HomeNalar PolitikGanjar Sebaiknya Pindah ke Golkar?

Ganjar Sebaiknya Pindah ke Golkar?

Simpang siur perihal isu kepindahan Ganjar Pranowo dari PDIP terus mencuat ke publik. Hal ini tidak lepas dari ‘sentilan’ terhadap dirinya karena manuvernya dinilai terlalu masif di media sosial. Maka tidak heran jika Waketum DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengungkapkan keinginannya untuk mengusung Ganjar mendampingi Airlangga di kontestasi Pilpres 2024. Lantas apakah tepat jika Ganjar pindah ke Partai Golkar?


PinterPolitik.com

Nama Ganjar Pranowo seolah tidak pernah hilang dari perbincangan publik karena Gubernur Jawa Tengah ini digadang-gadang masuk dalam bursa capres/cawapres pada pemilihan presiden tahun 2024 mendatang. Popularitasnya di media sosial membuat politisi PDIP ini semakin dikenal oleh khalayak sehingga namanya terus ‘meroket’ dalam bursa pencalonan presiden. Hal ini terlihat dari tingginya elektabilitas Ganjar di beberapa lembaga survei. Seperti misalnya, hasil survei Litbang Kompas yang dirilis pada Oktober 2021, menempatkan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo dalam posisi yang seimbang yaitu sama-sama memperoleh angka 13,9 persen.

Selain itu, di lembaga survei lain seperti Poltracking yang merilis hasilnya pada akhir Oktober 2021 ini juga menempatkan sosok Ganjar Pranowo pada urutan paling atas. Ganjar mengungguli nama-nama lainnya seperti Prabowo Subianto dan Anies Baswedan dengan perolehan suara 22,9 persen. Sementara Prabowo dan Anies Baswedan masing-masing memperoleh suara 20 persen dan 13,5 persen. Lembaga survei Charta Politica juga merilis hasil survei pada Agustus 2021 lalu dan Ganjar Pranowo menjadi tokoh politik dengan elektabilitas yang tinggi dibandingkan dua nama terkenal lainnya, yaitu Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

Hal ini memperlihatkan bahwa Ganjar Pranowo bukanlah sosok yang bisa dipandang sebelah mata. Selain elektabilitasnya yang tinggi, pengalamannya sebagai Gubernur Jawa Tengah juga menjadi modal tambahan sehingga masyarakat semakin mengenal politisi PDIP ini. Maka tidak heran bila namanya kerap dikaitkan dengan sejumlah partai politik lain. Seperti yang baru-baru ini mengemuka, yakni pernyataan dari Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Nurdin Halid perihal partainya yang berpeluang mengusung Ganjar Pranowo pada pemilihan presiden 2024. Pernyataan ini muncul seiring adanya indikasi perbedaan pendapat antara sejumlah kader PDIP. Bibit-bibit perselisihan pendapat sudah mulai terlihat dari sindiran-sindiran yang dilontarkan oleh salah seorang kader PDIP, yakni Bambang Wuryanto.

Baca Juga: Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?

Bahkan pria yang akrab dikenal dengan sebutan Bambang ‘Pacul’ ini secara terang-terangan menegaskan bahwa Ganjar tidak diundang dalam acara penguatan soliditas partai menuju Pemilu 2024. Hal ini menjadi semacam teguran bagi Ganjar karena manuvernya di media sosial dinilai terlalu masif. Maka tidak heran jika partai politik lainnya menyoroti fenomena ini termasuk Partai Golkar. Meski Ganjar sempat menyanggah isu ketertarikan Golkar, namun mengingat dinamika politik Tanah Air yang terus berubah-ubah, semua hal bisa saja terjadi. Lantas, mengapa Partai Golkar tertarik mengusung sosok Ganjar pada Pilpres 2024?

Ingin Ulangi Kejayaan pada 2004?

20 tahun yang lalu menjadi momentum bersejarah bagi Partai Golkar karena partai ini berhasil memenangkan pemilu legislatif 2004. Saat itu Partai Golkar berhasil menduduki peringkat tertinggi dengan meraih 128 kursi. Sementara pada urutan selanjutnya diisi oleh PDIP dengan memperoleh sekitar 109 kursi. Pada urutan ketiga diisi oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 58 kursi. Kemenangan ini ternyata menjadi sebuah pertanda bahwa partai ini tetap kuat meski Soeharto baru saja lengser dari tampuk kekuasaan. Momentum ini terasa spesial karena Pemilu 2004 merupakan tonggak demokrasi pasca Orde Baru karena rakyat memiliki hak untuk memilih calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif.

Baca juga :  Bahlil "Dimasak", Prabowo's Mind Games?

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes menilai bahwa kokohnya Partai Golkar pasca lengsernya Soeharto tidak lepas dari peran tokoh seniornya, yaitu Akbar Tandjung. Partai yang berdiri pada tahun 1964 ini berhasil beradaptasi dengan bertransformasi dengan paradigma baru dengan memutus koneksi dengan pengaruh Orde Baru. Maka, tidak heran apabila partai berlambang pohon beringin ini masih kokoh sehingga selalu berada pada posisi atas di berbagai lembaga survei. Berdasarkan rekapitulasi terakhir dari Komisioner Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilihan Legistaltif 2019, tercatat bahwa Partai Golkar menempati posisi kedua di bawah PDIP dengan perolehan suara sebesar 12,68 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa hingga saat ini partai tersebut masih populer di tengah masyarakat.

