Garbi berpotensi mengancam eksistensi PKS menuju Pilpres 2019
PinterPolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]iak-riak keretakan internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjelang pilpres 2019 semakin kuat terasa. Pasca dikabarkan sempat mengalami turbulensi politik dengan koalisi adil makmur menyoal kursi DKI 2, kini turbulensi justru datang dari internal partai.
Beberapa waktu belakangan, PKS diterpa badai dari internalnya setelah para kadernya di daerah melakukan pengunduran diri secara massal. Pengunduran diri ini disinyalir karena polemik penandatanganan pakta integritas yang mengatur soal loyalitas kader.
Pasca isu pengunduran diri kader PKS di beberapa daerah tersebut, isu keretakan menguat setelah mantan presiden Anis Matta membentuk Gerakan Arah Baru Indonesia (Garbi).
Gerakan ini diklaim membahayakan keutuhan partai pimpinan Sohibul Iman ini karena pasca insiden pengunduran diri, disinyalir banyak kader PKS bergabung dengan organisasi ini. Sehingga, asumsi bahwa adanya polarisasi kekuatan antar elite PKS semakin kencang berhembus.
Lalu apakah Garbi akan benar-benar menjadi ancaman bagi keutuhan PKS menjelang Pilpres 2019? Mungkinkah Garbi dibawah Anis Matta akan memilih jalan rasionalisme politik dengan melabuhkan dukungan politik?
Dilema PKS
Jika melihat konflik yang terjadi dalam internal PKS, tentu saja ini akan berbahaya bagi eksistensi partai ini. Melihat konflik elite yang selama ini menghantui partai ini, bisa jadi perpecahan PKS semakin di depan mata.
Jika merujuk pada gejala perpecahan dan munculnya friksi dalam tubuh PKS, bisa jadi telah terjadi polarisasi hegemoni sosok pimpinan dalam tubuh PKS. Polarisasi ini akhirnya berpotensi memunculkan perbedaan patronase antara kubu Sohibul Iman versus kubu Anis Matta.
Mungkin saja sosok Anis Matta memang lebih luwes dan kolektif dalam membangun hegemoni internal sewaktu ia masih menjabat sebagai presiden PKS Share on XAsumsi tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan karakteristik PKS selama ini. Menurut assistant professor di Northern Illinois University, Koike Hamayotsu, PKS adalah partai yang memiliki relasi klientelisme yang baik antara anggota yang memungkinkan mereka secara internal solid.
Hal ini terjadi karena PKS memiliki kemampuan untuk mengonstruksi identitas kolektif melalui dakwah, sehingga mobilisasi anggota dapat dilakukan PKS dengan mudah, terlebih menyoal menjaga kesolidan partai.
Namun, pola tersebut sepertinya tidak berlaku di tataran elite PKS. Dalam konteks perpecahan internal PKS, hal tersebut sejalan dengan pendapat Moshe Maor dalam jurnalnya yang berjudul Intra-Party Determinants of Coalition Bargaining dimana konflik antar partai dibedakan menjadi dua bentuk yakni konflik intra-elite dan konflik elite-pengikut.
Konflik intra-elite biasanya diiringi oleh konflik pengikut elite dimulai semenjak anggota elit yang saling bertentangan memiliki pengikut masing-masing dalam organisasi partai.
Maor juga mengatakan perbedaan pendapat elite menyimpan bahaya laten. Perpecahan partai akan semakin terlihat ketika dimanifestasikan oleh sekelompok pembangkang dalam berbagai bentuk. Namun, hal tersebut sebenarnya dapat ditekan jika semakin inklusif metode pemilihan kepemimpinan partai, semakin sedikit kemungkinan perpecahan.
Dalam konteks Sohibul versus Anis, bisa jadi Garbi adalah manifestasi puncak konflik internal yang selama ini telah lama berlangsung dalam tubuh PKS. Seperti yang telah banyak diberitakan, bahwa perpecahan ini muncul sejak Agustus 2015 ketika PKS mengganti Hilmi Aminuddin sebagai Ketua Majelis Syuro.
