Megawati dinilai menyindir Ganjar Pranowo ketika diminta membacakan hasil Rakernas terkait capres merupakan hak prerogatif ketua umum. Apakah ini sinyal kuat Ganjar telah keluar dari bursa capres 2024?
Pada 24 Mei 2022, pengamat politik bernama Hendri Satrio (Hensat) memberi usulan menarik terkait konflik internal antara Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. Menurutnya, Ganjar bisa menjadi ketua tim sukses (timses) Puan di Pilpres 2024 sebagai balas budinya kepada PDIP yang telah membesarkannya.
Rahmat Sahid dalam bukunya Puan Maharani Matang dalam Kerja Keras Politik menjelaskan bahwa Puan adalah sosok yang menjadi ketua timses Ganjar ketika maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah (Jateng) 2013 lalu.
Sebagai ketua timses, Puan membagi tim menjadi tiga Komandan Tempur (Danpur), yakni Danpur Komunitas, Danpur Struktural, dan Danpur Gorong-Gorong.
Danpur Komunitas bertugas mengatur aktivitas kampanye Ganjar-Heru Sudjatmoko. Fokus kegiatannya mengunjungi dan menyapa (blusukan) komunitas-komunitas di Jateng. Juga bertanggung jawab menyebar setiap aktivitas kampanye dan blusukan di media massa dan media sosial.
Danpur Struktural bertugas menggerakkan seluruh elemen struktur partai, termasuk pengelolaan logistik dan atribut kampanye. Juga bertugas untuk meng-upgrade tingkat popularitas dan tingkat elektabilitas Ganjar-Heru.
Sementara, Danpur Gorong-Gorong bertugas mengkoordinasi jaringan non-kepartaian. Mengingat cakupan wilayah yang sangat luas, tim Danpur Gorong-Gorong menambal celah-celah yang tidak tergarap secara optimal. Danpur ini juga berperan sebagai satuan intelijen yang menyuplai informasi strategis pemenangan.
Dan yang terpenting, menurut informasi dari internal PDIP yang terlibat dalam pemenangan saat itu, logistik kampanye sebagian besar dikeluarkan oleh Puan Maharani.
Atas fakta itu, tidak berlebihan kiranya Hensat mengeluarkan narasi balas budi kepada Ganjar Pranowo. Konteks ini juga sekiranya relevan dengan pernyataan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani yang menyebut tradisi politik “terima kasih” langka di Indonesia.
Muzani menyebutkan bahwa terdapat sosok pemimpin yang justru melupakan jasa partai politik yang telah membesarkannya. Entah siapa pun yang dimaksud, konteks pernyataan itu dapat ditarik untuk menggambarkan situasi PDIP saat ini.
Lantas pertanyaannya, dengan berbagai tekanan internal itu, apakah Ganjar Pranowo masih berpeluang untuk maju di Pilpres 2024?
Beda Kasus
Mengamati berbagai gesturnya, rasa-rasanya tidak berlebihan mengatakan bahwa Ganjar tengah meniru langkah politik Joko Widodo (Jokowi) ketika maju di Pilpres 2014. Saat itu, secara gamblang, Jokowi melakukan dua hal yang membuat PDIP mengusungnya.
Pertama, Jokowi membangun berbagai kelompok relawan yang bahkan sampai saat ini masih aktif dan berpengaruh. Kedua, sejak maju di Pilgub DKI Jakarta 2012, Jokowi telah membangun elektabilitasnya.
Seperti yang disebutkan Leo Suryadinata dalam Golkar’s Leadership and the Indonesian President, tingginya elektabilitas Jokowi yang membuat Megawati mengusungnya di Pilpres 2014 meskipun berbagai elite PDIP tidak menyukainya saat itu.
Pada kasus Ganjar, suka atau tidak, Gubernur Jateng ini sedang melakukan mimikri politik. Dua langkah gamblang Jokowi sedang ditiru. Pertama, berbagai kelompok relawan, seperti Ganjarist, telah melakukan deklarasi di berbagai daerah di Indonesia. Kedua, sejak kuartal keempat 2019, survei elektabilitas Ganjar konsisten di posisi atas.
Lantas, seperti kasus Jokowi pada 2014 lalu, berhasilkah Ganjar menekan Megawati untuk mengusungnya di Pilpres 2024?
Sayangnya, ada dua poin penting yang membuat mimikri politik Ganjar tidak sempurna. Pertama, berbeda dengan Jokowi, Ganjar belum mendapatkan banyak dukungan dari elite besar politik maupun ring-1 PDIP.
