Teknik gaslighting atau memanipulasi emosi lawan dalam politik cukup popular terjadi di Amerika Serikat. Bagaimanakah dengan yang terjadi di Indonesia?
PinterPolitik.com
[dropcap]G[/dropcap]aslighting, sebuah kata yang tak lazim didengar terutama bagi audiens Indonesia. Nyatanya, kata tersebut menjadi salah satu word of the year di tahun 2018. Bukan tanpa alasan kata tersebut menjadi kata paling populer di tahun 2018.
Dinamika politik di tahun tersebut membuat istilah tersebu terkenal, setara dengan post-truth di tahun 2016. Gaslighting merupakan terminologi dalam ilmu psikologi tentang teknik manipulasi yang memanfaatkan permainan psikologis dua orang yang saling berinteraksi.
Gaslighting, teknik manipulasi psikologi yang berbahaya dalam politik Share on XDalam konteks Indonesia, fenomena itu sepertinya juga tersedia. Pertarungan sengit dua kubu yang akan bersaing merebutkan kursi RI 1 menjadi salah satu indikasi terjadinya gaslighting dalam konteks politik Indonesia. Hal ini terlihat dari aksi saling sindir dan menyerang yang masih tetap konsisten dilakukan oleh pasangan calon presiden di ruang publik.
Yang terbaru sekaligus yang mencuri perhatian adalah ucapan kandidat calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. Dalam kesempatan tersebut, Prabowo di hadapan ratusan buruh di HUT ke-20 Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia di Hall Sport Kelapa Gading menyebut terjadinya kebocoran anggaran sebesar 500 triliun.
Merasa pihak oposisi terus menerus melakukan semburan dusta, pihak petahana Jokowi pun tak mau tinggal diam. Dalam merespons ujaran Prabowo tersebut, nampaknya kesabaran sang presiden sudah pada puncaknya. Jokowi akhirnya menjawab pernyataan mantan Danjen Kopassus tersebut dan memintanya untuk melapor ke KPK.
Dalam konteks saling serang kedua lawan yang sedang bertarung ini, mungkin saja teknik gaslighting kini menjadi strategi unggulan salah satu kandidat. Lalu bagaimana sesungguhnya melihat saling serang Jokowi-Prabowo ini dalam perspektif gaslighting?
Gaslighting Dalam Politik
Film Gaslight yang diperankan oleh Patrick Hamilton pada tahun 1938 merupakan film yang menceritakan bagaimana seorang pria memanipulasi psikologis istrinya untuk membuat sang istri percaya bahwa ia telah menjadi gila. Film ini bahkan berhasil menjadi pemenang Oscar di tahun 1944.
Sejak saat itulah, term gaslighting menjadi popular dan digunakan cukup luas, tak terkecuali dalam politik. Adalah Maureen Dowd, seorang kolumnis The New York Times yang menggunakan istilah gaslighting ini dalam politik di tahun 1995.
Menurut Robin Stern, dalam sebuah artikelnya, gaslighting merupakan teknik penyiksaan psikologis dalam sebuah hubungan baik berupa hubungan profesional hingga dalam sebuah hubungan percintaan.
Sebagai sebuah strategi menjatuhkan psikologis lawan dalam politik, teknik ini melibatkan dua subjek yang disebut gaslighter sebagai pelaku dan gaslightee sebagai korban dari tindakan gaslighting.
Gaslighting biasanya melibatkan upaya dari gaslighter untuk memanipulasi gaslightee yang menyebabkan realita gaslightee ditentukan oleh gaslighter. Dalam konteks ini, terdapat dua unsur yang tak boleh dianggap remeh dalam sebuah teknik gaslighting.
Dan @prabowo adalah anak ekonom besar yang berdampingan dengan dengan seorang pengusaha @sandiuno . Bisakah mereka membuktikan bahwa ekonomi ini soal yg mereka hafal luar kepala? Termasuk bagaimana menutupi kebocoran ekonomi? Kita lihat saja nanti. Sekian. #EkonomiBocor
— #2019WAJAHBARU (@Fahrihamzah) February 11, 2019
Pertama, penekanan teknik ini berada pada adanya relasi kuasa dalam hubungan interpersonal tersebut. Biasanya, seorang gaslighter sebagai pelaku memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan dengan gaslightee sebagai korban.
Kedua, gaslightee pada umumnya akan kehilangan kepercayaan terhadap realitanya sebagai akibat dari manipulasi gaslighter yang berkepanjangan dan juga berpotensi kehilangan penilaian pribadi mengenai kondisinya pada saat proses gaslighting sedang berlangsung.
Teknik ini sesungguhnya jamak terjadi dalam konteks politik modern AS. Teknik manipulasi psikologis ini kerap digunakan oleh beberapa politisi terkenal di Amerika Serikat layaknya Bill Clinton, keluarga Bush, hingga beberapa konsultan politik AS.
Dalam perkembangan politik AS modern, Amanda Carpenter dalam bukunya yang berjudul Gaslighting America : Why We Love It When Trump Lies to Us menyebut teknik gaslighting ini disebut-sebut juga digunakan oleh Donald Trump sebagai strategi manipulasi psikologi lawan politiknya pada Pilpres 2016 bahkan hingga saat ini ia duduk di kursi kekuasaan.
Seperti dilansir oleh CNN, Trump kerap kali mengeluarkan pernyataan dan kemudian menyangkalnya di waktu yang berbeda, menyalahkan orang lain karena kesalahpahaman, dan seringkali meremehkan sebuah aksi keprihatinan dengan meremehkannya sebagai kepekaan yang berlebihan, hingga menyebut sebuah pernyataan yang kontroversial, dan kadang keterlaluan, sebagai sebuah lelucon atau kesalahpahaman.
