Atas kasus-kasus hukum yang menimpa banyak pendukungnya, kubu Prabowo Subianto menuduh Jokowi menggunakan hukum sebagai alat politik kekuasaan. Dengan konteks Pilpres yang sudah di depan mata, penggunaan cara-cara yang menekan psikologi lawan adalah strategi untuk memenangkan pertarungan, sekalipun harus mengorbankan sportivitas. Semuanya bergantung pada kecerdikan memanfaatkan sumber daya yang ada tanpa melanggar aturan yang berlaku – fenomena yang bisa disebut sebagai gamesmanship.
PinterPolitik.com
“It is not wisdom but authority that makes a law.”
:: Thomas Hobbes ::
[dropcap]K[/dropcap]asus-kasus hukum yang menyerang beberapa simpatisan dan pendukung kelompok oposisi beberapa waktu terakhir memang menjadi salah satu sorotan utama penegakan hukum di Indoneia – setidaknya dalam kacamata lawan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kasus hukum yang menimpa Ahmad Dhani dan Habib Bahar bin Smith misalnya, dianggap sebagai bentuk ketidakadilan hukum karena cenderung menjerat kelompok-kelompok yang mendukung oposisi.
Yang terbaru adalah kasus Suhartono, Kepala Desa Sampangagung, Kabupaten Mojokerto, yang dilaporkan ke polisi karena mengajak warganya menyambut cawapres pasangan Prabowo Subianto, Sandiaga Uno saat mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu berkunjung ke wilayahnya.
Sosok Suhartono dan Ahmad Dhani mungkin tidak akan banyak berpengaruh. Namun, Bahar bin Smith punya massa kuat. Apalagi sosoknya dipandang sebagai pendakwah yang punya pengaruh. Share on XTak tanggung-tanggung, ancaman hukuman yang ditimpakan pada sang kades adalah kurungan 6 bulan dengan masa percobaan 1 tahun dan denda Rp 12 juta.
Suhartono akhirnya divonis hukuman 2 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Mojokerto, hal yang lagi-lagi disorot oleh oposisi. Salah satunya adalah politisi Partai Gerindra, Muhammad Syafi’i yang dalam sebuah kesempatan memprotes kasus-kasus tersebut.
Pria yang menjabat sebagai anggota Dewan Penasehat Partai Gerindra itu menyebutkan bahwa hukum terlihat sedang dijadikan sebagai alat politik kekuasaan oleh rezim Jokowi yang saat ini berkuasa. Menurut Syafi’i, ketegasan hukum kini terlihat tidak adil bagi pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Sementara, untuk orang-orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan, justru mendapatkan keringanan hukuman.
Tuduhan Syafi’i ini memang menjadi bahasa serangan politik yang dalam beberapa tahun terakhir sering digunakan untuk menyerang Jokowi.
Apa yang dikatakan oleh Syafi’i ini kemudian membawa kembali perdebatan tentang posisi hukum dan kekuasaan yang pertaliannya telah didefinisikan ulang sejak konsepsi negara bangsa (nation state) mengambil tempat dalam peradaban manusia di abad ke-17 lalu.
Tentu pertanyaanya adalah apakah strategi politik yang demikian sah-sah saja digunakan dalam kontestasi elektoral dan bisa menguntungkan bagi kubu tertentu?
Gamesmanship, Sebuah Strategi Politik
Pada tahun 1644, Samuel Rutherford – seorang teolog Presbiterian Skotlandia – menulis buku berjudul Lex, Rex yang dianggap sebagai dasar pemahaman peradaban modern tentang supremasi hukum di atas kekuasaan.
Buku yang terbit 4 tahun sebelum perjanjian damai Westphalia yang menjadi akhir dari perang agama 30 tahun antara Katolik dan Protestan di Eropa ini, menjadi pembalikan konsep kekuasaan dan hukum. Konsep yang semulanya percaya bahwa “the king is law” – raja adalah hukum – diubah menjadi “law is the king” – hukum adalah raja.
Konteks tulisan Rutherford tersebut kemudian menjadi jalan masuk pemahaman bahwa kekuasaan sebesar apa pun harus tetap tunduk pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Walaupun kelahiran prinsip ini sebetulnya sudah terlihat ketika Raja Henry II mendirikan pengadilan profesional pertama di Westminster, Inggris pada tahun 1230-an, namun garis tulisan Rutherford menjadi penunjuk arah yang lebih jelas terkait konteks kekuasaan kontemporer.
Memang, tentu saja dalam pelaksanaannya, kekuasaan seringkali membuat orang membalikkan prinsip-prinsip yang sudah dibentuk sejarah itu dengan sesukanya. Hukum kemudian digunakan sebagai alat kekuasaan dan menjadi bagian dari upaya untuk mempertahankan kekuasaan tersebut.
Bahkan, menurut Lynne Henderson dari University of Nevada, karena hukum adalah alat kekuasaan sosial dan politik dan menjadi instrumen utama bagi pemerintah untuk menunjukkan legitimasinya di hadapan masyarakat, seringkali keberadaannya menjadi “rawan” digunakan untuk tujuan-tujuan pembentukan kekuasaan otoritarian. Hukum sebagai instrumen negara yang “memaksa” rakyat kemudian menjadi alat pemaksaan kepentingan kekuasaan.
Lalu, apakah hal itulah yang sedang terjadi pada rezim Jokowi saat ini dalam konteks penggunaan hukum yang oleh oposisi disebut menjadi alat politik kekuasaan?
