Site icon PinterPolitik.com

Gamal Mustahil Kalahkan Kaesang?

Kaesang Pelajaran untuk Prabowo

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (kanan) berbincang santai dengan putranya, Kaesang Pangarep (kiri). (Foto: YouTube/@kaesangp)

Kaesang Pangarep disebut-sebut siap untuk menjadi Wali Kota Depok selanjutnya. Menghadapi langkah Kaesang yang tampak “cukup berani” ini, PKS menyiapkan tiga nama untuk menghadapi Kaesang, termasuk dokter Gamal Albinsaid yang juga cukup menarik secara impresi di kalangan mudatenar di mata anak muda. Lalu, apakah Gamal mampu mengalahkan Kaesang nantinya?


PinterPolitik.com

Putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep membuat gebrakan di dunia politik. Beredar kabar bahwa Kaesang mengaku siap untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Depok pada Pilkada 2024 mendatang. Majunya Kaesang dalam Pilkada Depok pun sudah disambut hangat oleh PDIP hingga PSI.  

Kaesang diklaim sedang mencoba peruntungannya dalam dunia politik. Sebagaimana kakaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang berhasil menjadi Wali Kota Solo, kini sang adik berupaya untuk meraih kemenangan yang sama.  

Meski demikian, belum diketahui pasti alasan dibalik memilih Kota Depok sebagai medan pertarungan bagi ambnisinya itu. Majunya Kaesang juga diklaim akan “merusak” dominasi PKS di Depok. Hal ini dikarenakan PKS sudah menguasai posisi Wali Kota di wilayah ini selama bertahun-tahun.  

Selain itu, dengan posisinya Kaesang sebagai anak Presiden RI, dikhawatirkan bahwa dominasi mereka akan luntur seketika. Merespons hal tersebut, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS Kota Depok mengajukan tiga nama untuk menghadapi Kaesang.  

Beberapa diantaranya yaitu Imam Budi Hartono selaku Wakil Wali Kota Depok, Muhammad Kholid selaku Juru Bicara PKS, dan Gamal Albinsaid selaku Ketua Bidang Kepemudaan PKS. Dari tiga nama tersebut, justru yang menjadi sorotan ialah Gamal itu sendiri.  

Gamal sudah dikenal luas sebagai sosok yang inspiratif karena telah berkiprah banyak dalam dunia kesehatan maupun lingkungan. Kiprah Gamal diklaim akan mampu menggaet suara anak muda yang saat ini menjadi incaran menjelang Pemilu 2024 nantinya. 

Dengan demikian, maka kans yang dimiliki Gamal jauh lebih tinggi dibandingkan dua nama lainnya untuk bertarung dengan Kaesang. Keputusan ini menjadi gambaran bagaimana PKS sudah mulai mengkhawatirkan sosok Kaesang dalam merebut dominasinya di kota ini 

Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, yakni mengapa PKS seolah khawatir dan begitu terancam atas kehadiran nama Kaesang di Depok dalam Pilkada 2024? 

Basis PKS Sedang Digoyang? 

Depok sebagai wilayah yang berbatasan dengan DKI Jakarta kerap mendapatkan sorotan akhir-akhir ini. Tidak hanya soal kontroversinya, namun juga dinamika politik lokal di Depok itu sendiri.  

Sejak awal Reformasi, perebutan kekuasaan di tingkat lokal sudah menjadi arena pertarungan yang menarik, dan hal ini juga termasuk Depok sebagai kota penyangga dalam bingkai Jabodetabek.  

Banyak partai politik (parpol) silih berganti “menguasai” kepemimpinan daerah jika berkaca dari pengalaman politik lokal di Indonesia. Namun demikian, ada beberapa studi kasus dimana satu partai mendominasi kepemimpinan politik di kota/kabupaten tertentu.  

Salah satunya ialah dominasi PKS di Depok. Dominasi ini sudah berlangsung sejak terpilihnya Nur Mahmudi sebagai Wali Kota pada tahun 2005, di mana kemenangan Mahmudi berlanjut hingga dua periode. 

Kemenangan PKS kemudian berlanjut hingga saat ini dengan terpilihnya Muhammad Idris sebagai Wali Kota Depok sejak tahun 2015. Dengan demikian, dominasi PKS di Depok sudah mencapai empat periode berturur-turut dan tentu ada faktor yang melatarbelakangi terbentuknya dominasi tersebut.  

Chusnul Mar’iyah dalam publikasinya yang berjudul Faktor-Faktor Internal Kemenangan Partai Keadilan Sejahtera dalam Pemilihan Anggota DPRD Kota Depok Tahun 2019 menyebutkan dominasi PKS tidak lepas dari kaderisasi yang selektif dalam partai serta preferensi pemilih akan isu sosial tertentu.  

Namun pada kasus di tahun 2019, sentiment agama justru menjadi faktor utama kemenangan mereka. Alhasil, sentimen ini seakan “dimanfaatkan” PKS untuk menguasai kursi DPRD dan Wali Kota Depok secara bersamaan dan sekaligus memunculkan hegemoni politik PKS di Depok.  

Ari Irawan dalam publikasinya berjudul Political Hegemony after the Regional Head Elections of Bappeda Office in Bombana Regency menyatakan hegemoni politik terbentuk ketika partai petahana menguasai wilayah elektoral selama bertahun-tahun.  

Di Depok, hegemoni ini memberikan keleluasaan bagi PKS untuk membangun trayek politik yang sesuai dengan kehendaknya.  

