HomeNalar PolitikGARBI Menatap Pasar Politik Indonesia

GARBI Menatap Pasar Politik Indonesia

Ormas GARBI menyatakan diri siap bertransformasi menjadi partai politik. Dalam pernyatannya, mereka mengaku tak ingin terpaku pada spektrum ideologi politik tertentu.


Pinterpolitik.com

Seperti sudah diduga, Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) menyebutkan diri siap bertransformasi menjadi partai politik. Sejak awal kemunculannya, organisasi yang didirikan beberapa kader elite PKS ini memang diproyeksikan akan menjadi partai politik seiring gerak-gerik para pentolannya.

Pernyataan ini kemudian menggulirkan wacana bahwa GARBI akan menggusur suara PKS seperti pola yang terjadi pada banyak partai pecahan di negeri ini. Banyak yang menduga bahwa GARBI memiliki calon massa yang sama dengan partai yang dipimpin oleh Sohibul Iman tersebut.

Meski potensi semacam itu ada, ada pernyataan menarik yang muncul dari pentolan ormas tersebut. Menurut Fahri Hamzah, GARBI nantinya tidak akan memiliki kategorisasi ideologis tertentu karena ingin lepas dari stigma partai politik secara umum.

Menurutnya, basis konstituen GARBI nantinya adalah pasar politik dan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, basis konstituen GARBI tidak akan lagi terpaku pada aliran politik tradisional yang selama ini ada di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa GARBI seperti ingin melepaskan diri dari basis suara tradisional PKS dan mengincar basis yang lebih luas dan cair. Lalu, seperti apa potensi GARBI ini dalam merebut basis suara di pasar politik yang mereka gambarkan tersebut?

Menyasar Pasar

Dalam beberapa waktu terakhir, nama GARBI tiba-tiba mulai muncul ke permukaan. Setelah lama digembar-gemborkan akan jadi kekuatan baru politik Indonesia, akhirnya muncul pernyataan dari para penggerak ormas ini bahwa mereka siap menjadi partai.

Sebenarnya pernyataan seperti ini tergolong tak mengejutkan. Banyak yang sudah memprediksi bahwa gerakan ini cepat atau lambat akan menjadi partai. Di atas kertas, sulit memang untuk melihat figur-figur seperti Anis Matta, Fahri Hamzah, atau Mahfudz Siddiq hidup tanpa berkarier di dunia politik.

Belakangan ini nama Anis Matta sebagai tokoh utama juga mulai turun gelanggang dan menjadi sorotan beberapa media. Mantan Presiden PKS tersebut misalnya tampil bersama dengan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno dan membahas soal sikap beroposisi.

Penampilan bersama Anis dengan Sandi itu boleh jadi langkah lanjutan GARBI dalam mengetuk pintu politik Indonesia. Sebelum acara bersama Sandi tersebut terwujud, GARBI sebenarnya sudah terlebih dahulu melakukan berbagai rangkaian roadshow ke berbagai wilayah di Indonesia.

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Melalui pemberitaan mereka selama beberapa waktu terakhir ini, boleh jadi GARBI tengah berupaya untuk mulai mencoba peruntungan mereka dalam politik Indonesia. Apalagi, mereka sendiri tampak punya cara sendiri untuk memeriksa gelombang politik yang ada di negeri ini.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, GARBI akan membuka basis konstituen dengan mengejar pasar politik di negeri ini. Istilah ini tergolong menarik terlebih jika melihat bahwa secara umum Indonesia kerap diidentikkan dengan perang kekuatan politik tradisional. 

Secara khusus, GARBI sendiri juga sejak awal kerap dicap sudah memiliki basis konstituen tersendiri. Bagaimanapun, GARBI akan tetap dikaitkan dengan histori mereka dengan PKS, sehingga diasumsikan mereka akan berada di kolam yang sama tatkala resmi menjadi partai.

Meski demikian, selama beberapa waktu terakhir, GARBI memang tampak mencoba lebih dari sekadar memanfaatkan kolam yang sama dengan PKS. Secara tampilan, mereka misalnya mencoba keluar dari pakem PKS dengan misalnya menggandeng duta-duta yang secara busana tak sama persis dengan kader PKS pada umumnya. 

Selain itu, dari segi jejaring, mereka juga menggandeng tokoh-tokoh politik yang sebenarnya terafiliasi dengan partai-partai politik lain untuk mengisi posisi pembina ormas ini di daerah-daerah.

Siap Tanpa Partisan?

Istilah pasar politik atau political market sendiri tergolong tak lazim jadi bahasan utama dalam berbagai pembicaraan politik. Salah satu tulisan yang membahas tentang hal ini misalnya adalah The Political Market yang ditulis oleh Jay R. Mandel dari Colgate University. 

