Meskipun masih terbilang prematur, peta kandidat di Pilpres 2024 sudah mulai terlihat. Ada nama Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, hingga Ridwan Kamil. Namun sayangnya, seperti kritik Rocky Gerung, nama-nama tersebut masih menggunakan strategi komunikasi politik konvensional. Mengapa mereka tidak melakukan perang gagasan secara terbuka?
“The only true wisdom is in knowing you know nothing.” – Socrates, filsuf Yunani kuno
Ini adalah cerita demokrasi dari Yunani kuno. Sore hari di musim semi, masyarakat Athena berbondong-bondong datang ke Agora. Mereka ingin menyaksikan orasi dari Achiles putra Leonidas dan Agathias putra Ignatius. Keduanya hendak maju sebagai pemimpin Athena selanjutnya.
Di pojok kiri, Achiles berbicara lantang soal pertumbuhan ekonomi. Gagasan-gagasannya segar dan berani. Sorak sorai dan tepuk tangan tidak henti-hentinya terdengar setiap kali Achiles menutup pemaparannya. “Achiles yang pandai,” teriak seorang petinggi Athena bernama Theophilus.
Sementara di pojok kanan, Agathias berbicara soal hak-hak pendidikan. “Setiap penduduk Athena harus pandai matematika dan filsafat,” ungkapnya. Agathias akan menggandeng Plato, pemilik sekolah Academia yang tersohor untuk mewujudkan visinya. Penduduk miskin Athena yang selama ini hanya bermimpi mendapatkan pendidikan begitu senang mendengar orasi Agathias. “Harapan baru. Agathias adalah harapan baru,” ungkap Mattias kepada kawannya Niccolas. Hanya senyum dan mengangguk. Niccolas tampaknya setuju dengan Mattias.
Menurut profesor sosiologi Richard Sennett, masyarakat Athena kuno memang kerap menggunakan Agora sebagai tempat berdebat, berorasi, mengambil keputusan, dan berpartisipasi dalam kehidupan publik. Agora adalah salah satu tempat yang dirancang untuk melakukan debat-debat politik terbuka, di mana tujuannya untuk mengatasi kompleksitas perbedaan pandangan.
Baca Juga: Tantang Debat, Luhut Tiru Yunani Kuno?
Pada 15 Oktober 2021, ide Agora ala Athena kuno tampaknya menjadi inspirasi kritik pengamat politik Rocky Gerung terhadap para kandidat Pilpres 2024 dalam diskusi bertajuk “Memprediksi Kemunculan Capres Ala Pembagian Wilayah Penanganan Covid (Jawa Bali – Non Jawa Bali)” yang digelar KedaiKOPI.
“Padahal kami milenial yang 2024 nanti akan memilih, mau lihat pertengkaran akademis di dunia politik Indonesia sama seperti pertengkaran di luar negeri. Soal gender equality, new kind of economy. Kok kita nggak denger ya Puan ngomong itu. Om yang rambutnya kayak bintang film putih itu, Ganjar Pranowo, ngomong itu. Kok kita nggak lihat Kang Emil ngomong itu,” ungkapnya.
Lantas, apakah para kandidat, seperti Ganjar harus mengikuti saran Rocky untuk membawa diskursus semacam itu ke hadapan publik?
Kita Butuh Pertarungan Ide
Selain kesetaraan gender dan ekonomi, Rocky juga menyinggung demokrasi dan HAM. Ini disebutnya sebagai new grammar of world’s politics.
Namun sayang, karena menggunakan diksi “bodoh” kepada Ganjar dan Puan Maharani, kritik Rocky mendapat berbagai tanggapan sinis, misalnya dari politisi senior PDIP Aria Bima. “Jadi konyol kita berupaya menaikkan elektabilitas Ganjar, padahal bagi milenial itu orang bodoh. Demikian juga Puan,” ungkap Rocky.
Menariknya, Ganjar menanggapi kritik tersebut secara bijak. “Beliau kritikus terbaik yang pernah saya ikuti. Kritis dan analitis,” ungkap Gubernur Jawa Tengah ini pada 18 Oktober 2021. Sehari kemudian, Rocky turut memuji Ganjar dengan menyebutnya matang dalam menghadapi kritik.
Terlepas dari diksi “bodoh” yang digunakan Rocky, esensi kritik yang disampaikannya patut untuk direnungkan. Faktanya, sangat jarang kita menyaksikan para kandidat menjual pikiran, ide, atau gagasannya untuk meraih simpati publik. Umumnya mereka berjibaku pada politik persepsi, memainkan media sosial, atau sekadar blusukan dan turun ke gorong-gorong.
Dalam berbagai kesempatan, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah juga mengutarakan hal serupa. Pada 14 Juni 2021, misalnya, melalui Twitter pribadinya Fahri menulis, “Dear capres, Belanda masih jauh. Kalau mau manggung, ide lu dulu apa.”