Menurut pengamat politik Refly Harun, Jokowi mendapatkan dukungan dari enam tokoh yang bisa disebut sebagai “enam matahari”. Mereka adalah adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati, Ketum Partai NasDem Surya Paloh, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, dan mantan Ketum PKPI A.M. Hendropriyono.
Kedua, karena belum mendapatkan dukungan dari para elite, ini membuat Ganjar belum mendapatkan dukungan kapital yang besar. Pengamat politik Rocky Gerung juga menyinggung hal ini. Melihat gestur politik dimintanya Ganjar membaca rekomendasi Rakernas PDIP, Rocky menyebut itu sinyal bagi relawan Ganjar bahwa para investor politik akan pergi.
Menurut Rocky, membaca sinyal itu, para investor politik tidak mungkin menaruh saham politiknya di sosok yang kemungkinan tidak maju di Pilpres 2024.
Elektabilitas Bukan Utama
Selain soal mimikri politik yang tidak sempurna, poin penting lainnya yang membuat Ganjar sulit maju di Pilpres 2024 adalah kalkulasi politik Megawati. Menariknya, putri Bung Karno ini tidak menjadikan elektabilitas sebagai variabel utama untuk mengusung kandidat.
Secara cepat, berbagai pihak mungkin memandang sinis hal itu. Namun, seperti yang telah dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Operasi Intelijen di Balik Pilpres 2024, persepsi-persepsi politik, seperti popularitas dan elektabilitas, sebenarnya adalah buah dari strategi pemenangan. Itu adalah operasi penggalangan intelijen yang disebut dengan cipta kondisi. Meminjam istilah sosiolog Prancis Jean Baudrillard, elektabilitas merupakan simulakra politik.
Kemudian, perlu dicatat bahwa partai politik seperti PDIP sebenarnya memiliki lembaga survei internal. Sekarang coba renungkan ini, semua survei elektabilitas menyandarkan kesimpulannya pada 1.000-2.000 responden. Bagaimana mungkin 2.000-an orang merepresentasikan 200 juta lebih penduduk Indonesia?
Nah, berbeda kasus dengan lembaga survei, partai politik memiliki kader di semua provinsi, bahkan semua kabupaten di Indonesia. Artinya, partai sebesar PDIP tidak akan kesulitan melakukan survei yang jauh lebih akurat dengan mengandalkan sebaran kadernya di tiap kabupaten.
Fakta ini yang tampaknya membuat Megawati mengatakan survei bukanlah variabel utama penentuan kandidat. Megawati tampaknya sangat paham bahwa cakupan survei berbagai lembaga tidak cukup representatif.
Dengan kondisi seperti itu, tampaknya dapat disimpulkan bahwa Ganjar akan sulit maju jika masih di PDIP. Seperti dorongan berbagai pihak, Gubernur Jateng ini mungkin perlu melirik partai lain. Sejauh ini, Partai NasDem terlihat sangat berminat. Tidak hanya masuk di Rakernas NasDem, duet Anies-Ganjar juga sudah disodorkan Surya Paloh ke Presiden Jokowi.
Namun, melihat gestur-gestur terbaru PDIP, keluar dari partai banteng tampaknya bukan jadi solusi mutakhir dari Ganjar. Pasalnya, besar kemungkinan Gubernur Jateng itu akan mendapat berbagai serangan politik dari PDIP.
Jika Ganjar maju bersama partai lain, besar kemungkinan PDIP akan melabelinya sebagai “penghianat”. “Ganjar adalah kader yang tidak tahu terima kasih,” kira-kira demikian narasi yang akan beredar.
Mengutip Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, tidak terbalasnya kebaikan atau pemberian dapat menjadi motif yang berujung pada balas dendam. Partai politik lainnya kemungkinan menjadikan variabel ini sebagai kalkulasi dalam mengusung Ganjar.
Melihat gestur terbaru, kemungkinan hal tersebut sekiranya besar. Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Saiful Hidayat, misalnya, langsung bersikap reaktif terhadap usulan duet Anies-Ganjar dari Surya Paloh. Djarot dengan tegas membantah Paloh yang menyebut duet itu adalah duet pemersatu bangsa.
“Yang mempersatukan bangsa kita, sekali lagi ya itu bukan orang per orang lho, (tapi) yang mempersatukan bangsa kita itu ideologi ya,” ungkap Djarot pada 27 Juni 2022.
Well, di titik ini mungkin dapat disimpulkan kans Ganjar maju di Pilpres 2024 tidaklah besar. Selain itu, Ganjar juga telah menegaskan dirinya setia terhadap PDIP dan Ketum Megawati Soekarnoputri. Kita lihat saja bagaimana ke depannya kelanjutan karier politik Gubernur Jateng ini. (R53)