Hal ini tercermin dari berbagai peraturan daerah bernuansa Islam yang mayoritas diloloskan oleh fraksi PKS di DPRD. 

Namun demikian, pengesahan ini justru mendapatkan polemik karena peraturan yang ada dianggap tidak menghargai toleransi kelompok beragama.  

Tidak hanya kontroversinya yang semakin memuncak, dominasi PKS selama 15 tahun tentu memunculkan kebosanan bagi masyarakat dalam melihat politik elektoral di Depok.  

Ben Anderson dalam publikasinya berjudul Affect and critique: A politics of boredom menyebutkan kebosanan menjadi hal yang lumrah terjadinya situasi stagnan selama bertahun-tahun, termasuk dalam politik. Kebosanan secara berkelanjutan akan mendorong masyarakat untuk memilih hal “baru”.  

Majunya Kaesang disebut-sebut dapat menjadi solusi dari “kebosanan” tersebut. Hal ini dikarenakan Kaesang membawa citra “segar” yang dapat membawa perubahan bagi Depok. 

Selain itu, dengan posisinya Kaesang yang bukan “veteran politik”, maka partai lainnya di Depok tentu akan berebut meminang maupun mengusungnya dalam Pilkada mendatang.  

Namun pertanyaannya adalah, mampukah Kaesang mengalahkan PKS dalam Pilkada Depok mendatang? 

Perebutan Politik ala Selebriti? 

Kemunculan Kaesang dalam politik sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak beberapa dekade terakhir, politisi muda seolah kembali menunjukkan “taringnya” dalam dunia persaingan elektoral. Mereka yang muda diklaim membawa perubahan bagi kondisi politik yang kini masih didominasi oleh gerontokrat atau orang-orang tua.  

Selain itu, dengan kiprahnya yang menarik di kalangan muda, maka mereka berpeluang besar untuk menang dalam pemilu ke depannya.  

Hal yang sama juga melekat pada Kaesang. Sebagai tokoh muda yang sukses, Kaesang memang berpotensi besar untuk maju dalam politik. Selain memiliki basis modal yang kuat, Kaesang juga diuntungkan berkat “takdirnya” sebagai anak dari Presiden Jokowi.  

Namun, bila dilihat dari keputusannya untuk maju dalam Pilkada Depok, bisa dilihat bahwa Kaesang mulai “bertaruh” untuk meraih posisi yang sama seperti Gibran.  

Meski demikian, tentu pertarungannya akan jauh lebih berat dibandingkan Gibran. Hal ini dikarenakan Kaesang akan menghadapi PKS sebagai “raksasa politik” yang sudah berkuasa selama 15 tahun.  

Paul Rhode dalam publikasinya berjudul The Long History of Political Betting Markets: An International Perspective menilai pertaruhan politik lumrah dilakukan oleh politisi menjelang pemilu.  

Jika pemilu seolah ditempatkan sebagai “pasar”, maka pemilih ditempatkan sebagai pembeli yang berhak memilih produknya, yaitu kandidat yang hendak menduduki jabatan publik.  

Logika pasar itulah yang kemudian berlaku disini. Jika tokoh yang kurang dikenal maju dalam pemilu, maka preferensi pembeli justru akan condong kepada tokoh yang sudah lama dikenal. 

Dengan kondisi politik Depok yang didominasi PKS, maka Kaesang harus berhadapan dengan “pemain lama” yang sudah mapan karena belum menguasai medan yang dihadapinya. Terlebih, calon lawannya adalah Gamal, sosok muda yang juga tampak menjanjikan dan relevan.  

Meski demikian, potensi kemenangan Kaesang juga tidak kecil. Hal ini akan terjadi jika ia mampu memanfaatkan atribusi dirinya secara maksimal untuk menghimpun narasi “perubahan” dari warga Depok.  

Molly Andrews dalam publikasinya berjudul Narrating Moments of Political Change menyebutkan bila narasi perubahan digaungkan pada saat pemilu, maka tokoh yang melakukannya akan mendapatkan insentif elektoral yang cukup besar. 

Hal ini juga dirasakan oleh PKS saat menyikapi majunya Kaesang. Berhubung Gamal merupakan tokoh muda yang kiprahnya sedang moncer, maka ia dapat dimajukkan untuk membawa narasi yang sama.  

Sebagai tokoh muda, Gamal dapat “dibingkai” oleh PKS untuk menarik preferensi anak muda kepadanya. 

Selain itu, dengan preferensi pemilih yang sudah berpindah dari partai ke tokoh, maka pertarungan Gamal vs Kaesang kedepannya lebih mirip pemilihan “seleb politik” alih-alih kontestasi politik seperti biasa. 

Lantas, akankah Gamal akan langsung mudah memenangkan Pilkada Depok mendatang?  

Kiranya belum tentu, jika Kaesang berhasil menghimpun kekuatan politik yang besar, maka Gamal dan PKS bisa kesulitan membendungnya.  

Lagipula, PKS juga perlu menyiapkan strategi baru untuk mempertahankan basisnya di Depok dalam pemilihan mendatang untuk memastikan suara mereka tidak tergerus. 

Well, sebagai penutup, pertarungan Kaesang dalam Pilkada Depok kedepan akan menjadi medan yang menarik untuk dicermati. 

Selain karena disiapkan untuk menantang dominasi PKS di Depok, kemunculan Gamal sebagai counter dari Kaesang dianggap akan “memanaskan” perebutan kursi wali kota. (D90)

Exit mobile version