Ketua DPP PDIP Puan Maharani akhir-akhir ini berkeliling ke sejumlah wilayah Indonesia, utamanya di sejumlah kota dan kabupaten di Jawa Tengah (Jateng). Manuver apa yang sebenarnya sedang dijalankan oleh Puan?
“Reclamo esta tierra en nombre de España” – Spanish Explorer, Age of Empires III (2005)
Permainan bertemakan strategi memang tidak ada habisnya. Berbagai judul franchise pun bermunculan – mulai dari Age of Empires (AoE) hingga Civilization.
AoE sendiri merupakan salah satu jenis game ber-genre strategi yang paling populer di masanya. Salah satunya adalah seri Age of Empires III (2005) yang dibuat ulang dengan penampilan lebih baru dalam Age of Empires III: Definitive Edition (2017).
Gameplay dari permainan video ini sebenarnya sederhana. Tujuannya adalah untuk memenangkan persaingan dan pertempuran melawan peradaban-peradaban lain.
Guna mewujudkan kemenangan tersebut, pemain perlu menguasai berbagai sumber – seperti koin (coin), kayu (wood), dan pangan (food). Tentunya, agar bisa memiliki sumber-sumber tersebut, pemain juga harus memperluas wilayahnya – seperti dengan membangun pusat kota (town centers) lebih banyak.
Siapa sangka kepentingan untuk memperluas pengaruh teritorial seperti permainan AoE ini juga berlaku dalam politik di dunia nyata. Bahkan, wilayah geografis sangatlah dianggap penting dalam politik antar-negara.
Coba lihat saja perebutan wilayah yang terjadi di Laut China Selatan (LCS). Dengan adanya klaim historis berdasarkan sembilan garis putus-putus (nine-dash line), Republik Rakyat Tiongkok (RRT) akhirnya harus bersengketa dengan sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, hingga Indonesia – dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Namun, siapa sangka apabila prinsip geografis yang hampir sama juga berlaku dalam politik domestik? Ketua DPP PDIP Puan Maharani, misalnya, ditugasi oleh Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri untuk berkeliling ke berbagai wilayah di penjuru Indonesia.
Terbaru, Puan berkeliling ke sejumlah kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) setelah mengunjungi Cirebon, Jawa Barat (Jabar). Puan pun tampak berpidato di depan sejumlah anggota DPC PDIP di berbagai wilayah – seperti Brebes, Tegal, dan Banyumas.
Tentu saja, manuver ini memiliki tujuan politis di baliknya. Puan disebut juga ingin menjajaki kemungkinan kerja sama politik dengan berbagai pihak.
Namun, manuver Puan untuk berkeliling ke sejumlah wilayah Indonesia – khususnya Jateng – bisa dimaknai lain. Mengapa penting bagi Puan untuk melakukan kegiatan serupa? Mungkinkah ini menjadi gambaran politik internal dari PDIP itu sendiri?
Geopolitik ala Puan vs Ganjar?
Mungkin, politik berbasis wilayah geografis memang lebih umum terjadi digunakan dalam politik tingkat internasional. Namun, bukan tidak mungkin, geopolitik juga berlaku dalam politik domestik.
Berdasarkan definisi dari Utah State University, geopolitik adalah perebutan atas entitas-entitas geografis dan pemanfaatan atas entitas geografis tersebut guna memperoleh keuntungan politis. Definisi ini secara tidak langsung sejalan dengan gameplay AoE yang membutuhkan penguasaan teritorial di mana sumber-sumber yang ada bisa dimanfaatkan untuk pembangunan peradaban.
Mengacu pada penjelasan Sean Carter dan Tara Woodyer dalam tulisan Domesticating Geopolitics, geopolitik pun juga meliputi dimensi politik domestik. Bukan tidak mungkin, entitas geografis turut dimainkan dalam politik dalam negeri.
Dalam politik elektoral, misalnya, perolehan suara juga ditentukan oleh “penguasaan” secara geografis. PDIP, misalnya, mengandalkan wilayah Jateng sebagai basis suaranya dalam dinamika elektoral nasional.
Tentu, akhirnya menjadi masuk akal apabila Puan berkeliling ke sejumlah DPC PDIP di Jateng. Namun, bila sudah hampir pasti bahwa provinsi itu menjadi basis suara partai berlambang banteng bermoncong putih, mengapa Ketua DPR RI tersebut harus repot-repot berkeliling di wilayah tersebut?
Dalam politik antar-negara, hegemoni di kawasan menjadi penting bagi sebuah negara. Inilah mengapa, mengacu pada penjelasan John J. Mearsheimer dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics, negara akan berusaha menjadi hegemoni – entitas yang dominan – di halaman belakangnya sendiri.
Jateng bisa dibilang menjadi kawasan yang secara alami menjadi halaman belakang bagi PDIP. Namun, ketegangan geopolitik bisa terjadi di antara entitas-entitas dalam kawasan tersebut bila ada entitas lain yang berusaha menjadi penantang bagi hegemon yang sudah dominan terlebih dahulu.
Puan pun secara alami bisa dibilang menjadi hegemon lama di PDIP – mengingat dirinya adalah bagian dari elite politik yang disebut-sebut sebagai trah Soekarno. Meski begitu, hegemoninya di PDIP – termasuk di Jateng – kini bisa jadi terancam oleh entitas lainnya.