Dalam konteks Pilpres misalnya, Trump kerap kali menyalahkan berbagai tindakan yang dilakukan oleh Hillary Clinton misalnya dengan mendiskreditkan kampanye istri dari Bill Clinton tersebut yang berfokus pada advokasi gerakan feminism dengan pernyataan-pernyataan bernada misoginis. Berbagai upaya Trump tersebut yang sempat membuat kepercayaan diri Hillary dalam menghadap persaingan Pilpres tampak meredup.
Sementara itu dalam konteks politik Indonesia, seiring dengan semakin panasnya panggung Pilpres 2019, tidak hanya teknik firehouse of falsehood, nampaknya gaslighting ini juga menjadi salah satu bentuk strategi politik yang baru disadari juga terjadi.
Mungkinkah teknik ini menjadi salah satu babak baru strategi politik salah satu kandidat capres?
Prabowo, Sang Gaslighter?
Dalam konteks politik Indonesia jelang Pilpres 2019, Prabowo nampak kerap kali melakukan serangan-serangan yang konsisten beberapa waktu belakangan.
Jika dirunut selama lima bulan lebih masa kampanye, beberapa di antaranya misalnya memviralkan istilah tampang Boyolali yang ditujukan untuk mendiskreditkan sosok petahana.
Ia juga menyerang berbagai kebijakan pemerintah dengan istilah-istilah konyol dan fakta-fakta yang perlu dicek kebenarannya, misalnya soal selang cuci darah yang tak pernah diganti di RSCM.
Hingga yang terbaru adalah menuduh adanya kebocoran anggaran pemerintah sebesar 500 triliyun akibat berbagai mark-up yang menyebabkan negara merugi.
Everyone spins, and deflects and misdirects in politics.But the gaslighting, bad Jedi-mind-trick shtick of the Trump campaign is astonishing
— Chris Hayes (@chrislhayes) September 29, 2016
Dalam gelaran debat Pilpres perdana yang dilaksanakan pada awal Januari lalu juga tak luput dari serangan-serangan Prabowo terhadap Jokowi.
Pernyataan yang keluar dari mulut sang mantan Danjen Kopassus tersebut menyoal sejumlah menteri Jokowi tidak akur dan adanya konflik kepentingan di dalam kabinet Jokowi.
Selain itu, Prabowo menyinggung adanya kriminalisasi yang dilakukan kepada kepala daerah yang deklarasi mendukung paslon 02 yang menunjukkan adanya tebang pilih hukum di bawah pemerintahan Jokowi. Prabowo juga sempat menyinggung tentang kebocoran kekayaan negara dalam gelaran debat tersebut.
Melihat berbagai serangan tersebut, sang petahana pun tak mau tinggal diam. Kerap kali ia menunjukkan sikap ofensifnya terhadap lawan politiknya tersebut.
Jika diperhatikan, pola ini dimulai ketika ucapan Boyolali Prabowo dibalas dengan Sontoloyo oleh Jokowi. Puncaknya adalah saat Jokowi mengungkit kembali adanya dugaan kubu oposisi melakukan teknik propaganda asing dan menuduh kubu lawan menyebarkan berita hoaks untuk meraih simpati pemilih.
Lalu mungkinkah teknik menyerang Prabowo selama ini dapat dimaknai sebagai upaya gaslighting?
An incomplete but representative history of gaslighting in conservative politics. https://t.co/t0E7qXzbN1 pic.twitter.com/EgG7cYel4y
— Brian Beutler (@brianbeutler) September 19, 2016
Memang secara teoritis serangkaian serangan Prabowo terhadap petahana belum bisa sepenuhnya dikatakan sebagai bentuk gaslighting.
Hal ini karena Prabowo tidak memenuhi unsur sebagai gaslighter yang diungkapkan oleh Robin Stern dimana secara kekuatan politik, ketua umum Partai Gerindra tersebut bisa dibilang lemah dibanding dengan petahana.
Namun dalam unsur selanjutnya, dimana gaslightee pada umumnya akan kehilangan kepercayaan terhadap realitanya sebagai akibat dari manipulasi gaslighter yang berkepanjangan, mungkin saja kali ini kondisi ini dapat terjadi pada petahana.
Jika melihat respons yang dikeluarkan oleh petahana, nampak adanya perasaan insecure yang mendorong berbagai tindakan balasan tersebut. Secara psikologis, mungkin saja kini Jokowi berada dalam kondisi kehilangan kepercayaan atas dirinya dan realitas politik yang ada.
Hal ini dapat diindikasikan dari adanya sikap Jokowi yang meladeni segala serangan Prabowo dengan emosi. Padahal, ia sendiri menyadari bahwa apa yang dilakukan sang lawan politik adalah cara-cara yang konyol.
Misalnya saja dengan menuduh adanya propaganda asing dan peran Rusia yang justru menunjukkan adanya kerentanan psikologis sang petahana.
Hal tersebut justru menunjukkan bahwa konsistensi serangan manipulasi psikologi sang jenderal bisa saja benar-benar bekerja. Jokowi tampak terus-menerus meladeni pernyataan Prabowo, padahal dari segi data tak sepenuhnya sesuai dengan data resmi. Dalam kadar tertentu, di titik ini Jokowi sudah terjebak dalam teknik gaslighting.
Pada akhirnya, petahana mungkin kini harus lebih mawas diri dan melakukan koreksi besar-besaran dalam merespons berbagai serangan oposisi.Dalam konteks ini, abel Prabowo sebagai sosok gaslighter kali ini bisa saja tak berlebihan.(M39)