Publik menyalahkan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo atas batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia. Sejumlah pihak mulai melihat ini adalah bukti bahwa Ganjar tengah dikorbankan. Akan tetapi, benarkah hanya Ganjar korban dari permainan politik ini?
Meskipun dalam pernyataannya Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) tidak menyebutkan alasan spesifik kenapa mereka membatalkan Piala Dunia U-20 di Indonesia, mayoritas publik sangat yakin bahwa alasannya adalah karena penolakan-penolakan terhadap kedatangan tim nasional (timnas) Israel.
Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo secara otomatis jadi salah satu pejabat yang paling disalahkan oleh warganet, termasuk oleh para pemain timnas U-20 Indonesia.
Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum FIFA mengumumkan keputusannya, Ganjar sangat gencar menyuarakan penolakan kedatangan timnas Israel di sejumlah media. Ganjar beralasan penolakan itu dilakukan karena dia memegang teguh amanat Soekarno untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina, yang selama puluhan tahun berseteru dengan Israel.
Padahal, warganet menilai justru seharusnya kedatangan timnas Israel tidak perlu dicampuradukkan dengan persoalan politik karena seluruh permasalahan ini ujungnya hanya terkait sebuah permainan olahraga, apalagi, inipun sangat berkaitan dengan masa depan para atlet sepak bola muda Indonesia.
Meski kemudian Ganjar sangat menyesali pembatalan yang diputuskan FIFA, dirinya tetap bersiteguh dengan pendapatnya. Sikap tersebut justru kemudian malah turut diapresiasi oleh partainya, PDIP, yang sangat menghargai kekukuhan Ganjar – bersama dengan Gubernur Bali I Wayan Koster yang turut menolak kedatangan timnas Israel dengan keras.
Patut dicatat, PDIP sendiri adalah partai politik yang sangat keras menentang kedatangan timnas Israel.
Namun, seberapa tegasnya Ganjar dan PDIP menolak timnas Israel dengan alasan berefleksi pada sikap politik luar negeri Bung Karno, aksi tersebut tetap menunjukkan bahwa penolakan timnas U-20 Israel adalah hal yang begitu absurd dan cenderung tidak rasional untuk dilakukan oleh seorang Ganjar.
Mengapa? Well, ini karena sikap penolakan yang serupa tidak ditunjukkan pada pergelaran World Beach Games 2023 yang akan digelar pada Agustus 2023 di Bali. Padahal, di event olahraga tersebut tim renang perairan terbuka dan basket Israel akan bertanding di Pulau Dewata.
Dan, kalau ditarik lebih jauh ke belakang, pada Februari tahun ini, atlet Israel juga pernah bertanding di kejuaraan sepeda yang digelar di Indonesia tetapi PDIP dan Ganjar tidak melontarkan keluhan yang sama.
Atas dasar-dasar ini, alamiah bila kita mempertanyakan alasan di balik penolakan Ganjar dan PDIP. Mengapa PDIP dan Ganjar begitu lantang menolak kedatangan timnas Israel secara tiba-tiba?
Ganjar Bukan Korban Sebenarnya?
Pola ‘tebang pilih’ dalam penolakan kedatangan timnas Israel bisa diasumsikan dilakukan hanya karena atensi publik Indonesia yang begitu besar pada cabang olahraga sepak bola, bukan tentang persoalan prinsip politik luar negeri. Seperti yang kita ketahui, sepak bola adalah olahraga yang paling digemari orang-orang kita, otomatis dinamikanya pasti terkena sorotan utama.
Atas dasar inkonsistensi ini, pegiat media sosial sekaligus dosen Universitas Indonesia, Ade Armando menilai bahwa sikap Ganjar yang terkesan “tidak ada angin dan tidak ada hujan” menolak timnas Israel sebenarnya merupakan instruksi dari PDIP. Beberapa dugaan kuatnya adalah untuk membuktikan loyalitas Ganjar, dan sekaligus mengorbankan elektabilitasnya agar publik bisa fokus pada bakal calon presiden (bacapres), Puan Maharani.
Namun, kalau kita melihatnya dengan kacamata politik yang lebih luas, hal yang dilakukan Ganjar, yang kemudian berujung pada pembatalan pergelaran Piala Dunia U-20, juga sebenarnya sangat menyakiti citra dua tokoh politik besar lainnya. Siapa saja? Well, mereka adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir.
Dari perspektif Erick, beberapa bulan sebelum dirinya dilantik sebagai Ketum PSSI, publik memandang Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut sebagai harapan baru bagi persepak bolaan Indonesia, terlebih lagi setelah Erick berhasil melobi FIFA untuk tidak menjatuhkan sanksi pada Indonesia pasca-tragedi Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Kalau Piala Dunia U-20 diselenggarakan di Indonesia dan berjalan sukses, maka sudah pasti citra Erick sebagai “Mesias” sepak bola Indonesia akan meningkat secara signifikan. Dalam jangka panjang, ini bisa jadi modal yang kuat bagi Erick untuk maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti.
Nah, kalau dari pandangan Jokowi, pergelaran Piala Dunia U-20 yang sukses mampu menjadi legacy atau warisan yang akan begitu diingat masyarakat Indonesia. Bukan tidak mungkin, Jokowi mungkin akan dipandang sebagai bapak olahraga Indonesia.
Namun, pada ujungnya, penolakan yang dilakukan Ganjar sepertinya mampu menutup peluang-peluang tersebut. Bisa dikatakan, manuver ini bisa jadi sebenarnya adalah penjegalan terhadap Jokowi dan Erick.
