Site icon PinterPolitik.com

Game of Thrones Ketua MPR

Game of Thrones Ketua MPR

Cak Imin jadi yang terdepan merebut kursi Ketua MPR (Foto: istimewa)

Kursi Ketua MPR kini jadi komoditas panas yang diperebutkan beberapa pihak. Muhaimin Iskandar menjadi yang terdepan melakukan manuver politik mengamankan posisi tersebut. Didukung oleh Wapres terpilih, Ma’ruf Amin, ia berhadapan dengan sang petahana, Zulkifli Hasan yang masih menginginkan posisi itu. Sementara, belakangan Gerindra dan Golkar juga menyiratkan keinginan serupa. Dengan wacana akan adanya amandemen UUD 1945, siapa yang akan memenangkan perebutan mahkota kekuasaan ini?


PinterPolitik.com

“The measure of a man is what he does with power.”

:: Plato (428-348 SM) ::

Konstitusi dan keberadaaan sebuah negara memang tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, sejak lahirnya code of justice di Sumeria pada masa kekuasaan Raja Urukagina pada tahun 2300 SM – yang menjadi prototipe konstitusi pertama dalam sejarah – peran konstitusi memang penting menjadi dasar hukum dan norma dalam politik serta kehidupan bernegara.

Code of justice ini dianggap sebagai cikal bakal konstitusi yang ada hingga saat ini, sekalipun konsep negara bangsa atau nation state baru lahir setelah perjanjian Westphalia tahun 1648.

Karena posisi konstitusi yang penting dan menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, posisi lembaga yang punya kewenangan mengubahnya menjadi sangat prestisius.

Hal inilah yang mungkin menyebabkan mengapa kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi rebutan banyak pihak beberapa waktu belakangan ini. Pasalnya, MPR adalah lembaga yang punya kewenangan mengubah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjadi konstitusi Indonesia.

Kini, perebutan kursi Ketua MPR itu memasuki babak baru. Pasca Pilpres 2019, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menjadi salah satu yang terdepan dalam perebutan jabatan tertinggi di lembaga tinggi negara ini.

Bahkan, dalam beberapa pernyataan resminya, Cak Imin secara percaya diri telah menyebut dirinya akan menjadi Ketua MPR. Manuver yang dilakukannya pun bukan asal-asalan. Ia telah bertemu dengan Wakil Presiden terpilih, Ma’ruf Amin untuk meminta dukungan.

Dalam pernyataan resminya, Ma’ruf juga telah menyebutkan bahwa ia akan memberikan pertimbangan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan partai-partai koalisi terkait sosok yang cocok untuk posisi tersebut. Ma’ruf menyebut Cak Imin sebagai “orang dekat” dirinya, sehingga pasti didukungnya.

Manuver Cak Imin ini tentu menarik, apalagi melihat konteks posisinya yang kini juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR, pun dari konteks posisinya sebagai pimpinan partai politik yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).

Hal lain yang juga menarik adalah bahwa posisi ini juga diincar oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Zulkifli adalah Ketua MPR petahana yang kini menduduki kursi tersebut. Sekalipun PAN awalnya berada di koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, namun belakangan partai berlambang matahari tersebut juga bermanuver untuk masuk ke pemerintahan Jokowi.

Posisi tertinggi di MPR menjadi salah satu incaran utama partai tersebut. Namun, dengan munculnya minat untuk menjadi Ketua MPR dari partai-partai pendukung Jokowi, PAN tampaknya pasrah jika tak dapat merengkuh posisi tersebut.

Belakangan kursi kekuasaan ini juga diincar oleh Golkar dan Gerindra. Khusus untuk Gerindra, hal ini tentu menarik mengingat partai tersebut kalah dalam Pemilu kali ini dan tentu melihat kursi Ketua MPR sebagai deal politik yang cukup menguntungkan untuk dikejar, seiring masih cairnya wacana akan adanya pemerintahan bersama dengan Jokowi dan Prabowo di dalamnya.

Pertanyaan terbesar yang kemudian muncul adalah mengapa posisi pucuk lembaga tinggi negara ini begitu diperebutkan oleh beberapa faksi politik?

Tarung Besar Kursi Pendekar

Sejak berakhirnya kekuasaan Orde Baru, MPR memang mengambil tempat sebagai salah satu sentral politik Indonesia. Hal ini tentu terkait dengan kewenangan lembaga tersebut mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan konstitusi, pun dengan kekuasaan eksekutif. MPR menjadi representasi kekuasaan rakyat atas negara pada tataran yang paling tinggi.

Lembaga ini punya kewenangan yang besar, termasuk terhadap kekuasaan eksekutif karena bisa memberhentikan presiden dan wakil presiden jika dianggap melanggar UUD 1945.

Walaupun posisi Ketua MPR hanya bersifat fungsional dan kekuatan utama lembaga tersebut tetap ada di anggota, namun jabatan ini tetap berperan penting dalam konteks pembentukan agenda dan lobi-lobi politik di dalamnya. Ketuk palu Ketua MPR juga ikut menentukan berlaku atau tidaknya sebuah kebijakan tertentu.

Di awal reformasi, publik tentu menyaksikan kekuatan politik Amien Rais yang menjabat sebagai Ketua MPR kala itu. Amien misalnya dituduh “bertanggung jawab” terhadap naiknya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden, dan dia pula lah yang menjatuhkan kiai NU tersebut dari kekuasaan.