Lantas, siapa entitas politik penantang lainnya yang bisa mengancam hegemoni Puan di Jateng? Bukan tidak mungkin, “great power” lainnya tersebut adalah Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang juga merupakan kader PDIP.
Ganjar sendiri telah menjadi gubernur di provinsi tersebut selama dua periode. Kini, Ganjar telah memasuki periode keduanya dalam pemerintahan provinsi Jateng. Namanya pun kini digadang-gadang untuk menjadi calon presiden (capres).
Mungkin, layaknya persaingan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang memperebutkan kawasan Indo-Pasifik, Ganjar dan Puan kini juga tengah memperebutkan “kawasan” Jateng untuk menjadi hegemon. Siapa tahu hegemoni di “kawasan” ini menjadi penting untuk kemungkinan memenangkan tiket pen-capres-an dari PDIP?
Lantas, bila ini menjadi persaingan geopolitik antara Ganjar dan Puan, siapakah yang memiliki kesempatan besar untuk menjadi hegemon di Jateng? Instrumen kekuatan (means of power) apa saja yang bisa digunakan masing-masing pihak dalam “perang geopolitik” ini?
Ganjar Salah Strategi?
Tentunya, dalam persaingan geopolitik, diperlukan juga geo-strategi yang bisa dimaknai sebagai perencanaan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor geografis. Bila mengacu pada penjelasan Mearsheimer dalam bukunya tadi, diperlukan kapabilitas-kapabilitas tertentu agar sebuah negara bisa memaksimalkan kekuatannya.
Bukan tidak mungkin, hal yang sama juga berlaku bagi entitas-entitas politik di “kawasan” Jateng, yakni antara Ganjar dan Puan. Bisa dibilang, masing-masing kekuatan ini memiliki instrumen kekuatan yang bisa digunakan dalam persaingan tersebut.
Instrumen kekuatan pertama yang bisa mempengaruhi persaingan geopolitik ini jaringan diplomatik yang mereka bangun. Dalam hal ini, bukan tidak mungkin bisa terjadi “perang” antar-proxy dalam jaringan internal PDIP di Jateng.
Bambang “Pacul” Wuryanto, misalnya, bisa jadi pihak yang mendukung Puan. Sementara, FX Hadi Rudyatmo dari Solo kerap pasang badan untuk Ganjar yang kerap diserang oleh kader-kader PDIP lainnya.
Upaya saling mengungguli melalui proxies seperti ini mirip dengan pola persaingan antar-negara kuat dalam Perang Dingin. Uni Soviet dan AS, misalnya, memiliki proxies mereka sendiri di sejumlah negara Asia – seperti Korea Selatan (Korsel) vs Korea Utara (Korut).
Kemudian, untuk instrumen yang kedua, masing-masing memiliki “demografi” yang turut menentukan posisi politik keduanya. Demografi – seperti populasi – menjadi salah satu faktor determinan dalam kekuatan sebuah negara.
Dalam hal ini, mungkin ini bisa diterjemahkan dalam hal popularitas. Bila dibandingkan, Ganjar bisa jadi lebih unggul dalam instrumen kekuatan satu ini.
Ketiga, tatanan dunia (international order) juga menentukan peruntungan di antara keduanya. Mengacu pada Mearsheimer dalam tulisannya Bound to Fail, negara hegemon di tingkat global akan membangun tatanan dunia yang mengikuti selera dan nilai yang dianutnya.
Dalam politik domestik, hal ini bisa diterjemahkan sebagai tatanan politik nasional dalam PDIP sendiri. Dalam hal ini, kehadiran “hegemon global” bisa turut menentukan – katakanlah kekuatan pusat yang dipegang oleh Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
Untuk mengantongi tiga instrumen kekuatan tersebut, bukan tidak mungkin juga dibutuhkan sejumlah strategi. Manuver Puan untuk berkeliling Jateng, misalnya, bisa saja dipahami sebagai upaya diplomasi di antara entitas-entitas kawasan – layaknya diplomasi yang dilakukan diplomat-diplomat AS di kawasan Asia Tenggara guna memenangkan “hati dan pikiran” mereka.
Dalam strategi satu ini, Ganjar bisa jadi mengalami tantangan tertentu. Puan yang bisa jadi memiliki kapabilitas – seperti yang disebut Mearsheimer – guna memenuhi kebutuhan entitas-entitas PDIP di “kawasan”.
Sementara, Ganjar akan kehabisan kekuatan/pengaruh seiring habisnya masa pemerintahannya pada tahun 2023 mendatang. Selain itu, Ganjar juga dinilai hanya unggul di tingkat media sosial (medsos), bukan di medan teritorial di antara DPC-DPC di Jateng sendiri.
Alhasil, bila dianalogikan dengan persaingan antara AS dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik, Ganjar bisa dibilang mirip AS yang tidak memiliki kapabilitas cukup untuk memenangkan “hati dan pikiran” seluruh entitas di kawasan. Ujung-ujungnya, perebutan teritorial di Jateng akan sulit dimenangkan oleh Ganjar.
Pada akhirnya, seperti game AoE di awal tulisan, Ganjar bisa saja kehilangan town centers yang strategis dan krusial untuk memenangkan permainan. Akses terhadap sumber yang dibutuhkan – seperti food, wood, dan coin – juga bukan tidak mungkin menjadi tertutup. Klaim teritorial pun akan menjadi tinggal kenangan. (A43)