Memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi jelas merupakan modal berharga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk maju di Pilpres 2024 dan menjadi kandidat pilihan PDIP. Namun, seiring dengan kabar Ganjar memiliki masalah internal dan sulit mendapatkan restu Megawati, haruskah Ganjar berlabuh ke Partai Golkar atau Nasdem agar dapat maju di 2024?
“Once they have power, they really are happier, because they feel more authentic—the power makes them feel like the circumstances of their lives are more in line with who they feel they are inside” – Julie Beck, dalam People Want Power Because They Want Autonomy
Pilpres 2024 adalah pertarungan bebas. Dengan tidak adanya petahana, besar kemungkinan kontestasi akan diisi oleh nama-nama segar. Sejak 2019 lalu berbagai survei terkait kandidat telah bermunculan. Sampai saat ini, setidaknya terdapat tiga nama yang selalu menempati posisi teratas, yakni Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo.
Terkhusus nama terakhir, Ganjar tampaknya tengah berada di posisi dilematis. Betapa tidak, kendati elektabilitasnya tinggi dalam berbagai survei, PDIP disebut-sebut tidak menjadikan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) ini sebagai opsi untuk diusung di Pilpres 2024.
Ini misalnya dikemukakan oleh pengamat politik dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Setia Budhi Rangkasbitung Haris Hijrah Wicaksana pada 12 Maret. Pun begitu oleh Direktur Eksekutif Indopolling Network, Wempy Hadir pada 26 Februari.
Pernyataan pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin tampaknya menjadi jawaban atas keganjilan tersebut. Pada 4 Desember 2020, Ujang menyebut telah mendapat informasi bahwa Ganjar tidak mendapat restu dari Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
Baca Juga: Puan Sulit Taklukkan Ganjar?
“Kemarin saya dapat kabar dari orang dalam PDIP, dalam satu pertemuan dengan Megawati dan Ganjar, di situ ada Effendi Simbolon (politikus PDIP), dan ketika Ganjar masuk, Effendi Simbolon mengatakan, ‘ini calon presiden kita’. Lalu Megawati mukanya langsung merah. Artinya tidak berkenan dalam konteks itu,” begitu tutur Ujang.
Jika benar masalah utama Ganjar ada pada restu Megawati, apakah itu menjadi penegasan atas tesis bahwa PDIP telah berubah menjadi partai “trah Megawati”? Lalu, persoalan apa yang sekiranya membuat Ganjar sulit mendapat restu dari Presiden ke-5 RI tersebut?
Trah Soekarno Jadi Trah Megawati?
Kita tentu lumrah dengan pernyataan mereka yang memimpin PDIP haruslah dari trah Soekarno. Ini misalnya disebutkan oleh Marcus Mietzner dalam tulisannya Indonesia’s 2009 Elections: Popullism, Dynasties, and the Consolidation of the Party System.
Namun, benarkah demikian? Pada perkembangannya, khususnya setelah Megawati memimpin PDIP, tampaknya telah terjadi pergeseran, di mana kandidat pemimpin partai mengerucut menjadi trah Megawati.
Cara membuktikannya sederhana. Jika benar PDIP mensyaratkan trah Soekarno, apakah mungkin Sukmawati Soekarnoputri menjadi pemimpin PDIP menggantikan Megawati? Sulit dibayangkan bukan.
Sampai saat ini kandidat terkuat pengganti Megawati adalah Puan Maharani, Prananda Prabowo, dan Mohammad Rizki Pratama. Ketiganya adalah anak Megawati. Terkait Rizki Pratama, namanya baru-baru ini dimunculkan oleh pengamat politik Hendri Satrio.
Memang ada pula yang menyebut sosok seperti Budi Gunawan (BG) dan Joko Widodo (Jokowi). Pada kasus BG, banyak yang menyebutnya karena hubungan dekatnya dengan Megawati. Sementara Jokowi? Peluangnya sangat kecil. Saat ini, mereka yang mendukung Jokowi sebagai pengganti Megawati disebut tidak mendapat ruang di PDIP.
Oleh karenanya, seperti pernyataan Ujang bahwa PDIP adalah partai keluarga, sekiranya lebih tepat menyebut PDIP saat ini mensyaratkan trah Megawati daripada trah Soekarno.
Secara teoretis, fenomena tersebut dapat dipahami melalui konsep kepemimpinan otokratis (autocratic leadership). Kendra Cherry dalam tulisannya Autocratic Leadership: Key Characteristics, Strengths, and Weaknesses menyebut gaya kepemimpinan otokratis ditandai dengan sosok pemimpin yang mengontrol semua keputusan tanpa dipengaruhi anggota kelompok yang lain.
Baca Juga: Manuver Megawati Serang Jokowi?
Melihat pada pengalaman hidup Megawati yang menyaksikan ayahnya, Soekarno direpresi oleh rezim Soeharto, serta partainya mendapat hantaman bertubi-tubi, seperti peristiwa Kudatuli pada 27 Juli 1996, di mana kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) – nama PDIP sebelumnya – ingin diambil paksa, sangat wajar sebenarnya jika Megawati menjadi pemimpin otokratis yang disebut-sebut punya trust issue. Megawati disebut sulit percaya dengan orang lain, khususnya orang baru.
