Ditasbihkannya Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sebagai institusi dengan belanja terbanyak, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto tampaknya cukup berani memenuhi kebutuhan pertahanan. Sayangnya, keberanian Prabowo itu agaknya cukup sulit untuk dilampaui, atau bahkan sekadar disamakan, oleh Menhan penerusnya kelak. Mengapa demikian?
Sekilas, kinerja Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto agaknya sulit dilampaui atau bahkan disamakan oleh penerusnya kelak. Terutama ketika berkaca pada agresivitas Kemenhan sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Yap, saat melakukan rapat kerja (raker) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada Senin pekan ini (10/7), Menkeu menyatakan Kemenhan menjadi institusi yang paling banyak belanja barang hingga pertengahan tahun ini.
Dari total belanja barang semester I-2023 sebesar Rp147,4 triliun, Menhan Prabowo mengucurkan dana yang cukup dominan untuk pemeliharaan barang milik negara (BMN) di tiga matra TNI, alutsista, dan pelayanan kesehatan, yakni sebesar Rp21,5 triliun.
Menariknya, Menkeu Sri Mulyani menyiratkan bahwa Menhan Prabowo yang gencar memesan dan membeli alutsista – yang mana otomatis membutuhkan proyeksi pemeliharaan – merupakan integral tingginya angka belanja barang Kemenhan.
Dilema kebutuhan belanja dan ketersediaan anggaran kiranya memang cukup sulit untuk dikompromi.
Hal itu lah yang kiranya mendasari penjelasan Menkeu Sri Mulyani bahwa belanja pertahanan memang penting dilakukan di tengah situasi keamanan global. Urgensinya pun dikatakan selaras dengan belanja barang untuk pembangunan infrastruktur, Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, belanja sosial, pendidikan, kesehatan serta, pemilu.
Belanja alutsista teranyar Prabowo sendiri adalah jet tempur bekas pakai milik AU Qatar, yakni Mirage 2000-5, yang bernilai US$792 juta atau hampir Rp12 triliun.
Kendati demikian, kubu kontra menyayangkan pembelian yang bernilai cukup fantastis itu karena kurang relevan dengan level kedaruratan pertahanan saat ini. Pun, dengan alasan transisi ke jet tempur baru seperti Rafale hingga F-15 EX.
Sementara itu, justifikasi Prabowo dan Kemenhan menyebut jet tempur buatan Prancis itu demi urgensi mengisi kekosongan alutsista TNI yang dibutuhkan untuk tetap siaga terhadap berbagai potensi ancaman.
Di titik ini, sampel pro-kontra pembelian jet tempur bekas asal Qatar menjadi satu dari sekian sampel nyali Prabowo sebagai Menhan mengambil keputusan strategis.
Praktis, itu menjadi sesuatu yang dapat dikatakan cukup tak sering terlihat dari pengapu kebijakan pertahanan negeri +62 sebelumnya.
Oleh karenanya, jelang pencapresan Prabowo di 2024, estafet kepemimpinannya di Medan Merdeka Barat menjadi diskursus yang kiranya cukup menarik untuk dianalisis lebih lanjut.
Terlepas dari hak prerogatif Presiden ke-8 RI kelak – yang bisa jadi adalah Prabowo sendiri – serta dinamika politik pertahanan yang berkembang nantinya, sejumlah nama calon Menhan potensial kiranya tak akan mudah menyamai apa yang dilakukan Prabowo selama ini. Mengapa demikian?
Prabowo Paket Komplit?
Dalam sejarah Kemenhan RI, Prabowo tampak menjadi yang pertama sebagai the man on the right place.
Dirangkul Joko Widodo (Jokowi) pasca kalah di Pilpres 2019 yang diwarnai turbulensi politik cukup hebat, Prabowo justru menemukan babak baru positif bagi citra, reputasi, karier politiknya.
Memang, indikator kinerja seorang Menhan maupun Kemenhan tak hanya diukur dari pembelanjaan alutsista, tetapi juga terkait strategi pertahanan secara luas.