Masalahnya, jika para kandidat tidak menunjukkan pertarungan ide, demokrasi hanya akan berakhir seperti kritik Socrates dalam buku Republic karya Plato. Dalam bab Book VI, Plato menceritakan percakapan Socrates dengan Adeimantus yang tengah membandingkan proses pemilihan pemimpin di demokrasi dengan di kapal.
Socrates memberi pertanyaan, siapa yang ideal untuk bertanggung jawab untuk memimpin kapal? Siapa saja atau orang yang dididik tentang aturan dan tuntutan pelaut? Yang terakhir tentu saja, jawab Adeimantus. Lanjut Socrates, lantas mengapa hal yang sama tidak diterapkan dalam memilih pemimpin di demokrasi?
Tegas Socrates, memilih pemimpin adalah keterampilan, butuh pengetahuan untuk melakukannya, bukannya intuisi acak.
Baca Juga: Strategi Cerdik Nasdem di 2024?
Sekarang coba renungkan, apakah kita benar-benar mengetahui kualitas intelektual dari para kandidat yang kita pilih?
Seperti kritik Rocky, apakah kita mendengar Ganjar, Puan, atau Ridwan Kamil membahas masalah ekonomi, demokrasi, dan ketimpangan sosial kita? Pun demikian dengan kandidat lainnya. Apakah kita melihat Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, atau Anies Baswedan menunjukkan kecerdasannya di hadapan publik? Apakah mereka memperlihatkan kemampuannya dalam mengurai masalah Indonesia dan memberikan solusi untuk itu?
Rasa-rasanya itu tidak terlihat. Yang kita saksikan hanyalah rilis-rilis survei elektabilitas, pemberitaan di media massa, dan unggahan-unggahan kegiatan mereka di media sosial.
Kembali mengutip Richard Sennett, untuk menyukseskan demokrasi deliberatif yang dinilai makin sukar terjadi, ruang-ruang debat terbuka pertarungan ide seperti di Athena kuno tampaknya dapat menjadi jawaban atas masalah demokrasi kita.
Harus Dimulai
Selain sebagai perwujudan ide normatif demokrasi, di mana masyarakat mengetahui kualitas pemimpin yang dipilihnya, menunjukkan perang gagasan seperti itu juga dapat menjadi strategi politik. Kita dapat melihat kasus Mardigu Wowiek Prasantyo sebagai buktinya.
Melalui kanal YouTube-nya, Mardigu menghadirkan ide-ide dan gagasan untuk menjawab masalah ekonomi dan politik Indonesia. Terlepas dari tepat tidaknya gagasan yang dihadirkan, konten Mardigu mendapatkan atensi luas. Ia dijuluki “daging semua” karena dinilai begitu cerdas dan memberikan informasi-informasi segar yang out of the box.
Tidak hanya itu, Mardigu juga mendapat dukungan maju sebagai capres dari warganet. “Kita butuh new mind”, tulis warganet di berbagai kolom komentar media sosial, termasuk di Instagram PinterPolitik.
Mengacu pada kasus Mardigu, para kandidat, khususnya Ganjar yang merespons bijak kritik Rocky, sekiranya perlu menghadirkan Agora di panggung politik Indonesia. Untuk memperbesar ceruk suara, khususnya anak muda yang haus akan penjelasan intelektual, memperlihatkan gagasan-gagasan cemerlang ke hadapan publik adalah strategi komunikasi politik yang mumpuni.
Baca Juga: Di Balik Wacana Mardigu untuk 2024
Lantas pertanyaannya, mengapa para kandidat masih terjebak dalam komunikasi politik konvensional? Mengapa mereka masih dominan pada perang persepsi?
Kita dapat menjawabnya menggunakan tulisan Nyimas Latifah yang berjudul Peran Marketing dalam Dunia Politik. Menurut Latifah, ada empat tipe pemilih di Indonesia, yakni pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, dan pemilih skeptis. Menurutnya, pemilih tradisional merupakan pemilih mayoritas di Indonesia.
Kelompok pemilih ini lebih mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai indikator untuk calon pemimpin dan partai politik. Biasanya mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sehingga lebih mudah dimobilisasi.
Ya, kita masih berjibaku pada masalah kesenjangan pendidikan. Mungkin ini yang menjadi pertimbangan utama mengapa pertarungan gagasan calon pemimpin yang lumrah terjadi di Amerika Serikat (AS) belum kita rasakan di Indonesia.
Dengan pemilih tradisional yang mendominasi, para kandidat, tepatnya tim mereka, lebih memilih memainkan perang persepsi karena dinilai lebih efektif mendulang suara masyarakat. Namun, jika dari sekarang pertarungan gagasan tidak dibiasakan, sampai kapan panggung politik kita hanya diisi dengan jargon-jargon?
Ayo Pak Ganjar, ayo Pak Prabowo, ayo Mba Puan, ayo Pak Airlangga, ayo Kang Emil, ayo Pak Anies. Tunjukkan gagasan cerdas kalian. Pertarungkan itu di hadapan publik. (R53)