Tidak diundangnya Ganjar Pranowo pada acara PDIP di Semarang, Jawa Tengah menambah drama antara Ganjar dan PDIP. Ganjar yang dinilai sudah kelewatan diminta untuk menahan ambisinya atas Pilpres 2024. Lalu, mengapa ini terjadi?
Jalan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 tidaklah mulus. Hubungan Ganjar dengan partainya sendiri, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kurang harmonis. PDIP juga telah memberikan sinyal kepada Ganjar untuk menekan ambisinya yang ingin maju Pilpres 2024.
Sikap “penolakan” PDIP terlihat ketika Ganjar yang tidak diundang pada acara PDIP dalam Pembukaan Pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya di Kota Semarang, Jawa Tengah pada Sabtu lalu. Acara tersebut dihadiri oleh Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan seluruh kepala daerah yang merupakan kader di Jateng.
Alasan Ganjar tidak diundang disuarakan oleh Ketua DPP PDIP Jateng Bambang Wuryanto. Ia menegaskan bahwa Ganjar telah kelewat batas dan bersikap sok pintar. Hal ini didasari karena Ganjar yang dinilai mencuri start kampanye untuk maju di Pilpres 2024 yang terlihat pada masifnya aktivitas Ganjar di sosial media. Bambang pun menegur Ganjar yang terlalu berambisi untuk Pilpres 2024.
Ganjar saat ini belum menyatakan niatnya yang ingin maju pada pilpres secara lisan. Namun, Bambang mengakui bahwa PDIP sudah dapat membaca arah politiknya.
Ganjar dipersalahkan karena membuat tim media sosial dan aktif di media massa. Aktivitasnya di media sosial dinilai sebagai upaya Ganjar untuk meningkatkan elektabilitas hingga akhirnya mendapatkan rekomendasi untuk maju menjadi calon presiden (capres).
Baca Juga: Ganjar “Bunuh Diri” Jika Tetap di PDIP?
Nama Ganjar memang kerap kali muncul dalam survei elektabilitas Capres 2024. Elektabilitas Ganjar juga jauh melampaui Puan Maharani. Berdasarkan hasil survei Puspoll Indonesia, Ganjar berada di posisi ketiga, sedangkan Puan di posisi ke-18 dengan elektabilitas 0,5 persen.
Jika dilihat dari pernyataan Bambang dan sikap PDIP, apakah ada maksud tertentu di balik tidak diundangnya Ganjar ke acara PDIP?
Tak Sesuai Kultur PDIP?
Tidak diundangnya Ganjar dalan acara PDIP identik dengan budaya Jawa. Fenomena tersebut menjadi peringatan keras bagi Ganjar karena bermakna ada acara di rumah sendiri, tetapi justru yang punya rumah tak diundang.
Ganjar memang memiliki modal politik untuk maju sebagai capres. Ganjar memiliki pengalaman sebagai kepala daerah, yakni Gubernur Jateng. Ganjar juga memiliki popularitas dengan elektabilitas yang tinggi. Walaupun Ganjar memiliki modal politik, namun Ganjar tampaknya kurang selaras dengan strategi PDIP yang menggunakan marketing partai politik (parpol) tradisional.
Berdasarkan tulisan Wisnu Prasetyo Utomo berjudul Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia: Belajar dari Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012 yang menjelaskan mengenai pemasaran atau marketing politik. Wisnu menjabarkan bahwa marketing politik tradisional merupakan strategi kampanye atau branding politik melalui pintu ke pintu dan mulut ke mulut atau word of mouth campaign. Hal ini berbeda dengan jenis marketing politik yang menggunakan media massa, seperti strategi politik yang digunakan Ganjar.
Selain itu, parpol yang menganut pemasaran tradisional biasanya mengedepankan kinerja kolektif organisasi sebagai produk politik utamanya. Parpol lebih mengutamakan organisasi daripada para publik figur kader, termasuk kepala daerah.
Berangkat dari tulisan Wisnu, gaya Ganjar tidak sesuai dengan PDIP yang menggunakan marketing tradisional. Ini menjelaskan sindiran Puan atas strategi politik Ganjar yang menggunakan media sosial.
Pada pidatonya di acara PDIP, Puan menyentil Ganjar sebagai figur politik yang sibuk di media sosial. Walaupun tidak menyebutkan nama Ganjar, Puan mengatakan pemimpin yang ideal berada di lapangan bukan di media sosial. Menurut Puan, ini menjadi salah satu kriteria calon presiden (capres) yang dijagokan PDIP.
Baca Juga: Anies-Ganjar Berebut Jokowi?
Sindiran terkait strategi politik media sosial Ganjar juga disuarakan oleh Bambang. Menurutnya, Ganjar membentuk tim media sosial untuk membangun pendukung melalui media massa. Ganjar pun menepis pernyataan tersebut dan menyebutkan dirinya memang bermain media sosial sejak duduk sebagai wakil rakyat di DPR.
