Elektabilitas pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut tiga, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, terus menurun di banyak hasil survei. Perlukah Ganjar-Mahfud merombak Tim Pemenangan Nasional (TPN) mereka?
“We top of the totem pole. It’s the dream team” – JAY-Z, “Clique” (2012)
Siapa yang tidak kenal dengan JAY-Z? Pria kelahiran Brooklyn, New York, Amerika Serikat (AS), ini merupakan salah satu penyanyi rap (rapper) terkenal.
Nama JAY-Z sebenarnya sudah menjadi nama musisi besar sejak tahun 1990-an. Bahkan, bisa dibilang rapper satu ini adalah salah satu nama rapper terbesar dalam sejarah musik hip-hop AS.
Namun, dalam lagu berjudul “Clique” yang dirilis pada tahun 2012, sejumlah rapper lain turut bergabung menyumbangkan lirik dan suara. Beberapa di antaranya adalah Kanye West dan Big Sean.
Sontak saja, lagu ini terbilang sukses dengan menempati posisi-posisi atas di sejumlah tangga lagu. Para rapper selain JAY-Z juga membuat para penggemarnya mendengarkan lagu tersebut.
Sampai-sampai, dalam lirik lagu tersebut, JAY-Z menyanyikan, “Kami berada di tingkat teratas di tiang totem. Kami adalah the dream team.” Tunggu, apa sebenarnya dream team itu?
Dream team adalah frasa yang kerap digunakan dalam Bahasa Inggris untuk mengambarkan sekumpulan individu yang saling mengombinasikan kelebihan mereka masing-masing sehingga menjadi kombinasi yang sangat ciamik dalam mencapai tujuan mereka.
Mungkin, inilah mengapa JAY-Z merasa Kanye West dan Big Sean adalah dream team, yakni karena mereka juga rappers dengan nama besa. Alhasil, jumlah pendengar turut terdongkrak.
Nah, penggunaan frasa ini juga berlaku di berbagai bidang lainnya selain industri musik. Salah satunya adalah bidang politik.
Inilah yang mungkin dirasakan oleh Presiden ke-44 Amerika Serikat (AS) Barack Obama kala berkampanye dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2012. Saat itu, Obama banyak dibantu oleh para ahli yang disebut-sebut sebagai dream team – berkontribusi membawa kemenangan bagi Obama di tahun 2012.
Lantas, bagaimana dengan di Indonesia? Mungkinkah para pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawaores) – seperti Ganjar Pranowo dan Mahfud MD – membutuhkan dream team serupa?
Belajar dari Kampanye Clinton
Beberapa bulan lalu, banyak hasil survei menempatkan Ganjar Pranowo di posisi atas dalam hal elektabilitas. Namun, seiring berjalannya waktu, elektabilitas Ganjar terus merosot.
Dalam survei elektabilitas yang dilakukan oeh Indikator Politik Indonesia, misalnya, tren elektabilitas Ganjar dinilai menurun. Bila survei November-Desember 2023 dibandingkan dengan survei Juni 2023 lalu, elektabilitas Ganjar turun drastis – bahkan hingga 24,7 persen.
Mengapa ini bisa terjadi? Apa yang membuat elektabilitas Ganjar malah menurun – berbeda dengan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan yang justru meningkat?
Penyebab penurunan elektabilitas bisa terjadi karena banyak hal. Beberapa di antaranya adalah kontroversi, bouncer, kesalahan pengambilan kebijakan, persoalan kesehatan sang kandidat, perubahan opini publik, hingga kesalahan dalam strategi kampanye.
Strategi kampanye-pun bisa dibilang sangat krusial. Dalam bukunya yang berjudul The Strategy of Campaigning: Lessons from Ronald Reagan and Boris Yeltsin, Kiron Skinner menjelaskan bahwa kampanye adalah salah satu fitur paling penting dalam kontrak sosial yang dibuat antara rakyat dan sang politisi.
Dalam kampanye, penting bagi para politisi untuk terhubung dengan pemilih. Caranya adalah dengan menyajikan gagasan dan arah politik terhadap pemilih – sehingga poin-poin inilah yang akan menjadi “kesepakatan” atau kontrak sosial antara yang dipilih dan yang memilih.
Kegagalan dalam strategi kampanye seperti ini pernah terjadi pada Pilpres AS 2016, yakni ketika Hillary Clinton menjadi capres. Kala itu, ada sejumlah faktor yang membuat strategi kampanye Clinton tidak berhasil.
Beberapa di antaranya adalah kegagalan Clinton untuk terhubung dengan demografi pemilih yang seharusnya disasar – seperti pemilih muda liberal yang merupakan kelas pekerja.
Selain itu, Clinton juga dianggap terlalu berfokus untuk memberikan serangan personal terhadap kandidat lawan, yakni Donald Trump. Padahal, kampanye juga soal bagaimana sang kandidat bisa menyampaikan visi-visi positif kepada para pemilih.
Lantas, bila berkaca terhadap kampanye Clinton, hal apa yang bisa dipelajari oleh tim kampanye – atau yang biasa disebut sebagai Tim Pemenangan Nasional (TPN) – Ganjar-Mahfud?
Ganjar Perlu Berubah?
Setidaknya, bila berkaca pada penjelasan di atas, terdapat sejumlah hal yang bisa diilhami oleh TPN Ganjar-Mahfud. Perubahan strategi mungkin saja dibutuhkan.
Clinton, misalnya, dinilai terlalu berfokus untuk menyerang Trump daripada menyajikan visi politiknya sendiri. Hal ini juga bisa ditemukan dalam kampanye Ganjar-Mahfud yang terlihat akhir-akhir ini.
Dalam beberapa bulan terakhir, Ganjar-Mahfud memang terlihat lebih getol menyerang kandidat-kandidat lawan, khususnya pasangan Prabowo dan Gibran Rakabuming Raka. Dalam banyak kesempatan, sindiran keras justru banyak dilontarkan untuk pasangan ini.
Padahal, pengarusutamaan gagasan positif juga penting. Pasalnya, berdasarkan artikel PinterPolitik.com yang berjudul Swing dan Undecided Voters Lari ke Sini?, jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) juga tidaklah kecil.
Bila serangan terhadap kandidat lain lebih diutamakan, para undecided voters akan semakin teralienasi dan tidak mengenal siapa Ganjar-Mahfud sebenarnya. Bukan tidak mungkin, mereka merasa Ganjar-Mahfud belum cukup memenuhi kebutuhan dan keyakinan mereka.
Atas dasar inilah, Ganjar-Mahfud bukan tidak mungkin perlu mengubah strategi kampanye mereka. Bisa jadi, mereka bahkan butuh merombak TPN-nya yang beberapa bulan ini telah gagal meningkatkan elektabilitas mereka.
Hmm, apakah ini saatnya Ganjar-Mahfud mengganti Arsjad Rasjid dkk di TPN mereka? Siapa tahu kan Ganjar-Mahfud perlu the dream team yang sebenarnya untuk mengubah kondisi saat ini menjelang Pilpres 2024? (A43)