Latihan militer bersama dengan Amerika Serikat (AS) bertajuk Super Garuda Shield dimulai pada hari ini. Dengan militer Tiongkok disebut sebagai kekuatan yang memiliki perkembangan paling pesat di dunia, mengapa Indonesia tidak pernah melakukan latihan militer komprehensif dengan negeri Tirai Bambu?
Relasi militer dan pertahanan antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) kian waktu tampak kian mesra. Hal itu tercermin dari latihan militer tahunan Garuda Shield yang edisi kali ini dibubuhi tajuk “super”.
Dikatakan super, dikarenakan latihan militer bersama edisi ke-16 ini disebut jauh lebih besar dari sebelumnya, baik dari lingkup wilayah, matra, skala keterlibatan prajurit kedua negara, hingga keikutsertaan sejumlah negara sebagai pengamat.
Rangkaian latihan Super Garuda Shield yang dilaksanakan pada 1 hingga 14 Agustus 2022, diawali dengan kunjungan Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark A. Milley pada 24 Juli 2022. Menariknya, ini adalah lawatan pertama Kepala Staf Gabungan AS ke tanah air dalam empat belas tahun terakhir.
Milley disambut hangat oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan mengatakan AS siap mendukung Indonesia serta berkontribusi pada kawasan dengan cara apa pun yang negeri Paman Sam bisa lakukan.
Yang juga menarik, lawatan Milley dilakukan tepat sehari sebelum tur diplomatik Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan untuk membahas perdagangan dan investasi di bidang teknologi hingga infrastruktur.
Negara pertama yang dikunjungi Presiden Jokowi sendiri memiliki rekam jejak kurang positif dengan Indonesia, terutama dalam intrik wilayah di Laut China Selatan (LCS).
Sementara itu, terkait dengan manuver agresif militer Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir di LCS, komandan delegasi AS Mayor Jenderal Stephen G. Smith menegaskan bahwa latihan Super Garuda Shield bukan merupakan ancaman bagi pihak manapun.
Penegasan itu agaknya menjadi narasi awal untuk mengantisipasi protes Tiongkok kepada Indonesia yang sempat dikemukakan pasca latihan militer serupa tahun lalu.
Variabel Tiongkok secara tidak langsung kerap menjadi keterkaitan yang tak terpisahkan di balik latihan Garuda Shield. Beriringan dengan manuvernya di LCS, Tiongkok sering kali juga menjadi perhatian dikarenakan militernya yang terus berkembang pesat, baik dari segi jumlah prajurit hingga teknologi alutsistanya.
Presiden Xi Jinping sendiri memberikan mandat kepada Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) untuk menjadi kekuatan kelas dunia yang mampu “berperang dan memenangkan perang” pada tahun 2049.
Direktur Pusat Strategi dan Keamanan Scowcroft plus mantan pejabat Departemen Pertahanan AS dan Dewan Keamanan Nasional Barry Pavel mengatakan bahwa PLA juga telah mengejutkan pejabat pertahanan AS dengan kemajuan militer seperti senjata hipersonik dan nuklir.
Mengacu pada kekuatan itu, pertanyaan menarik kemudian mengemuka mengenai mengapa Indonesia jarang terdengar melakukan latihan militer secara komprehensif dengan PLA layaknya Garuda Shield?
Tiongkok Sebenarnya Lemah?
Latihan militer antara Indonesia dengan Tiongkok tidak nihil sama sekali. Namun, skalanya memang tidak pernah sebesar Garuda Shield dan sering luput dari pemberitaan.
Kerja sama terakhir antara TNI dan PLA terjadi pada 8 Mei 2021 lalu. Saat itu, matra laut kedua negara melakukan passing exercise (Passex) di Laut Jawa dengan melibatkan KRI Usman Harun-359, KRI Halasan-630, Liuzhou-573, dan Suqian-504.
Pada tahun 2013, latihan kontra terorisme pun pernah dilakukan Indonesia bersama militer Tiongkok dengan sandi Sharp Knife, meski kini tengah ditangguhkan.
Paling tidak terdapat tiga alasan latihan militer komprehensif bersama Tiongkok tidak pernah dilakukan, walaupun PLA menjadi salah satu yang terkuat di dunia plus Indonesia memiliki hubungan ekonomi yang baik dengan negeri Tirai Bambu.
Pertama, meskipun kuat dalam prakiraan terkini, militer Tiongkok tidak memiliki pengalaman tempur riil (combat experience) yang mumpuni.
Peneliti senior pertahanan dari RAND Corporation Timothy R. Heath turut menyoroti hal ini. Dalam publikasinya yang berjudul China’s Military Has No Combat Experience: Does It Matter?, Heath menyebut bahwa meski berkembang signifikan, namun PLA berada dalam sistem komando usang dan dihantui korupsi internal yang merajalela.
Pengalaman terakhir bertempur PLA juga terjadi lebih dari empat dekade lalu di Perang Sino-Vietnam pada tahun 1979, itupun mengalami kekalahan. Praktis, generasi prajurit PLA saat ini hampir tanpa pengalaman tempur memadai.