Motif seperti ini sesungguhnya tidak terlalu sulit diimajinasikan karena di dalam dunia politik terdapat sebuah istilah yang disebut political sabotage atau sabotase politik.
Anthony Ripley dalam tulisannya Political Sabotage, a Murky Tradition Stretching Far Back From Watergate menyebutkan bahwa sabotase politik adalah ‘ciri khas’ dalam sebuah masyarakat demokrasi, yakni sebuah keadaan ketika ada pihak yang ingin menciptakan rasa malu dan gagal dalam citra penentang politiknya agar mereka bisa kehilangan pengaruh politik sebelum suatu kompetisi politik itu sendiri dimulai.
Sebuah sabotase politik yang efektif juga mampu membuat publik lebih terfokus pada kegagalan aktor yang sedang disalahkan, alih-alih melempar perhatian untuk mempertanyakan motif politik di belakangnya.
Dalam konteks timnas Israel, hal ini dibuktikan dengan munculnya pertanyaan di benak sejumlah orang tentang kenapa pemerintah tidak bisa mencegah penolakan timnas Israel. Padahal, pemerintah sebenarnya mereka punya waktu yang cukup untuk berkompromi dengan sejumlah tokoh politik karena pengumuman lolosnya timnas Israel sesungguhnya sudah dari beberapa bulan silam.
Alhasil, batalnya Piala Dunia U-20 akhirnya tidak hanya menutup keuntungan politik yang bisa didapatkan Jokowi dan Erick, melainkan di satu sisi juga menciptakan rasa kekecewaan publik terhadap mereka.
Lantas, bila dugaan sabotase politik ini benar, siapa yang kira-kira tega mendesainnya?
Pesan ‘Kejam’ PDIP?
Setidaknya sejak dua tahun ke belakang hubungan antara Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Jokowi ditengarai sedang dalam kondisi yang tidak begitu baik. Sejumlah kritik berulang kali dilontarkan politisi PDIP kepada sejumlah kebijakan Jokowi.
Terbaru, yang mungkin jadi indikasi paling keras adalah apa yang dikatakan Megawati tentang Jokowi ketika Hari Ulang Tahun PDIP ke-50 pada tanggal 10 Januari. Ia menyebut bahwa Jokowi yang kini jadi presiden Indonesia selama dua periode mungkin tidak apa-apanya jika mantan Wali Kota Surakarta tersebut tidak bergabung dengan PDIP.
Beberapa orang tentu punya pandangan yang berbeda terkait ini, ada yang menilai Jokowi semakin tidak disukai PDIP karena ia ingin melepas citra “boneka” yang sudah ditempelkan pada dirinya sejak periode pertama, ada juga yang melihat ini karena Jokowi takut dipandang sebagai “bebek lumpuh” – sebuah istilah politik yang diberikan pada seorang presiden yang kehilangan pengaruh politiknya di akhir masa jabatan.
Well, apapun itu, melihat tensi politik sekarang, menggelitik untuk dibayangkan narasi penolakan timnas Israel merupakan bentuk sabotase politik yang tengah dilakukan PDIP.
Yang lebih mengerikannya, selain bertujuan untuk mendisrupsi warisan politik Jokowi, seperti yang sudah disebutkan di atas, penolakan yang dilakukan oleh para kader PDIP yakni Ganjar dan Koster juga menjadi semacam show of force atau pembuktian kekuatan bahwa, hanya dengan beberapa pejabatnya saja, PDIP bisa sangat mempengaruhi mimpi-mimpi yang mungkin sedang dirancang Jokowi.
Bagi Erick, sabotase politik ini juga mungkin jadi semacam sentilan yang cukup pedas padanya agar tidak ke-pede-an bertindak layaknya seorang capres di 2024. Dugaan ini bisa kita refleksikan pada pernyataan politisi PDIP, Masinton Pasaribu, pada Mei 2022 yang mengatakan bahwa ada menteri yang memanfaatkan BUMN untuk pencitraan dirinya.
Meski sekilas terdengar sadis, fenomena-fenomena semacam ini sepertinya mulai menjadi jati diri perpolitikan di Indonesia. Wahyudi Kumorotomo dalam jurnalnya Serving the Political Parties: Issues of Fragmented Public Policy and Accountability in Decentralized Indonesia mengatakan bahwa, semenjak Reformasi, masa depan politik di Indonesia telah “dibajak” oleh para elite politik dari para partai terkuat di Indonesia. Karena kini kekuatan negara begitu terfragmentasi, masing-masing partai akhirnya memiliki kekuatan yang cukup untuk menyabotase sejumlah agenda pemerintah.
Dengan demikian, bisa diduga sabotase politik ini sebenarnya adalah sebuah pesan kuat dari PDIP kepada Jokowi dan Erick bahwa, at the end of the day, partai masih memiliki pengaruh politik yang lebih kuat dari mereka. Kalau Jokowi dan mungkin Erick masih berniat menantang keperluan PDIP, maka suatu waktu di masa depan mereka bisa bertindak serupa, atau bahkan mungkin lebih keras.
Pada akhirnya, dugaan ini membuat kita semua berpikir. Apakah pejabat yang menolak timnas Israel seperti Ganjar dan Koster hanyalah digunakan sebagai ‘senjata’ politik untuk menyerang Jokowi dan Erick semata? Well, sepertinya hanya para elite politik yang bisa memastikannya. Yang jelas, publik dan para atlet turut menanggung kesedihannya. (D74)