Terlepas dari pernyataan Ganjar, dirinya memang populer di media sosial. Disebutkan bahwa media sosial berkontribusi signifikan pada elektabilitas Ganjar. Jika dilihat dari akun instagramnya, Ganjar terbilang sangat aktif. Ganjar juga dikritik oleh Bambang karena dirinya sendiri menjadi host untuk konten di YouTube Ganjar.
Bambang menyebutkan apa yang dilakukan Ganjar di media sosial, tidak dilakukan oleh kader PDIP lainnya yang juga berpotensi untuk menjadi capres.
Gaya Ganjar yang menggunakan strategi media sosial tampaknya tidak sejalan dengan PDIP yang masih menjalankan marketing tradisional. Selain itu, sikap ambisius Ganjar juga tidak sesuai dengan kultur PDIP.
Tegak lurus kepada perintah Ketua Umum merupakan bagian dari kultur PDIP. Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP dan tokoh sentral PDIP berkontribusi pada setiap gerak partai, termasuk pada rencana Pemilu 2024. Keputusan kader yang diusung oleh PDIP sebagai capres harus melalui restu dari Megawati. Pernyataan Bambang dan Puan dapat dilihat sebagai sinyal agar setiap kader diminta taat dan menunggu keputusan dari Megawati.
Sikap Ganjar yang dianggap sudah bermanuver untuk Pilpres 2024 dinilai “melangkahi” Megawati. Hal ini dikarenakan Megawati belum memberikan restu kepada Ganjar untuk bertindak demikian.
Jika dilihat kembali pada strategi marketing politik, mengapa PDIP masih menganut strategi tradisional? Melihat fakta bahwa PDIP merupakan salah satu partai yang memperoleh kemenangan di pemilu, apakah strategi marketing politik tradisional berhasil?
Marketing Politik Tradisional, Efektifkah?
Strategi politik melalui media massa sepertinya belum efektif di Indonesia. Hal ini menjelaskan figur politik seperti mantan politikus PAN Faldo Maldini yang terkenal di media sosial, namun gagal di Pemilu 2019.
Kembali pada tulisan Wisnu, ia mengatakan bahwa marketing politik tradisional memainkan faktor sosiologis masyarakat sehingga dapat menjaga loyalitas pemilih. Walaupun media massa dapat berkontribusi pada marketing parpol, namun kampanye atau informasi politik tidak bisa hanya berhenti di ranah digital. Tetap dibutuhkan marketing tradisional untuk melanjutkan kampanye digital, seperti melakukan blusukan dan kunjungan dari rumah ke rumah.
Jika dilihat dari karakteristik pemilih di Indonesia, marketing politik tradisional merupakan strategi paling efektif. Hal ini sejalan dengan tulisan Nyimas Latifah yang berjudul Peran Marketing dalam Dunia Politik. Latifah mengatakan ada empat tipe pemilih, yakni pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, dan pemilih skeptis. Pemilih tradisional merupakan pemilih mayoritas di Indonesia.
Mereka yang tergolong dalam pemilih tradisional biasanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan konservatif terhadap paham yang dianutnya. Selain itu, pemilih tipe ini tidak terlalu menganggap kebijakan partai penting. Mereka lebih mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai indikator untuk memilih partai politik. Mengutip pendapat Robert Rohrschneider, pemilih tradisional lebih mudah dimobilisasi dalam kampanye yang masuk pada kategori marketing tradisional.
Marketing tradisional juga menjadi efektif jika melihat literasi digital di Indonesia yang masih rendah. Berdasarkan survei Katadata tahun 2020, literasi digital Indonesia masih berada di angka 3,17 dari 4. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan bahwa kemampuan berdigitalisasi masih di bawah tingkatan baik. Kemampuan berdigitalisasi yang rendah tentu juga menghambat strategi politik media massa.
Baca Juga: Megawati Ternyata “Ibu Tiri” Ganjar?
Melihat rendahnya kemampuan berdigitalisasi dan pemilih tradisional sebagai kelompok mayoritas pada pemilu, maka menjadi tepat bagi PDIP untuk memilih strategi politik tradisional. Sebagai partai lama dan memiliki sejumlah prestasi pada pemilu, PDIP tentu mengetahui kondisi lapangan dan karakteristik pemilih di Indonesia.
Melihat strategi marketing politik tradisional yang masih dianut oleh PDIP, tentu Ganjar juga boleh turut memperbanyak marketing tradisional. Selain itu, Ganjar juga perlu menyesuaikan diri dengan kultur PDIP dan menunggu arahan lanjutan dari Megawati. Dengan melakukan dua hal ini, mungkin hubungan PDIP dan Ganjar dapat lebih harmonis dan menjadi pelumas jalan Ganjar menuju Pilpres 2024. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.