Perang Vietnam yang terjadi antara tahun 1955 sampai 1975 menjadi salah satu momentum sejarah terpenting di dunia. Namun, tahukah kalian bahwa Indonesia sebetulnya memiliki peran tidak langsung atas meletusnya konflik tersebut?
Untuk kalian generasi 90-an mungkin kenal dengan tokoh fiksi bernama John. J. Rambo. Yap, karakter utama dari serial film Amerika Serikat (AS), Rambo, itu, memang seakan memiliki tempat spesial dalam memori kita, mungkin itu karena karakter Rambo selalu digambarkan sebagai sosok veteran perang yang sangat heroik dan juga tidak kenal takut.
Sebagai latar belakangnya, dikisahkan bahwa alasan mengapa Rambo bisa memiliki kemampuan bertarung yang luar biasa adalah karena pengalamannya sebagai prajurit dalam Perang Vietnam, yang terjadi pada tahun 1955 sampai 1975. Perang yang berujung pada kekalahan Negeri Paman Sam tersebut mengakibatkan Rambo memiliki trauma perang yang luar biasa.
Ngomong-ngomong soal Perang Vietnam, tidak mengherankan sebetulnya bila cerita dalam perang tersebut dijadikan latar belakang dari film besar seperti Rambo. Ini mungkin karena Perang Vietnam adalah satu-satunya perang modern di mana AS terlibat langsung, tetapi tidak keluar sebagai pemenang. Sebagai sebuah negara adidaya, Perang Vietnam memang telah menjadi borok luka dalam sejarah, yang tentu tidak akan mereka lupakan.
Namun, tidak banyak yang tahu bahwa meletusnya konflik yang menjadi perang proksi antara AS dan Uni Soviet ternyata cukup melibatkan peran dari Indonesia. Lantas, peran seperti apakah yang dimaksud?
Mengenal Operasi Habrink
Peran Indonesia dalam meletusnya Perang Vietnam adalah akibat dari salah satu operasi yang dilakukan badan intelijen Amerika, yakni CIA, kepada rezim Presiden Soekarno pada tahun 1960-an. Operasi itu sendiri bernama Operasi Habrink.
Kisah menarik Operasi Habrink ini awalnya diungkap oleh seorang mantan agen CIA yang pernah ditempatkan di Kota Surabaya, bernama Daniel Cameron, melalui bukunya yang berjudul In Red Weather. Di dalamnya, Cameron bercerita tentang event-event klandestin yang terjadi di Indonesia menuju momentum bersejarah, Gerakan 30 September atau G30S.
Nah, yang jadi fokus utama Cameron adalah Operasi Habrink. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Operasi Habrink? Well, sederhananya, Habrink adalah operasi CIA yang bertujuan mendapatkan data mengenai senjata dan alutsista canggih milik Uni Soviet di Indonesia.
Cameron pun mengatakan, salah satu pencapaian terbesar Operasi Habrink adalah pihaknya, dengan bantuan seorang mata-mata Belanda bernama Wim Vermeulen, berhasil menguak rahasia skematik misil pertahanan udara Soviet bernama misil SA-2, dari arsip militer Indonesia. Misil tersebut kebetulan juga jadi sistem pertahanan udara utama di Vietnam Utara.
Sebagai latar belakang, misil tipe ini sebelumnya menjadi momok menyeramkan bagi Paman Sam karena terbukti berulang kali berhasil menembak jatuh pesawat-pesawat buatan AS, yang salah satunya adalah jet pengintai canggih U-2. Namun, setelah CIA berhasil mendapatkan skematik misil SA-2, AS akhirnya merasa yakin untuk terlibat langsung di Vietnam secara total, dengan pesawa-pesawat tempur dan pembomnya.
Menariknya, misil SA-2 bukan satu-satunya rahasia militer Soviet yang didapatkan CIA dari Indonesia. Kapal selam Whiskey, Kapal Perang Sverdlov, dan bomber TU-16, juga diketahui bocor dari arsip militer Indonesia ke tangan Amerika dalam operasi yang sama.
Tentu pertanyaannya selanjutnya adalah, bagaimana caranya CIA dan Wim berhasil dapatkan data-data itu dari militer Indonesia?
Kala Operasi Intelijen Dibantu Situasi Politik
Sebuah operasi intelijen yang besar tentunya memerlukan penyesuaian situasi dan kondisi yang dapat membantunya, hal tersebut bisa berangkat dari kesempatan untuk menunggangi situasi politik yang tidak stabil, perekonomian negara yang terguncang, dan ketegangan sosial di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan itu, Cameron menyebutkan bahwa alasan utama berhasilnya Operasi Habrink ternyata adalah keadaan politik Indonesia pada tahun 1960-an.
Sebelumnya, AS sebenarnya berusaha mendapatkan skematik serupa di pangkalan-pangkalan militer Soviet, tapi selalu gagal karena keamanannya yang tinggi. Oleh karena itu, CIA kemudian mencari solusi dengan menguak rahasia militer Soviet di negara-negara berkembang yang jadi mitra terpercaya Soviet.
Kebetulan, Indonesia pada saat itu adalah salah satu mitra terdekat Soviet, dan kebetulan juga, Indonesia sedang mengalami gejolak politik yang begitu tinggi akibat pergerakan PKI. Hmm.
Kalau kata Cameron, beberapa petinggi militer Indonesia sebenarnya menyadari bahwa pengamanan rahasia alutsista kita pada saat itu rentan bocor. Namun, karena militer saat itu juga sedang fokus pada hubungan antara Soekarno dan PKI, mereka akhirnya “kecolongan” oleh operasi CIA.
Di satu sisi, Cameron memang tidak mengakui adanya campur tangan CIA atas peristiwa G30S, tapi dia juga bilang kalau “sentimen pada kelompok komunis di Indonesia sesuai dengan tujuan-tujuan kita pada saat itu”. Ini menandakan adanya kebetulan yang luar biasa dalam rantai peristiwa antara Perang Vietnam dan G30S.
Alhasil, dengan berhasilnya operasi yang mereka laksanakan, AS mendapatkan kepercayaan diri untuk terjun total dalam Perang Vietnam pada 1 April 1965. Bisa dibayangkan, mungkin kalau saat itu tensi menuju G30S tidak ada, bisa saja keterlibatan AS dalam Perang Vietnam mungkin akan tertunda.
Pada akhirnya, cerita ini membuat kita sadar bahwa prinsip teori realisme dari studi Hubungan Internasional memang masih sangat berperan dalam dunia intelijen modern, bahkan setelah Perang Dunia II berakhir. Operasi Habrink mengajarkan pada kita bahwa setiap kesempatan akan digunakan oleh sebuah negara untuk mendapatkan keunggulan semaksimal mungkin.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah saat ini masih ada agenda-agenda seperti Operasi Habrink yang terjadi di negara kita? Well, sepertinya tidak akan ada yang tahu. (D74)