Tren positif Partai Golkar berpotensi kembali terjadi pada kontestasi pemilu serentak 2024 mendatang. Hal tersebut didengungkan oleh Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar Akbar Tandjung dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia. Rasa percaya diri pun terlihat dari pernyataan Doli bahwa banyak masyarakat di daerah-daerah yang merindukan ketokohan dari Partai Golkar.

Fenomena ini mengingatkan tentang istilah involuntary memory dalam novel karya Marcel Proust yang berjudul In Search of Lost Time. Intinya, setiap manusia memiliki sebuah perasaan untuk kembali mengulang masa lalu karena percaya terhadap memori ingatan masa lalu.  Suatu ingatan yang ingin diulang ini dikenal dengan istilah involuntary memory atau sebuah ingatan yang muncul disebabkan oleh suatu pemicu. Mengingat masa lalu dalam hal ini memiliki artian bahwa seseorang atau kelompok percaya terhadap suatu momentum.

Baca Juga: Kok Bisa Ganjar Didukung?

Berdasarkan pengertian ini, maka wajar jika politisi Golkar ingin mengingat kembali kejayaannya pada tahun 2004 lalu. Berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan sebuah ‘romantisme’ masa lalu itu dan salah satunya adalah dengan mencoba mengusung Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Berbekal pengalaman sebagai Menteri Perindustrian dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga percaya diri untuk maju sebagai capres di 2024 mendatang.

Meski elektabilitasnya masih rendah, namun Partai Golkar masih percaya diri tetap mendorong Airlangga untuk berkontestasi pada Pilpres 2024. Terlihat pada dukungan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar yang menyerukan bahwa seluruh kadernya di Indonesia wajib menyukseskan Airlangga sebagai capres. Secara logika keyakinan tersebut tampaknya tidak dibarengi dengan data dan fakta yang cukup mumpuni.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Dalam buku berjudul Essential Logic karya Ronald C. Pine, dijelaskan bahwa logika bisa menjelaskan posisi seseorang sehingga bisa menjadi pertimbangan untuk maju atau berhenti. Namun jika hanya mengandalkan perasaan saja, seseorang tidak akan mengetahui kesalahan yang dilakukan. Ungkapan ini secara garis besar menegaskan bahwa perasaan cenderung mendominasi sehingga sulit berpikir secara logis. Padahal dalam politik, sulit mengandalkan kalkulasi perasaan. Lalu apakah Ganjar Pranowo merupakan sosok tepat bagi Golkar untuk merealisasikan romantisme kejayaan masa lalu di 2004?

Ganjar Cocok di Golkar?

Ganjar yang memulai kariernya sebagai kader PDIP di masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri pada tahun 2003 ini tengah ramai diisukan akan berpindah partai. Meski isu tersebut dibantah oleh Gubernur Jawa Tengah ini, namun namanya tetap ramai diperbincangkan terutama menjelang kontestasi Pilpres 2024 mendatang.

Potensi besar Ganjar sebagai capres di 2024 sepertinya sulit untuk terwujud karena PDIP cenderung ingin mencalonkan Puan Maharani. Terlebih, penunjukan calon presiden dari PDIP merupakan hak prerogatif dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Melihat kondisi ini, rasanya sulit bagi Ganjar untuk melenggang sebagai capres di 2024 mendatang karena harus mendapatkan restu dari Megawati.

Berbeda dengan Partai Golkar yang cenderung tidak bertumpu pada satu sosok dengan pengaruh besar. Partai ini juga tidak kental dengan sistem ‘trah’ atau garis silsilah untuk menentukan sosok pemimpin di dalam struktur organisasi partainya. Beberapa kadernya yang tersebar di lembaga pemerintahan pun memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Contohnya Bambang Soesatyo yang dahulu meniti karier sebagai wartawan, kini bisa menduduki posisi strategis di struktur Golkar sebagai Wakil Ketua Umum.

Baca Juga: Airlangga Pilih Ganjar Sebagai Pendamping?

Kondisi struktural Golkar ini tampaknya cocok dengan Ganjar Pranowo yang bukan lahir dari sistem ‘trah’. Maka posisi Ganjar yang tidak menempati jabatan struktural di PDIP serta bukan kader yang berasal dari garis silsilah, menjadikan dirinya mudah jika dikeluarkan dari partai. Seperti yang terjadi pada Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak yang dipecat PDIP karena memutuskan untuk mendampingi Khofifah. Keputusannya ini bertentangan dengan PDIP yang mendukung Saifullah Yusuf-Azwar Anas di Pilgub Jatim.

Melihat dinamika politik yang terjadi, tentu pilihan ada pada Ganjar Pranowo. Pertama, tetap di PDIP namun berpotensi kecil maju menjadi capres 2024. Kedua, berpindah partai dengan potensi yang cukup besar bila ingin melenggang pada kontestasi pilpres 2024 mendatang. Isu ini tentu akan terus bergulir dan menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (G69)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Surya Paloh Cemburu ke Prabowo?

NasDem persoalkan komentar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto karena dukung Anies di 2024. PDIP dianggap beda sikap bila terhadap Prabowo.

Airlangga Abaikan Giring?

PSI telah mendeklarasikan akan mengusung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Mengapa Giring belum juga tawarkan Ganjar ke Airlangga?

Rocky Sebenarnya Fans Luhut?

Momen langka terjadi! Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya bertemu langsung dengan pengkritik terpedasnya, yakni Rocky Gerung.