Hubungan Presiden Jokowi dengan partai pengusung utamanya, PDIP, tampaknya tengah merenggang. Mungkinkah Partai Demokrat mengambil peran dengan mendukung Presiden Jokowi?
“Everybody you fight is not your enemy and everybody who helps you is not your friend.” – Mike Tyson, atlet tinju Amerika Serikat
Entah terkena kutukan periode kedua (second-term curse) atau tidak, berbagai cobaan silih berganti menghantam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua. Bahkan sebelum pelantikannya pada 20 Oktober 2019, mantan Wali Kota Solo ini harus menghadapi demonstrasi penolakan revisi Undang-undang (UU) KPK.
Yang mengejutkan saat itu, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang terkenal begitu mendukung sang Presiden, sampai melayangkan “ancaman” pemakzulan apabila RI-1 menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan revisi UU KPK.
Baru tiga bulan tahun 2020 berlangsung, pandemi menerjang. Per 5 Agustus, telah tercatat 3.568.331 kasus Covid-19 dengan 102.375 kematian. Ada pula demonstrasi penolakan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Sama seperti demonstrasi revisi UU KPK, demonstrasi Ciptaker juga tidak kalah besarnya.
Mudah ditebak, situasi sulit ini menjadi bahan kritik mumpuni bagi partai oposisi. Mulai dari revisi UU KPK, Omnibus Law, pandemi, hingga kondisi ekonomi yang memburuk menjadi sasaran kritik tanpa henti.
Baca Juga: Apa Sebenarnya Masalah Jokowi?
Namun menariknya, di tengah kritik bertubi-tubi yang menghinggapi administrasi Jokowi, sebuah pernyataan menarik datang dari politisi Partai Demokrat Rachland Nashidik pada 29 Juli. Sembari menyarankan Presiden Jokowi untuk merealokasikan anggaran infrastruktur untuk penanganan pandemi, Rachland menegaskan bahwa partai Mercedes akan berada di sebelah RI-1.
“Kader Demokrat berada di sebelah Presiden, bila mengambil pilihan sulit yang berpondasi etika politik kokoh tersebut. Kami tak bakal menyoal, apalagi mengejek mangkrak kelanjutan proyek infrastruktur,” begitu tegasnya.
Pernyataan ini mengundang spekulasi menarik. Katakanlah Presiden Jokowi melakukan realokasi anggaran infrastruktur, apakah Partai Demokrat akan menjadi pendukung administrasi mantan Wali Kota Solo tersebut?
Parpol Seperti Kerajaan
Pernyataan Rachland tersebut menarik karena ini seperti anti-tesis atas kebiasaan partai politik, khususnya oposisi di Indonesia. Suka atau tidak, kendati di bawah terang demokrasi, perilaku partai politik di Indonesia tidak ubahnya seperti perilaku kerajaan-kerajaan zaman dahulu.
Ketika partai berkuasa berganti, ada kebiasaan untuk “membersihkan” orang-orang yang dinilai berafiliasi dengan partai sebelumnya. Ini berimbas pula pada kebiasaan partai oposisi yang seolah memiliki template “kata tidak” terhadap setiap kebijakan pemerintah.
Kebiasaan tersebut persis seperti cara kerja kerajaan pada abad ke-16 yang ditulis oleh Niccolò Machiavelli dalam bukunya yang terkenal, Il Principe. Dengan dalih untuk menjaga konsolidasi kekuasaan, raja-raja baru memiliki kebiasaan untuk membersihkan orang-orang raja lama, atau setidaknya membuat mereka menjadi patuh.
Pun demikian dengan orang-orang yang tersingkir dari kekuasaan. Mereka memiliki ambisi untuk merebut kembali kekuasaan. Ini membuat penguasa baru memandang curiga terhadap mereka dan melakukan berbagai tindakan pencegahan. Dalam Il Principe, Machiavelli memaparkan berbagai strategi pencegahan ini.
Nah, persoalan tersebut yang membuat pernyataan Rachland menjadi menarik. Alih-alih menyerang dari semua sisi, ia justru memberikan celah dukungan, bahkan memberi “jaminan” pembelaan.
Sedikit berspekulasi, pernyataan tersebut mungkin terinspirasi dari gestur partai oposisi di belahan dunia lainnya. Tom Louwerse, Ulrich Sieberer, Tuttnauer, & Rudy B. Andeweg dalam tulisannya Opposition in times of crisis: COVID-19 in parliamentary debates menemukan fakta menarik dari partai oposisi di Jerman, Israel, Belanda, dan Inggris di tengah hantaman pandemi Covid-19.
Tentunya, sama seperti di Indonesia, partai oposisi di empat negara tersebut juga berlaku kritis terhadap pemerintahan yang berkuasa. Namun, sentimen oposisi ternyata menjadi relatif positif ketika terjadi situasi krisis akibat pandemi.
Setelah situasi krisis mereda, barulah sentimen partai oposisi berubah menjadi lebih negatif. Menariknya, perilaku ini umumnya dilakukan oleh partai-partai besar yang telah memiliki pengalaman di pemerintahan.
Dalam temuan mereka, ternyata banyak politisi oposisi menyebutkan perlunya kerja sama ketika negara dihadapkan pada krisis kesehatan masyarakat yang luar biasa. Temuan ini juga terjadi dalam krisis militer dan ekonomi.
Baca Juga: Jokowi-SBY, Epilog Politik Dendam
Jika ditarik pada pernyataan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 11 Desember 2019, pernyataan Rachland bahwa partai Mercedes akan berada di sebelah Presiden Jokowi boleh jadi benar adanya.