Pasca keputusan Anis tersebut, menurut salah satu kader PKS Mahfudz Siddiq menyebut ada upaya menyingkirkan Anis dan para loyalisnya menjelang Pilpres 2019, dengan munculnya surat edaran bertandatangan Presiden PKS Sohibul Iman dilampiri dua formulir yang meminta loyalitas legislator pada partai.
Selain itu, beredar pula dokumen berjudul “Mewaspadai Gerakan Mengkudeta PKS” tanpa jelas siapa pembuatnya yang dibuat pada 25 Maret 2018 dan sudah menyebar ke para elite PKS. Dokumen ini berisi paparan modus kerja gerakan mengkudeta PKS oleh Anis Matta dan bagaimana menanggulangi gerakan tersebut.
Singkat cerita dari @anismatta maka realitas baru inilah yang membuat kita memerlukan semacam gerakan untuk mengalami #GelombangKe3 dan rasanya, inilah yang menyeruak dan tampil sebagai gerakan dari bawah yang salah satunya diwakili oleh Gerakan Arah Baru Indonesia #GARBI .
— #2019WAJAHBARU (@Fahrihamzah) November 1, 2018
Dan kini, melihat elektabilitas PKS menjelang Pilpres 2019, bisa dibilang saat ini posisi PKS memang benar-benar diujung tanduk. Terutama menyoal maksimalisasi suara menjelang 2019.
Kondisi tersebut seperti memperumit kondisi PKS saat ini. Hal ini ditandai oleh hasil survei Populi Center yang menyebut bahwa elektabilitas PKS cenderung turun. Bahkan, PKS masuk dalam partai yang elektabilitasnya berada di bawah 4 persen. Pada survei bulan Oktober, PKS memiliki elektabilitas 3 persen.
Padahal pada survei sebelumnya, elektabilitas PKS berada di angka 3,8 persen pada bulan Juli dan 3,6 persen pada Agustus 2018.
Jika persoalan ini tak segera diselesaikan, bukan tidak mungkin kedigdayaan partai yang terbentuk pada 98 ini semakin meredup, seiring dengan bersinarnya Anis bersama Garbi.
The Power of Anis Matta dan Garbi
Anis Matta memang menjadi sosok yang bisa dikatakan memiliki power yang cukup besar dalam tubuh PKS. Pasca tak menjabat menjadi presiden partai berlambang bulan sabit dan padi ini, langkah politiknya dianggap kerap berseberangan dengan PKS sendiri.
Dalam konteks kepemimpinan, mungkin saja sosok Anis Matta memang lebih luwes dan kolektif dalam membangun hegemoni internal sewaktu ia masih menjabat sebagai presiden PKS. Sehingga, ia mampu membangun power yang memungkinkan memunculkan kelompok loyalis.
Apakah ketika saya memutuskan bergabung dengan #GARBI, saya juga akan mengajak binaan saya di PKS?
Tidak..!!!
Setelah saya mengenalkan Indonesia Era Baru, banyak anak2 bangsa di luar PKS yang menerima ide saya yg ternyata sama dengan Arah Baru Indonesia.
— ROSE | Wis Wayahe?? (@RohmatSetyadi) November 4, 2018
Hal ini berkaitan dengan kemampuan leadership elite partai. Dalam konteks pengunduran diri beberapa kader yang memutuskan bergabung dengan Garbi, bisa jadi sosok kepemimpinan Anis Matta memang lebih kuat dibandingkan dengan sosok Sohibul Iman.
Berbeda dengan cara Sohibul Iman yang lebih terkesan “memaksa” dalam membangun loyalitas para kadernya. Hal ini digambarkan misalnya melalui pakta integritas yang menempatkan loyalitas hitam di atas putih.