Persoalan tersebut dapat dipahami melalui personal construct theory. Kendra Cherry dalam tulisannya Personal Construct Theory Overview menyebut setiap individu mengembangkan konstruksi pribadi (cara pandang personal) tentang bagaimana dunia bekerja.
Mengutip psikolog George Kelly, setiap individu dipercaya mengembangkan sekumpulan konstruksi pribadi, yang pada dasarnya merupakan representasi mentalnya, yang digunakan untuk menafsirkan peristiwa.
Mengacu pada personal construct theory, dengan pengalaman Megawati yang melihat ayah dan partainya direpresi, sangat wajar kemudian Megawati mengalami trust issue dan menjadi pemimpin otokratis. Setiap keputusan PDIP harus atas restu Megawati.
Ganjar Ingin Berotonomi?
Nah, sekarang persoalannya menjadi menarik. Jika keputusan PDIP berkutat pada restu Megawati, mudah untuk menyimpulkan Ganjar tampaknya tidak menunjukkan loyalitas, sehingga Megawati enggan mengusungnya di Pilpres 2024.
Jika itu benar, mengapa Ganjar berprilaku demikian? Selaku politisi yang telah lama menjadi kader PDIP, Ganjar seharusnya sangat paham gaya kepemimpinan Megawati dan bagaimana cara kerja di tubuh PDIP.
Julie Beck dalam tulisannya People Want Power Because They Want Autonomy tampaknya dapat menjawab keganjilan tersebut. Mengutip studi gabungan dari University of Cologne, University of Groningen dan Columbia University, Beck hendak menjawab pertanyaan, apakah kekuasaan (power) itu sebagai pengaruh (influence) atau sebagai otonomi (autonomy).
Pertanyaan penelitiannya adalah, antara (1) kondisi dapat memengaruhi atau mengontrol orang lain, dengan (2) kondisi berotonomi atau terbebas dari kontrol orang lain, mana yang lebih memuaskan hasrat individu akan kekuasaan?
Dari berbagai eksperimen yang dilakukan, hasilnya menunjukkan hasrat kekuasaan partisipan ternyata lebih terpuaskan dengan kondisi berotonomi daripada kondisi mengontrol orang lain.
Jika temuan tersebut berlaku universal, mudah untuk menyimpulkan, saat ini Ganjar ingin berotonomi atau terlepas dari bayang-bayang Megawati dan PDIP untuk memenuhi ambisinya maju di gelaran Pilpres 2024.
Bau-bau persoalan ini sebenarnya telah terlihat dari Pemilihan Bupati (Pilbup) Purbalingga 2020. Saat itu, alih-alih mendukung pasangan Dyah Hayuning Pratiwi dan Sudono yang menjadi jagoan PDIP, Ganjar justru mendukung adik iparnya, Zaini Makarim yang menjadi wakil dari Muhamamad Sulhan Fauzi. Pilbup Purbalingga juga disebut-sebut sebagai awal dari keretakan hubungan Ganjar dengan PDIP.
Seperti kutipan pernyataan Beck di awal tulisan, hasrat kekuasaan Ganjar mungkin lebih terpuaskan jika merasa melakukan sesuatu atas dasar keinginannya sendiri. Ini juga dapat menciptakan perasaan bahagia.
Nah, dengan sulitnya mendapat restu dari Megawati, sebelum 2022 nanti, Ganjar harus berlabuh ke partai lain jika ingin maju di Pilpres 2024.
Ada dua partai yang layak dipertimbangkan Ganjar, yakni Partai Golkar dan Partai Nasdem. Keduanya adalah partai besar dengan mesin logistik yang besar, namun memiliki persoalan pada minimnya kader prominen.
Sampai saat ini, Nasdem juga disebut memantau situasi Anies Baswedan dan Ridwan Kamil yang memang tidak memiliki partai. Dengan elektabilitas yang tinggi, Nasdem bisa saja mengusung Ganjar jika Gubernur Jawa Tengah itu memilih bergabung ke partai besutan Surya Paloh tersebut.
Di Golkar juga situasinya mirip-mirip. Akan tetapi, dengan partai beringin yang ingin kembali menjadi hegemonic party (partai hegemon), besar kemungkinan Airlangga Hartarto yang menjadi prioritas untuk diusung. Ini juga telah ditegaskan oleh Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia.
Baca Juga: Safari Airlangga Sinyal Tiga Poros di 2024?
“Kami kemarin mendengarkan aspirasi dari seluruh DPD, kemudian ormas-ormas di himpunan Partai Golkar, seluruh dewan-dewan yang ada di Partai Golkar itu menyuarakan, menginginkan bahwa Golkar punya calon presiden sendiri dan mereka sudah menyerap aspirasi, mereka mengusulkan Pak Airlangga Hartarto,” begitu penegasannya pada 23 Maret.
Well, pada akhirnya hanya waktu yang dapat menjawab bagaimana nasib Ganjar nantinya. Dengan sikap pragmatisme parpol di Indonesia, besar kemungkinan Ganjar akan mendapat berbagai rayuan nantinya jika PDIP memang benar-benar tidak mengusungnya di Pilpres 2024.
Lagipula, ada pula kemungkinan Ganjar akan berubah dan kembali menunjukkan loyalitasnya kepada PDIP. Kita lihat saja perkembangannya. (R53)