secara ideologis melainkan sebuah konsolidasi pragmatis belaka.

Hal berbeda seolah ditunjukkan Gatot Nurmantyo. John McBeth dalam Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics menyebut bahwa Gatot merupakan satu-satunya Panglima TNI yang secara terang-terangan menunjukkan ambisi politik saat masih menjabat.

Ambisi tersebut bahkan dikatakan telah sangat spesifik dengan membawa narasi yang sangat jelas, yakni anti-komunisme dan lekat dengan aliansi muslim konservatif.

Gatot memang dinilai telah menunjukkan simbol tersendiri saat berusaha mengkonsolidasi kondusivitas keamanan bersama dengan Polri dan pemerintah saat demonstrasi 411 dan 212 pada 2016 silam.

Kala itu, Gatot sempat mengawal Presiden Jokowi untuk menemui peserta demo dengan menggunakan kopiah putih yang secara tidak langsung memberikan impresi tersendiri bagi publik dan kalangan tertentu.

Fokus atas bangkitnya komunisme yang bermuara pada instruksi nobar film G30S/PKI pada tahun 2017 dan konsistensinya pada isu dan narasi tersebut hingga kini kemudian dinilai semakin membuat Gatot memiliki tempat tersendiri di kalangan religius mungkin masih menaruh kesumat pada PKI secara ideologis.

Kendati demikian, konsistensinya yang dianggap sedikit berlebihan oleh sejumlah pihak dapat membuat narasi politik Gatot akan kehilangan relevansi dan “tersesat” dari sisi momentum.

Seorang analis militer dalam tulisan Mcbeth sebelumnya menyebut bahwa Gatot memiliki sebuah kelemahan yakni tak punya banyak karisma dan kecerdasan politik.

Susan Baer dalam Powell: The Political General His Political Acumen Is Viewed as Both A Plus and A Minus menyebut bahwa eks militer yang bergelut dalam politik harus memiliki political acumen atau kecerdasan politik untuk menempatkan diri secara proporsional dan membaca situasi politik secara luas dan komprehensif.

Kecerdasan politik dalam membaca tendensi kejenuhan akan isu komunisme dan kebangkitan PKI tentu harus diperhatikan oleh Gatot. Terlebih isu semacam ini jamak dianggap menjadi template isu tahunan dan jamak dinilai sebagai bumbu politik belaka.

Terlebih lagi, momentum Gatot melempar isu tersebut berdekatan dengan tanggal 30 September yang menjadi hari peringatan pemberontakan PKI, sehingga mudah saja dari berbagai pihak untuk menyebutkan Gatot hanya memanfaatkan momen ini. 

Oleh karenanya, isu pencopotan lebih awal dari jabatan Panglima TNI akibat instruksi film G30S/PKI dinilai kurang tepat untuk dihembuskan Gatot jika berkaca pada situasi dan psikologi politik publik yang ada saat ini.

Dengan kata lain, apapun tujuan seorang Gatot, dirinya tetap membutuhkan kecerdasan politik agar narasi yang ingin dibangunnya tetap relevan sehingga tidak berbalik menjadi sebuah antipati tersendiri. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version