“Meskipun saat ini Partai Demokrat berada di luar pemerintahan pusat, komitmen kami tak berubah. Kami ingin pemerintah sukses dalam melaksanakan tugasnya,” begitu tegas SBY.
Seperti temuan Louwerse dan kawan-kawan, respons positif umumnya diberikan oleh partai besar yang telah berpengalaman di pemerintahan. Bukankah Partai Demokrat memenuhi kategori tersebut. Partai yang sekarang diketuai oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ini adalah partai besar yang berpengalaman di pemerintahan selama sepuluh tahun.
Konteks SBY juga tidak kalah menariknya. Mengacu pada tulisan Adhi Priamarizki yang berjudul Military Reform and Military Maverick, bersama Agus Wirahadikusumah dan Agus Widjojo, SBY adalah sosok militer yang berperan besar dalam reformasi militer dengan membawa nilai-nilai demokrasi.
Ini membuat ketiga sosok tersebut dikenal sebagai maverick militer. Nah, sebagai seorang maverick yang membawa nilai demokrasi ke tubuh tentara, boleh jadi SBY tidak menempatkan Partai Demokrat seperti kerajaan-kerajaan di abad ke-16. Sebagai Ketua Majelis Tinggi, arahan untuk bersikap fair dan demokratis mungkin telah diberikan oleh Presiden ke-6 ini.
Gantikan PDIP?
Dugaan itu selaras dengan hubungan Presiden Jokowi dengan SBY selama ini yang diketahui baik. Pada 25 Juli 2018, SBY bahkan pernah mengungkapkan bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut beberapa kali menawarkan kepada Partai Demokrat untuk bergabung dalam pemerintahan.
Di periode kedua ini, beberapa pihak menilai Partai Demokrat sebenarnya berkesempatan untuk masuk koalisi, namun terhalang oleh hubungan kurang baik antara SBY dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Nah, konteks PDIP sangat menarik saat belakangan ini. Mungkin publik sudah mulai membaca gestur yang ada. Sebagai partai utama pengusung Presiden Jokowi, berbagai elite partai banteng justru lantang mengkritik RI-1. Kita misalnya bisa melihat suara-suara kritis Ketua DPR Puan Maharani.
Salah satu yang paling keras baru-baru ini adalah Effendi Simbolon. Politisi senior PDIP ini menyalahkan Presiden Jokowi karena tidak mengambil kebijakan lockdown sejak awal pandemi. “Presiden tidak patuh konstitusi. Kalau dia patuh sejak awal lockdown,” begitu tegasnya pada 31 Juli.
Terkait kritik-kritik tersebut, Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs, Ahmad Khoirul Umam memiliki analisis yang menarik. Menurutnya, PDIP tengah mencoba mencari langkah aman dengan tidak membela secara membabi buta kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19.
Selaku partai yang ingin menjaga kekuasaannya di 2024, political branding semacam itu tentunya menjadi langkah yang bagus. Bagaimana pun, PDIP harus mencitrakan dirinya sebagai representasi suara rakyat.
Sekarang pertanyaannya, bagaimana jika sikap kritis PDIP terus mengalami eskalasi? Tidak seperti kondisi SBY yang merupakan ketua partai saat menjabat sebagai RI-1, bukankah Presiden Jokowi hanya anggota partai biasa? Megawati bahkan berulang kali menggunakan diksi “petugas partai”.
Sedikit berspekulasi, bagaimana jika nantinya PDIP justru menjadi oposisi pemerintahan Jokowi? Spekulasi yang lebih menarik adalah, jika hal tersebut benar-benar terjadi, mungkinkah Partai Demokrat akan mengambil kesempatan untuk menjadi pendukung pemerintahan Jokowi?
Baca Juga: PDIP akan Jadi Oposisi Jokowi?
Setidaknya ada dua keuntungan yang didapatkan Partai Demokrat jika itu dilakukan. Pertama, tentunya adalah kekuasaan. Besar kemungkinan Presiden Jokowi akan memberikan jatah kursi menteri. AHY tentu menjadi nama terdepan untuk mendapatkannya.
Kedua, ini adalah political branding yang bagus. Partai Demokrat dapat mencitrakan dirinya sebagai partai yang fair dan demokratis. Para pendukung Presiden Jokowi juga dapat beralih mendukung partai Mercedes di 2024 nantinya. Ini tentu bagus bagi AHY yang diproyeksikan sebagai the next president.
Seperti yang diketahui, pada 2014 lalu dikenal istilah “Jokowi Effect”. Popularitas mantan Wali Kota Solo tersebut bahkan disebut mendongkrak suara PDIP sebesar 30 persen saat itu. Pun begitu dengan Pemilu 2019, partai-partai pengusung utama Presiden Jokowi disebut mendapatkan keuntungan dari coat-tail effect atau efek ekor jas.
Partai Nasdem yang paling diuntungkan dari efek tersebut. Partai besutan Surya Paloh ini mengalami kenaikan suara sebesar 2,33 persen dibanding Pemilu 2014. Ini jauh di atas PDIP yang hanya 0,38 persen.
Well, pada akhirnya, tulisan ini hanyalah spekulasi semata. Kendati demikian, spekulasi ini harus dipahami sebagai probabilitas yang mungkin. Kita lihat saja, apakah Partai Demokrat akan berada di sebelah Presiden Jokowi seperti pernyataan Rachland Nashidik atau tidak. Menarik ditunggu kelanjutannya. (R53)