Dalam kasus pakta integritas tersebut, banyak yang menyebutkan bahwa banyak loyalis Anis Matta yang menolak menandatanganinya, dan memilih mengundurkan diri dari pencalegan.
Jika merujuk pada Mahfudz Siddiq, hal ini seperti menggambarkan bahwa Anis Matta memiliki basis sosial yang kuat karena ia telah menjabat dua periode sebagai presiden PKS.
Fakta tersebut sejalan dengan pendapat Profesor Archie Brown dari Universitas Oxford dalam tulisanya berjudul The Myth of the Strong Leader menyebut bahwa salah satu poin penting yang harus dimiliki pemimpin partai adalah kepemimpinan kolektif yang kuat daripada adanya “pemimpin yang kuat”. Memimpin sebuah partai adala proses yang melibatkan persuasi dan tidak sama dengan memegang kekuasaan.
Di samping itu, kehadiran Garbi sendiri tak lepas dari peran sosok Anis Matta. Bahkan, Mahfudz Siddiq, sesama politikus PKS, mengakui bahwa munculnya Garbi berkaitan dengan ide arah baru Indonesia yang digagas oleh Anis Matta. Terlebih, Garbi juga terlihat semakin melebarkan sayap di berbagai daerah.
Seperti di lansir CNN dan Tempo, Gerakan ini mendeklarasikan diri di sejumlah provinsi seperti di Sumatera Utara hingga Sulawesi Tengah. Deklarasi relawan Garbi juga digelar di Lampung dan Riau akhir September.
Di dua daerah ini, relawan Garbi menyasar kalangan milenial dan mengajak mereka untuk terlibat dalam pembangunan Indonesia. Sedangkan baru-baru ini, mantan kader PKS di Bali juga mendeklarasikan Garbi setelah memutuskan keluar dari partai. Tentu jumlah tersebut tidak sedikit.
Lalu mungkinkah Garbi akan bertransformasi menjadi partai politik di masa depan?
Jika memang pengaruh Anis cukup besar dalam internal PKS, dan Garbi berhasil mengukuhkan diri sebagai salah satu ormas berpengaruh, mungkin saja suatu saat Garbi akan bertransformasi menjadi satu kekuatan partai politik baru.
Dalam konteks elektoral, yang juga menarik adalah, banyak rumor yang menuduh bahwa Garbi akan melabuhkan dukungan kepada kandidat petahana Joko Widodo (Jokowi). Sikap ini jelas berbeda dengan sikap DPP PKS yang memilih mendukung penantangnya Prabowo Subianto.
Memang, dalam beberapa kesempatan, tokoh seperti Mahfudz menyebut bahwa rumor tersebut hoaks belaka. Ia menyebut bahwa kabar tersebut sengaja dihembuskan kubu PKS di bawah Sohibul untuk mendikreditkan Anis.
Terlepas dari apapun, jika merujuk pada rivalitas antara kubu Sohibul dan Anis, langkah drastis Garbi mendukung Jokowi bukanlah hal yang benar-benar mustahil. Bisa saja untuk menandingi langkah Sohibul, Garbi dan Anis memilih untuk mendukung Jokowi.
Apalagi, menurut Hamayotsu, loyalitas kader, terutama PKS, dapat dipengaruhi oleh perkara ekonomi politik. Oleh karena itu, jika kubu Jokowi bisa menemukan celah ekonomi politik itu di sisi Garbi, bukan tidak mungkin kelompok ini mau merapat ke kubunya.Tentu, semua itu masih sebatas spekulasi.
Akan tetapi, kemunculan Garbi tidak bisa sepenuhnya dianggap remeh. Hal ini terutama bagi PKS di bawah kendali Sohibul. Bukan tidak mungkin, organisasi itu bisa meruntuhkan soliditas PKS yang selama ini menjadi kekuatan utama mereka. (M39)