Di dalam tulisan tersebut, Mandel menggambarkan bahwa pasar politik memiliki kemiripan dengan bagaimana proses seorang pembeli membeli sebuah komoditas. Di luar itu, ia menambahkan bahwa sebenarnya ada proses transfer finansial.

Sebenarnya dengan memproklamirkan diri keluar dari pakem politik tradisional Indonesia dan mau berkompetisi di pasar politik, GARBI boleh jadi tengah menahbiskan diri sebagai partai yang tak punya basis konstituen yang sifatnya tetap.

Hal tersebut bisa saja menggambarkan bahwa GARBI siap menjadi party without partisans seperti yang digambarkan oleh Russell J. Dalton. 

Tren ini sendiri sebenarnya memang sudah terjadi secara umum termasuk di Indonesia. Selama beberapa waktu terakhir, identifikasi kepada partai politik kerap dianggap sudah mati seiring dengan kaburnya batas ideologi antar partai politik. 

Jika secara tradisional Indonesia mengenal dua aliran besar yaitu kelompok nasionalis dan Islam, garis batas antara keduanya belakangan semakin kabur. Secara khusus, kebangkitan politik identitas selama beberapa waktu terakhir membuat narasi berbau agama menjadi hal yang lazim dilakukan oleh dua aliran tersebut di negeri ini.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Beban Pendatang Baru

Di satu sisi, pernyataan GARBI soal pasar politik ini bisa menjadi jurus khusus bagi mereka dalam meraup massa sebanyak-banyaknya. Mereka perlu menyesuaikan diri dengan permintaan pasar untuk dapat eksis di kancah politik negeri ini.

Sebagaimana disebut di atas, saat ini memang batas ideologis antar partai memang sudah semakin kabur dan semuanya dapat bertransformasi sesuai dengan permintaan pasar. Saat pasar tengah menggilai politik identitas misalnya, nyaris semua partai akan memberikan komoditas yang diinginkan oleh para pemilih sebagai pasar.

Memang, Fahri dalam pernyataannya mengungkap bahwa dalam pasar politik nanti, basis konstituen yang dimaksud dapat terjadi jika ada masyarakat yang tertarik dengan platform nanti. Meski demikian, layaknya pasar di dunia komersil, bukan tidak mungkin GARBI akan melakukan penyesuaian agar pasar tersebut dapat direbut. Hal ini bisa saja efektif jika melihat identifikasi kepada partai yang kian terkikis.

Meski demikian, pasar politik Indonesia sendiri sudah terlanjur sesak dengan partai-partai lama. Apalagi, jika melihat nasib partai-partai baru yang pada 2019 lalu, banyak yang berguguran karena tak lolos ke parlemen. Boleh jadi, perlu ada hal  yang benar-benar baru agar GARBI tak bernasib seperti partai-partai tersebut.

Selain itu, terlepas mereka telah memproklamirkan diri sebagai partai yang keluar dari pakem ideologis tradisional, mau tidak mau mereka akan memulai diri dengan identitas sebagai sempalan PKS, sehingga berpotensi berebut ceruk pasar yang sama.

GARBI mungkin berani karena ingin menyasar politik Indonesia, tetapi jika nanti tampil sebagai partai baru, mereka berpotensi menghadapi ganjalan Share on X

Jika benar-benar ingin menjadi party without partisans yang sukses merajai pasar politik, maka GARBI nantinya butuh figur khusus. Sosok Anis Matta atau Fahri Hamzah kemudian dapat menjadi kunci jika mereka ingin sukses merebut pasar politik yang mereka sebutkan.

Dalam penelitian yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi, Diego Fossati dan Eve Warburton di laman New Mandala, tergambar bahwa loyalitas masyarakat di Indonesia cenderung bergantung kepada tokoh. Saat ini, memang sosok seperti Anis memiliki loyalis cukup kuat di lingkaran eks PKS. Meski demikian, untuk dapat membuat GARBI benar-benar besar, mereka harus punya sosok yang luar biasa populer agar pasar dapat direbut jika memang tak mengandalkan basis ideologi khusus

Hal yang juga tak kalah penting dalam pasar politik adalah soal dana, seperti yang diungkapkan oleh Mandel. Jika GARBI tak didukung oleh kemampuan finansial mumpuni, maka kesulitan akan terjadi saat berkompetisi di pasar politik nanti.

Pada akhirnya, munculnya GARBI tetap akan dinantikan banyak pihak terutama mereka yang menanti kiprah lanjutan dari Anis dan Fahri. Kita lihat saja akan seperti apa langkah mereka jika benar-benar resmi menjadi partai politik. (H33)

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...