Heath juga mengutip kritik internal PLA melalui surat kabar resminya, saat mengatakan Tiongkok terbuai dengan dekade perdamaian dan kemakmuran yang disebut “peace disease”. Hal itu dikatakan telah memperburuk korupsi dan merusak kesiapan militer mereka.
Padahal, pengalaman taktis secara operasional sangat penting bagi sebuah militer prominen dunia. Heath mengutip sebuah studi, yang menemukan bahwa batalyon manuver di bawah komandan berpengalaman dalam Perang Vietnam mengalami kematian pertempuran sepertiga lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang memiliki komandan yang tidak berpengalaman.
Kedua, Indonesia juga memiliki alternatif partner militer yang lebih kuat dan punya romansa kedekatan tersendiri, yang tak lain adalah AS. Kendatipun tidak menyebutkan kecondongan Indonesia, Evan A. Laksmana dalam A Fragile Fulcrum: Indonesia-U.S. Military Relations in the Age of Great-Power Competition menguak bahwa sejak lama negara +62 memiliki relasi militer yang sangat baik.
Itu terbukti dari data yang menunjukkan sekitar 12 ribu prajurit Indonesia dididik AS sejak tahun 1969 sampai 2018. Bahkan, dalam dua dekade terakhir, 7.300 prajurit menimba ilmu di sana, termasuk Panglima TNI Jenderal Andika.
Pengalaman tempur militer AS kiranya tak perlu diragukan lagi ketika mereka selalu memiliki palagan sejak era kemerdekaan, perang sipil, dua edisi perang dunia, Perang Dingin, perang global terhadap teror, hingga konflik kontemporer lainnya.
Bagaimanapun, agresivitas militer Tiongkok juga menjadi faktor yang tidak bisa dikesampingkan. Penangguhan latihan Sharp Knife diduga kuat dikarenakan hal tersebut.
Dalam The World Doesn’t Want Beijing’s Fighter Jets, Richard Aboulafia mengatakan bahwa terdapat tendensi ketidakpercayaan internasional kepada Tiongkok.
Negeri Panda disebutnya selalu dicitrakan sebagai negara yang berpotensi menimbulkan ancaman geopolitik. Oleh karena itu, banyak negara yang akan berpikir dua kali bila ingin memiliki hubungan yang mendalam dengan Xi Jinping, termasuk dalam segi militer dan pertahanan.
Tak hanya itu, terdapat satu alasan menarik lain mengapa kiranya militer Indonesia tercatat tak pernah lakukan latihan militer komprehensif dengan Tiongkok. Apakah itu?
Militer Tiongkok Abdi Partai?
Kick-off Super Garuda Shield pada 1 Agustus hari ini secara kebetulan bertepatan dengan perayaan 95 tahun berdirinya PLA.
Di luar aspek kebetulan itu, jika ditelisik, karakteristik PLA itu sendiri yang kiranya merintangi sejumlah negara untuk melakukan kerja sama maupun latihan militer yang mendalam.
Liz Carter dalam tulisannya di The Atlantic yang berjudul Whom Should the Chinese Army Serve—the Party or the State?, menyatakan bahwa salah satu kelemahan PLA adalah mereka mengabdi untuk sebuah partai, bukan negara.
Di dalam analisisnya, Carter mengutip korespondensi akademisi terkemuka dan wakil presiden Fakultas Hukum Universitas Ilmu Politik dan Hukum Universitas Tiongkok (CUPL) Profesor He Bing.
Seorang perwira anonim di angkatan darat (AD) PLA, mengatakan kepada Profesor Bing bahwa ideologi PLA yang berkiblat ke Partai Komunis Tiongkok (PKT) cukup sulit untuk diimplementasikan di antara para serdadu.
Dalam terminologi khusus, kecenderungan yang disebut sebagai partyism itu, mengajarkan bahwa tentara rakyat harus setia kepada partai, karena partai mewakili kepentingan rakyat.
Sang kamerad anonim kemudian menyebut timbul pertanyaan di internal para prajurit, yakni bukankah lebih mudah untuk setia kepada rakyat secara langsung? Serta apa gunanya perputaran komando seperti itu?
Oleh karena itu, agaknya terdapat kesenjangan ideologi militer antara PLA dan angkatan bersenjata negara lain, termasuk Indonesia, yang lebih mengedepankan nasionalisme (nationalism), bukan partyism.
Carter menyebut militer yang minim campur tangan politik cenderung menunjukkan kemampuan beradaptasi yang lebih besar di medan perang, dibandingkan militer yang keputusannya dibuat untuk alasan politik (bukan prioritas operasional).
Meskipun secara normatif tidak disebut sebagai ancaman atau upaya deterrence tertentu, latihan Garuda Shield tetap memiliki makna tersembunyi jika dikaitkan dengan karakteristik militer Tiongkok, plus manuver-manuvernya.
Meski demikian, ambisi Tiongkok untuk menjadi militer terkuat dunia tampaknya akan memiliki pengaruh terhadap dinamika latihan militer sejenis yang diagendakan Indonesia, terutama dengan AS, di masa depan. (J61)