Akan tetapi, terdapat satu permasalahan klasik di bidang pertahanan yang agaknya berhasil diatasi oleh Prabowo. Dalam artikel PinterPolitik berjudul Politik Alutsista Musuh Terbesar Prabowo? telah dijelaskan bahwa pengelolaan dan proses pengelolaan sektor pertahanan sangatlah rumit.
Dikatakan, seorang Menhan juga akan selalu dibayangi tarik menarik vested interest atau aktor eksternal (pihak ketiga) dengan kepentingan tertentu dalam mengintervensi perumusan kebijakan pertahanan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam konteks ini, meski seakan tak tersentuh, keberadaan para “pemain” dalam bisnis alutsista seolah bukan lagi rahasia.
Selain persoalan dana dan birokrasi internal, kabar bahwa riset dan pengembangan alutsista buatan lokal kerap kali tersandung aktor invisible itu. Mereka dikatakan melakukan pengondisikan tertentu agar Indonesia selalu tergantung pada alutsista impor.
Logikanya sendiri cukup sederhana, yakni jika industri pertahanan nasional terbentuk dan berkembang secara mapan, besar kemungkinan kepentingan dan keuntungan yang mereka rengkuh selama ini tak akan lagi didapatkan.
Dan Prabowo seolah telah mengaktualisasikan solusi atas persoalan tersebut sebagaimana dijelaskan Khairul Fahmi dalam tulisannya yang berjudul Kajian Pengadaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dan Alat Material Khusus (Almatsus) di Lingkungan Kementerian Pertahanan RI.
Alih-alih memberantasnya, keterlibatan para pihak ketiga, termasuk vested interest justru dikatakan harus dikelola.
Secara teknis, Fahmi menyebut agen perusahaan luar negeri diperlukan sebagai upaya membangun koordinasi antarstakeholder pengadaan alutsista dan almatsus.
Diharapkan, para agen yang ada tidak lagi menjadi pihak “luar” yang “liar” karena aktivitasnya tidak dapat diawasi dan dikendalikan.
Selain itu, solusi itu juga demi menjamin kemampuan dan kapabilitas pihak ketiga dalam memenuhi pengadaan, sekaligus mengidentifikasi aktor-aktor yang berlaku sebagai agen/broker pengadaan.
Menariknya, Prabowo tampak menjadi sosok yang tepat untuk mengelola semua itu. Setidaknya, terdapat tiga alasan saling terkait yang mendasarinya.
Pertama, sang Danjen Kopassus ke-15 disebut sebagai Menhan dengan kredensial militer paling solid sepanjang sejarah. Hal itu juga diungkapkan dalam analisis Jefferson Ng dalam publikasinya yang berjudul How Indonesia’s Defense Ministry Has Changed Under Prabowo Subianto.
Terkait tumpang tindih struktur komando dan kegamangan hierarki, Prabowo disebut telah memperbaiki kelemahan Kemenhan yang secara tradisional dianggap kurang kuat dibandingkan dengan Mabes TNI.
Alasan kedua kiranya menjadi premis alasan pertama, yakni Prabowo merupakan legenda hidup militer yang memiliki kombinasi latar belakang serta modal mumpuni baik secara pengalaman maupun signifikansi kekuatan politik hingga saat ini.
Ketiga, sebagai sosok yang melebarkan keahlian sebagai pebisnis ulung, Prabowo kiranya sangat memahami logika yang digunakan para aktor dalam bisnis alutsista.
Jika mengutip teori Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat (law as a tool of social engineering), Prabowo kemungkinan telah menciptakan sistematika kesepakatan formal dan nonformal dengan para pemain alutsista.
Meski dapat dipastikan tak sempurna, setidaknya Prabowo tampak membawa arah kebijakan pertahanan Indonesia ke titik ekuilibrium yang lebih baik dibanding sebelumnya.