Sekalipun kini kewenangan Ketua MPR tidak lagi sebesar di era Amien, namun jabatan tersebut masih sangat prestisius.

Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), kewenangan pimpinan MPR antara lain memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan, menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua, menjadi juru bicara MPR dan melaksanakan putusan MPR.

Selain itu, pimpinan MPR juga berwenang mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika, serta beberapa fungsi lain yang berhubungan dengan anggaran kelembagaan. Fungsi-fungsi tersebut tentu bisa berkaitan dengan berhasil tidaknya agenda tertentu dibicarakan dalam sidang-sidang MPR.

Di era Taufik Kiemas, publik juga menyaksikan bagaimana suami dari Megawati Soekarnoputri itu membawa MPR menjadi motor penggerak 4 pilar kebangsaan. Posisi Taufik sebagai Ketua MPR juga menjadi sentral hubungan kekuasaan antara pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan PDIP dan Megawati sebagai oposisi.

Kemudian, posisi Ketua MPR untuk periode 2019-2024 juga akan semakin sentral karena munculnya wacana akan dihidupkannya kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Semua faksi politik tentu ingin ambil bagian dalam proses tersebut, termasuk kepentingan yang bisa diselipkan di dalamnya.

Wacana lain yang juga muncul adalah tentang akan diamandemennya UUD 1945 dalam waktu 5 tahun ke depan. Hal terakhir ini membuat beberapa partai politik ngotot mengincar kursi pimpinan yang dianggap bisa mendorong terwujudnya hal tersebut.

PDIP misalnya, sudah terang-terang menginginkan pimpinan MPR yang bisa memfasilitasi amandemen UUD 1945. Bahkan, sudah ada dua panitia ad hoc (PAH) yang diusulkan untuk dibentuk, yaitu PAH I mengenai haluan negara yang dipimpin oleh politisi PDIP Ahmad Basarah dan PAH II tentang rekomendasi MPR yang dipimpin politisi Golkar Rambe Kamarulzaman.

Namun, “proyek” amandemen ini menjadi sangat rawan karena MPR sedang menjalankan kewenangannya “bermain” dengan konstitusi negara. Kata “bermain” menjadi layak untuk dipakai jika berkaca dari isu yang muncul di seputaran amandemen UUD 1945 pasca kejatuhan Soeharto, di mana banyak yang menuduh negara ini sudah “diperjualbelikan” oleh oknum-oknum yang ikut dalam proses amandemen tersebut.

Sementara, partai lain seperti Gerindra misalnya, merasa berhak ada di puncak kekuasaan lembaga ini karena visi besar yang ada dalam Manifesto partai tersebut untuk mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya sebelum diamandemen.

Memang motivasi tersebut melahirkan multiinterpretasi, mengingat posisi partai yang dipimpin Prabowo itu sedang dalam keadaan yang “kalah” pada Pemilu 2019. Artinya, di satu sisi Gerindra memang butuh kursi Ketua MPR sebagai alat tawar politik mereka di hadapan kekuasaan. Laporan Tempo misalnya menyebutkan posisi ini sebagai salah satu yang diajukan sebagai syarat rekonsiliasai pasca Pilpres.

Cak Imin dan Tarung Ideologis

James C. Davies dalam salah satu tulisannya untuk jurnal The Western Political Quarterly edisi tahun 1959, menggunakan istilah political motivation atau motivasi politik untuk menyebut langkah yang diambil oleh seseorang ketika  dihadapkan pada pilihan-pilihan.

Karena kekuasaan adalah ujung dari politik, maka setiap perebutan kursi dan jabatan tertentu memang tak akan lepas dari motif politik. Aristoteles pernah membahasakannya dengan menyebut manusia sebagai zoon politicon atau political animal.

Dalam konteks kursi Ketua MPR, memang setiap faksi sedang ada dalam tahap perjuangan kepentingannya masing-masing. Cak Imin tentu ingin mengulang sejarah Idham Chalid yang mewakili NU menjadi Ketua MPR periode 1971-1977. Ini juga sekaligus menjadi lambang kekuatan faksi politik di ormas Islam independen terbesar di dunia tersebut.

Tantangannya tentu saja menjadi lebih besar karena gejolak politik dan ideologis dengan NU di dalamnya beberapa waktu terakhir menjadi semakin kompleks. Menguatnya Islam politik dari kelompok konservatif tentu menjadi pembeda gesekan politik pada tingkatan teratas, termasuk di MPR.

Pilpres 2019 menjadi wajah paling jelas untuk melihat konteks benturan kelompok sarungan yang tradisionalis melawan kelompok cingkrangan yang konservatif. Artinya, motivasi Cak Imin memang sampai pada tingkat yang tertinggi untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu.

Apapun itu, yang jelas posisi Ketua MPR – sekalipun punya kewenangan dalam pembentukan agenda – tetap tidak akan mempu melampaui legitimasi suara anggota. Usul perubahan UUD 1945 misalnya, harus diajukan minimal oleh sepertiga anggota.

Dengan demikian, prestise posisi Ketua MPR memang akan kembali ke marwahnya sebagai lembaga tinggi yang mewakili kekuasaan rakyat – atau pun lobi-lobi menguntungkan di balik kebijakan yang diambil.

Sementara, bagi tokoh-tokoh yang bersaing memperebutkannya, game of thrones ini adalah alat ukur integritas. Sebab, seperti kata Palto di awal tulisan, nilai seseorang sebagai manusia bisa dilihat ketika dirinya diberi kekuasaan. (S13)

Exit mobile version