Problematika pelik yang dialami Garuda Indonesia masih mengendap dan belum terselesaikan. Kementerian BUMN yang dipimpin Erick Thohir telah mengusulkan empat opsi penyelamatan maskapai kebanggaan nasional itu. Namun, sudah tepatkah deretan opsi tersebut?
Permasalahan yang sedang dihadapi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Garuda Indonesia (GI) saat ini tengah membutuhkan perhatian dan intervensi segera.
Bagaimana tidak, selain gagasan pensiun dini bagi pegawainya, utang yang menjadi beban GI per Mei tahun ini telah menyentuh Rp 70 triliun. Secara matematis, potensi utang tersebut terus bertambah lebih dari Rp 1 triliun setiap bulannya.
Atas kedaruratan itu, Menteri BUMN, Erick Thohir tak tinggal diam. Empat opsi ditawarkan kementerian pimpinannya untuk menyelamatkan GI dari badai krisis yang diperparah dampak turunan pandemi Covid-19.
Pinjaman atau suntikan modal segar, restrukturisasi, mendirikan maskapai nasional baru, hingga likuidasi menjadi empat strategi pilihan yang diusulkan Erick bersama kementerian BUMN.
Secara tersurat, seluruh opsi tersebut berangkat dari histori krisis yang dihadapi berbagai maskapai nasional milik negara di berbagai negara di dunia. Riwayat problematika Singapore Airlines asal Singapura, Cathay Pacific asal Hong Kong, Swissair asal Swiss, hingga Malev Hungarian Airlines asal Hungaria, disebutkan menjadi basis rencana strategis penyelamatan Garuda dari “kepunahan”.
Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lantas sudah mengagendakan rapat khusus dengan Erick untuk membahas keempat opsi yang diusulkan tersebut pada pekan ini.
Namun, Serikat Bersama PT Garuda Indonesia yang terdiri dari Serikat Karyawan Garuda (SEKARGA), Asosiasi Pilot Garuda (APG) dan Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI) menyiratkan bahwa empat opsi itu kurang tepat dan pihaknya memiliki opsi lain yang sifatnya permanen dan dapat membenahi secara perlahan akar masalah yang ada.
Baca Juga: Menakar Puan sebagai Capres Perempuan
Serikat bersama GI datang dengan usulan prioritas pembenahan oleh pemerintah atas skema operasi GI yang selama ini tidak efisien. Opsi itu dinilai lebih baik dan dapat menghindari efek penawaran pensiun dini, yang pada definisi lain bermakna pemberhentian kontrak kerja secara harfiah.
Secara kausalitas, keempat opsi yang hadir dari Medan Merdeka Selatan dinilai memang memiliki konsekuensi negatifnya masing-masing. Lalu, selain argumen dari serikat bersama GI, mengapa kiranya keempat opsi yang ditawarkan Erick bukanlah ihwal yang tepat? Benarkah krisis yang terjadi pada GI sebetulnya telah menjadi warisan menyejarah dalam maskapai pelat merah ini?
Opsi Garuda Erick Rawan?
Pilihan pertama untuk menyuntikan modal kepada GI sendiri berangkat dari tolok ukur (benchmarking) dari jalan keluar maskapai Singapore Airlines, Cathay Pacific, dan Air China Airlines. Sementara restrukturisasi dengan hukum perlindungan kebangkrutan terinspirasi dari pengalaman Thai Airways International dan Malaysia Airlines.
Lalu opsi pendirian maskapai baru berangkat dari komparasi kasus Sabena Airlines asal Belgia dan Swissair. Dan alternatif terakhir yakni likuidasi, berkaca pada solusi yang pernah ditempuh Varig Airlines asal Brasil dan Malev Hungarian Airlines asal Hungaria.
Kendati demikian, selain bukan merupakan solusi permanen seperti yang dikemukakan serikat bersama Garuda Indonesia, opsi yang berlandaskan benchmarking atau pendekatan komparatif agaknya memang memiliki potensi risiko lebih.
Dalam publikasi berjudul Unrealistic Comparative Optimism: An Unsuccessful Search for Evidence of A Genuinely Motivational Bias, Adam J. L. Harris dkk menjelaskan efek samping dari penarikan kesimpulan serta penyelesaian masalah yang berlandaskan perbandingan. Basis logika metodologi komparatif sendiri adalah, bahwa semua risiko yang sedang dihadapi harus sama dengan risiko rata-rata sebelumnya.
Harris dkk menyebut pendekatan itu menjadi salah satu faktor plus akan bermuara pada sebuah konsep yang dikenal sebagai bias optimisme (optimism bias) atau comparative optimism.
Hal itu dikarenakan pada praktiknya, prediktor untuk memecahkan sebuah persoalan yang tampak serupa, bisa sangat berbeda dan sangat spesifik terhadap realita. Ihwal yang sangat bergantung pada akumulasi berbagai variabel penentu terkini yang dapat dipastikan berbeda dari masalah sampel perbandingan sebelumnya.
Pada opsi dari Kementerian BUMN, pun demikian. Tak serta merta satu opsi tunggal dari deretan opsi perbandingan dengan maskapai nasional lain yang ditawarkan, menjadi solusi paling jitu pada case menyelamatkan Garuda Indonesia saat ini.
Selain perbedaan situasi spesifik yang dihadapi, suguhan opsi yang ada terkesan membuat penyelesaian masalah GI tinggal “mengikuti buku petunjuk”. Hal yang bisa saja berujung pada potensi kelalaian atau kekeliruan pikir (bias optimisme), hingga tak membenahi akar persoalan sesungguhnya, persis seperti apa yang dikhawatirkan Serikat Bersama Garuda Indonesia.