Pada 21 April 2020, misalnya, ekonom Rizal Ramli sempat menyiratkan progresivitas tersebut. Menteri Keuangan ke-23 RI itu memberikan pujian dan apresiasi karena dirinya mendapat informasi bahwa Prabowo menolak meneken pengadaan alutsista yang telah di-mark up. Keberanian itu disebut-sebut menghemat anggaran sebesar Rp50 triliun.
Lalu, dengan segala kelebihannya itu, siapakah yang kiranya pantas menjadi suksesor Prabowo sebagai Menhan RI berikutnya?
Bisa Prabowo Lagi?
Tak dapat dipungkiri, Menhan berikutnya dapat dipastikan merupakan sosok hasil kompromi politik tertentu.
Akan tetapi, dari tiga sosok yang berpotensi menjadi Presiden ke-8 RI kelak, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo, sejumlah nama dapat diproyeksikan untuk meneruskan estafet Menhan melalui beberapa skenario.
Menariknya, nama-nama yang pantas menjadi Menhan kelak juga turut masuk dalam bursa calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Skenario pertama, jika Anies menang dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tak menjadi wakilnya, posisi Menhan kemungkinan akan diberikan kepada Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat itu. Tentu dengan catatan tambahan bahwa Partai Demokrat tak berpaling dari koalisi penyokong Anies.
Skenario kedua adalah jika Ganjar menang dan Andika Perkasa tak dirangkul menjadi cawapres, kursi Menhan kiranya akan melengkapi karier apik sang Panglima TNI ke-21.
Kalaupun bukan Andika, Prabowo yang kalah ketiga kalinya bisa saja dirangkul kembali sebagai Menhan oleh Ganjar dan PDIP. Itu tampaknya bisa terwujud dengan prasyarat tidak ada perubahan dinamika politik yang signifikan dan demi keberlanjutan kebijakan pertahanan.
Skenario ketiga adalah jika Prabowo menang di Pilpres 2024. Nama Andika kemungkinan bisa dipilih berkat kedekatan berlandaskan kesamaan latar belakang satuan baret merah serta variabel beririsan lain.
Namun, di luar nama AHY dan Andika, terdapat sosok-sosok berlatarbelakang militer lain yang juga memiliki kans, seperti Muhammad Herindra (Wamenhan petahana).
Sementara dari mereka yang berlatarbelakang sipil, nama Silmy Karim (Dirjen Imigrasi) hingga Andi Widjajanto (Gubernur Lemhanas) tampak cukup relevan, baik ketika berkaca pada pengalaman dan kemampuannya di bidang pertahanan maupun relasinya dengan semua kandidat capres.
Namun, dengan tak mengerdilkan peluang nama potensial lain, modal serta kemampuan AHY dan Andika agaknya memang menjadikan keduanya sebagai yang terdepan dalam bursa next Menhan.
Ketika dikomparasikan, kendati pangkat terakhir AHY di militer yang hanya Mayor seharusnya tak menjadi persoalan, Andika agaknya tetap lebih unggul jika mengacu pada pengalamannya.
Tak hanya merengkuh jenderal bintang empat dan jabatan Panglima TNI, Andika juga memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan AHY secara politik.
Tinggal persoalannya apakah Menhan kelak dapat mengatasi persepsi dan ekspektasi seorang Menhan selepas impresi kinerja apik Prabowo.
Dalam jurnal berjudul Hard acts to follow: Predecessor effects, Yusaku Horiuchi dan Matthew Laing menggunakan perceptual theory of leadership survival atau teori perseptual kelangsungan hidup kepemimpinan.
Menurut keduanya, ekspektasi sangat menentukan kepercayaan diri dan kinerja sosok baru yang menggantikan seseorang dengan torehan kerja yang begitu apik. Horiuchi dan Laing mengistilahkannya sebagai hard acts to follow.
Oleh karena itu, secara psikologis dan ekspektasi, tantangan berat kiranya akan membayangi Menhan kelak di 2024 untuk menyamai dan melampaui nyali Prabowo sejauh ini. Menarik untuk dinantikan. (J61)