Jawabannya mungkin benar, tetapi pada titik tertentu saja. Konteks pemerintahan Jokowi belum sampai pada level membalikkan kembali konteks Lex, Rex Rutherford. Namun, karena konteks politik saat ini menjelang Pemilu, maka persepsi yang terbentuk atas hal ini tidak bisa dihindari.
Pasalnya, kondisi jelang Pilpres 2019 membuat irisan antara penegakan hukum dengan konteks penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan menjadi sangat tipis. Irisan itu pun tergantung dari sudut pandang mana persoalan ini dilihat.
Yang jelas, bagi kubu oposisi, kasus-kasus yang menjerat Ahmad Dhani, Habib Bahar bin Smith dan Suhartono dianggap sebagai bagian dari politik kekuasaan, sekalipun jika dilihat secara spesifik, tentu saja ada aturan hukum dan Undang-Undang yang mereka langgar.
Ahmad Dhani didakwa melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Bahar melanggar UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta UU ITE, sementara Suhartono melanggar UU Pemilu. Namun, seringkali pemikiran manusia sulit membedakan mana kebenaran dan mana persepsi – hal yang disebutkan oleh pemilik lembaga konsultan Trout & Partners, Jack Trout dalam salah satu tulisannya di Forbes.
Hal inilah yang membuat kasus-kasus hukum tersebut dinilai berdasarkan persepsi yang timbul dan sudut pandang yang dipakai, tanpa mempertimbangkan lagi konteks kebenarannya.
Sementara, dalam hal mencari celah untuk kepentingan kekuasaan seperti yang dituduhkan oleh oposisi, Jokowi memang bisa disebut menjalankan apa yang disebut sebagai political gamesmanship. Terminologi ini diadopsi dari bidang olahraga untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang menggunakan segala cara untuk memenangkan pertandingan tanpa benar-benar berbuat curang.
Strategi yang umumnya terjadi adalah mem-push atau mendorong permainan sampai pada titik paling mepet dengan batas kecurangan atau pelanggaran. Artinya, tidak ada pelanggaran yang terjadi, namun sebetulnya juga menyalahi prinsip-prinsip dasar sportivitas.
Gamesmanship memang menjadi lawan dari sportsmanship, di mana istilah yang terakhir dicirikan dengan nilai-nilai sportivitas, menghormati lawan, dan menjunjung nilai-nilai yang dianggap harus dihormati.
Tujuan gamesmanship tentu saja adalah untuk meraih kemenangan sekaligus juga merusak psikologi lawan.
Contohnya seperti yang sering dilakukan oleh atlet badminton, Kevin Sanjaya Sukamuljo yang kerap memprovokasi lawan di lapangan dengan aksi-aksi “tengil”, atau yang umum dilakukan oleh pemain sepak bola dan olahraga lainnya untuk memprovokasi lawan secara psikologis, yang pada titik tertentu berhasil menghancurkan mental bertanding lawan dan merusak permainannya.
Dalam konteks politik, gamesmanship memang sangat umum dilakukan oleh para politisi lewat pernyataan-pernyataan yang menggertak lawan, atau menyerang tanpa melanggar aturan, dan lain sebagainya. Artinya, bukan hanya Jokowi yang bisa melakukan hal ini, tetapi kubu Prabowo pun bisa melakukan hal yang sama.
Untungkan Petahana?
Jokowi memang belum bisa dikatakan benar-benar melakukan pembalikan prinsip Lex, Rex. Namun, konteks kekuasaannya sebagai petahana dan aksesnya kepada lembaga-lembaga hukum memang membuat dirinya punya sumber daya yang lebih besar untuk memenangkan pertarungan politik – hal yang oleh banyak ahli politik disebut sebagai incumbent advantages atau keunggulan petahana.
Jokowi sangat mungkin menerapkan gamesmanship dan mem-push strategi kampanye politiknya sampai pada batas mepet dengan kecurangan atau pelanggaran. Persoalannya adalah ketika strategi yang dipakai adalah dengan menggunakan hukum.
Pasalnya, instrumen hukum adalah alat untuk menjamin ketertiban masyarakat. Ketika hukum digunakan oleh pemerintah untuk membentuk persepsi publik atau mencapai kepentingan tertentu, maka suatu saat ada ancaman kehilangan legitimasi yang menghantui. Masyarakat sangat mungkin kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan yang berkuasa, bahkan terhadap hukum yang berlaku.
Konteks tersebut tidak akan terjadi jika pemerintahan yang berkuasa benar-benar kuat. Pertanyaannya adalah apakah pemerintahan Jokowi kuat? Jawabannya memang kuat, namun tidak benar-benar kuat. Jokowi masih mungkin digoyang oleh isu-isu berbasis identitas.
Dalam kasus-kasus hukum itu misalnya, sosok Suhartono dan Ahmad Dhani mungkin tidak akan banyak berpengaruh. Namun, hal yang berbeda jika kita berbicara mengenai Bahar bin Smith yang punya massa kuat. Apalagi sosoknya dipandang sebagai pendakwah yang punya pengaruh.
Pada akhirnya semua akan kembali pada pendekatan yang dipakai oleh Jokowi. Jika berhasil memanfaatkan gamesmanship dengan baik, maka kemenangan sudah ada di depan mata. Tidak ada yang adil dan sportif dalam politik, jenderal! (S13)