Baca Juga: Manuver Anies Cari Gandengan
Selain itu, cukup banyak literatur yang menjabarkan dampak negatif dari pendekatan komparatif atau benchmarking, di antaranya tak dapat memetakan pangkal masalah sebenarnya, perbedaan metrik perbandingan situasi yang dihadapi, hingga sifat alamiah benchmarking yang hanya dapat melihat ke belakang, bukan ke depan.
Sebagai penelur empat opsi penyelamat Garuda, Erick Thohir dan Kementerian BUMN kemungkinan besar bukan tidak memahami hal tersebut. Namun, terdapat variabel lain di luar teknis ketika dihadapkan pada permasalahan maskapai nasional, yakni aspek politik.
Terbentur Akomodasi Politik Penguasa?
Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan Garuda Indonesia seakan merupakan residu dari kurang profesionalnya manajemen dan intervensi pemerintah, bahkan sejak pemerintahan di masa lalu.
Garuda Indonesia sendiri telah menjadi maskapai nasional sejak melayani mantan Presiden Soekarno untuk menghadiri upacara pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 28 Desember 1949 dari Yogyakarta ke Jakarta.
Sejak saat itu Garuda Indonesia menjadi kebanggaan bangsa jika berbicara maskapai resmi milik negara. Tetapi sayang dalam perjalanannya, manajemen GI tak seperti yang seharusnya sebuah maskapai profesional dikelola.
Jika dilacak, bobroknya pengelolaan GI terjadi sejak era Orde Baru (Orba). Kala itu, atau tepatnya setelah dekade 80-an, GI mengalami kemerosotan akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan campur tangan politik yang dominan.
Mark-up pesawat sampai kongkalikong anak perusahaan, terbalut dalam rangkaian besar kontrak tak wajar. Nama dari Cendana seperti Hutomo Mandala Putra hingga Ary Sigit pun dikabarkan bermain dalam pusaran tersebut. Akibatnya, mismanagement dan utang menjadi warisan tak mengenakkan bagi Garuda.
Era berganti menuju reformasi, namun perbaikan tak kunjung terjadi akibat sinyal praktik era Orba yang masih dilestarikan. Joanna Bailey menjelaskan faktor penyebab hal tersebut dalam What Are The Pros And Cons Of State-Owned Airlines?.
Dalam diskursus maskapai nasional, terdapat faktor kunci berupa “long term view”, yakni pertimbangan pemerintah akan kebijakan maskapai state owned enterprise (SOE) atau BUMN. Pemerintah dinilai cenderung berpikir atau mengalkulasikan pertimbangan dalam satu siklus pemilu atau proses politik, atau dengan kata lain memang praktis tak dapat melepaskan pertimbangan politik dalam pengelolaannya.
Hal ini berarti bahwa, meski maskapai nasional kerap menjadi simbol kebanggaan negara, di satu sisi riil pemerintah cenderung enggan untuk “berinvestasi” dalam perbaikan infrastruktur maskapai nasional yang akan membutuhkan waktu untuk melihat manfaatnya.
Bailey menyebutkan case alih kepemilikan atau fenomena privatisasi hingga renasionalisasi maskapai nasional yang bermuara pada kesimpulan bahwa, terlihat jelas maskapai nasional yang diizinkan untuk beroperasi sebagai entitas yang efisien dan profesional akan memiliki kinerja yang baik sebagai SOE. Sementara mereka yang terlalu terbebani oleh politik dikatakan tidak mungkin berhasil.
Baca Juga: PDIP Pilih Ganjar atau Anies?
Kasus Garuda Indonesia saat ini tampaknya menunjukkan bahwa bukan hanya akibat dampak turunan Pandemi Covid-19, namun indikasi juga warisan intervensi politik yang masih dipertahankan.
Hal ini berkaca pada preseden di masa lalu bahwa GI kerap menjadi variabel aktif dalam dinamika politik. Pada 2018 lalu misalnya, muncul polemik penolakan penandatanganan laporan buku tahunan Garuda Indonesia. Kala itu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menduga “rapor bagus” GI bisa saja memiliki korelasi jelang tahun politik.
Marco Umbas, seorang pengamat penerbangan juga menyebut, kondisi Garuda dari waktu ke waktu tidak terlepas dari peta perpolitikan Indonesia. Sejak era mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Jokowi saat ini, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam kebijakan ekonomi khususnya penunjukan Menteri BUMN dan Direksi Garuda.
Dalam 15 tahun terakhir contohnya, terdapat enam menteri BUMN. Belum termasuk catatan fenomenal bahwa dalam lima tahun terakhir Garuda sudah mengganti empat direksi yang menahkodai Garuda.
Padahal, kompetisi maskapai kontemporer membutuhkan kesinambungan dan pemahaman mendalam mengenai manajemen bisnis penerbangan. Irisan politik lagi-lagi ditengarai menjadi persoalan yang sesungguhnya dapat menjadi awal solusi permasalahan GI jika diimplementasikan secara profesional.
Pada akhirnya, Menteri BUMN Erick Thohir kiranya memegang bola panas saat ini, bahwasannya Ia wajib membuat gebrakan untuk menyelesaikan masalah GI hingga ke akarnya. Bukan sekadar solusi komparatif yang kurang sesuai, apalagi tetap mempertahankan variabel akomodasi politik di dalamnya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.