Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers?
PinterPolitik.com
“Ketika saya selesai, setengah kehidupan manusia akan tetap ada. Seimbang secara sempurna, seperti yang seharusnya terjadi.” ~ Thanos Share on X
[dropcap]P[/dropcap]idato Presiden Joko Widodo (Jokowi) di depan peserta World Economic Forum (WEF) yang berlangsung di Hanoi, Vietnam, Rabu (12/9) lalu, sempat mencuri perhatian. Semua itu karena di hadapan sekitar 2.500 peserta yang hadir, Jokowi mengibaratkan kondisi perang dagang yang terjadi layaknya perang tak berkesudahan melawan Thanos.
Bagi penggemar film produksi Marvel Comics, Thanos pasti sudah tak asing lagi. Ia merupakan sosok antagonis dominan dalam film Avengers: Infinity Wars. Sebagai sosok bak dewa yang memiliki kekuatan besar, Thanos berupaya melenyapkan setengah populasi manusia di alam semesta demi terciptanya keseimbangan kehidupan dan sumber daya alam (SDA).
Kondisi di mana Thanos menginvasi dan melenyapkan kehidupan di berbagai planet, kemudian diibaratkan Jokowi dengan kondisi perang dagang antara AS dan Tiongkok, sebab dampaknya menciptakan krisis global. Bahkan tak sedikit negara yang perekonomiannya ikut melemah dan terguncang, Indonesia salah satunya.
Walau Jokowi menegaskan Thanos yang ia maksud bukan ditujukan pada sosok individu tertentu, tapi pada pemahamanannya yang salah, namun banyak pengamat menilai, pernyataan Jokowi tersebut sangat terkait dengan keputusan Presiden AS, Donald Trump yang menaikkan tarif impor ke Tiongkok, sehingga menciptakan perang dagang.
Demi menghadapi krisis global yang pada akhirnya akan menciptakan kemiskinan dan belitan utang luar negeri tersebut, Jokowi mengajak negara-negara ASEAN untuk bersatu layaknya para Super Hero Marvel di film Avengers, yaitu secara bersama-sama melawan pemahaman salah Thanos tersebut.
Negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN, mau tak mau memang terdampak akibat adanya krisis global dan perang dagang tersebut. Selain Indonesia, Malaysia dan Filipina pun ikut terguncang, sementara sebaliknya Vietnam malah mendapatkan keuntungan besar. Sehingga timbul pertanyaan, mungkinkah ajakan Jokowi mampu menyatukan ASEAN?
Thanos dan Kutukan SDA
“Tidur dalam keadaan perut lapar. Mengemis mengharapkan sisa-sisa makanan. Planetmu berada di ambang kehancuran.” ~ Thanos Share on X
Kondisi Bumi yang harus menampung jumlah manusia yang semakin lama semakin padat, sebenarnya sudah sejak lama menjadi keprihatinan para pemikir. Salah satunya adalah Robert Malthus, seorang ekonom politik Inggris yang di era 1800-an mengeluarkan teori yang disebut sebagai jebakan populasi (population trap).
Malthus percaya kalau kondisi Bumi akan semakin rusak akibat pertumbuhan manusia yang tidak seimbang dengan ketersediaan SDA. Berdasarkan teorinya, jumlah penduduk Bumi yang bertambah berdasarkan deret ukur, tak bisa diikuti oleh pertumbuhan SDA yang umumnya tumbuh sesuai dengan deret hitung.
Akibatnya, Malthus pun percaya kalau di masa yang akan datang nanti, separuh penduduk Bumi akan dilanda kelaparan akibat jumlah sumber daya alam yang telah menipis. Pemikiran Malthus atau Malthusian yang beraliran pesimistis inilah yang dipercaya Thanos, walau telah banyak mendapat sanggahan maupun penolakan dari para pemikir lainnya.
Namun seiring perkembangan zaman, di tahun 1980-an, Richard Auty melemparkan teori baru yang merupakan turunan dari teori population trap Malthus, yaitu teori kutukan sumber daya alam atau resource curse theory. Berdasarkan pemikiran Auty, SDA suatu negara dapat menjadi kutukan bagi negara itu sendiri.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jeffrey Sachs dan Andrew Warner, memperlihatkan kalau teori Auty mengenai kutukan SDA tersebut memang benar terjadi. Dari hasil observasi, keduanya menemukan kalau negara dengan SDA melimpah memiliki laju perekonomian dan pembangunan yang lambat dibanding negara lainnya.
Melalui tulisan berjudul “The Big Rush, Natural Resource Booms And Growth”, Sachs dan Warner juga meyakini kalau negara dengan SDA melimpah, pada akhirnya akan menciptakan paradoks. Menurut keduanya, rendahnya tingkat persaingan di negara tersebut dapat menciptakan krisis ketika memasuki pasar komoditas global.
Indonesia bisa jadi merupakan salah satu rujukan hasil penelitian kedua profesor asal Center for International Development, Harvard University tersebut. Ini terlihat dari peringkat daya saing Indonesia di tingkat dunia atau dalam Global Competitiveness Index (CGI) yang hanya berada di posisi 36 dari 137 negara.
Seperti yang ditemukan Sachs dan Warner, SDA melimpah tapi tidak dikelola dengan baik, serta rendahnya tingkat persaingan, membuat posisi Indonesia di pasar global termasuk yang rapuh saat dihantam krisis. Bahkan dibanding negara ASEAN sekalipun, Indonesia termasuk yang terdampak cukup besar akibat krisis global.
Mampukah Jokowi Galang Avengers?
“Pilihan-pilihan tersulit membutuhkan niatan yang kuat.” ~ Thanos Share on X
Seperti yang dikatakan juga pada pidatonya, Jokowi menganggap Thanos merupakan pemahaman yang salah dalam melihat masa depan. Menipisnya SDA, menurut Jokowi seharusnya tidak ditanggapi dengan ketakutan maupun pesimistik karena selain SDA, alam semesta juga diberkahi sumber daya lain, yaitu manusia (SDM).
Apalagi dengan kemampuan dan kemajuan teknologi yang merupakan hasil bakat serta pemikiran SDM, akan mampu menciptakan sumber daya alam baru yang terbarukan. Berdasarkan pemikiran inilah, Jokowi menyuarakan keoptimisannya kalau negara ASEAN akan mampu menjadi Avengers yang melawan Thanos.
Optimisme Jokowi ini, juga diperkuat oleh teori Hayami dan Ruttan yang percaya kalau inovasi dan teknologi akan dapat mengatasi ancaman jebakan populasi Malthus, maupun kutukan sumber daya alam Auty. Baik Hayami dan Ruttan yakin, dengan modal SDM yang maju dan melek teknologi, hambatan tersebut dapat diatasi.
Seiring dengan pendapat Hayami dan Ruttan di atas, dalam forum bergengsi yang dihadiri para pemimpin dunia, pebisnis, dan tokoh dunia tersebut, Jokowi juga yakin kalau mulai menipisnya cadangan SDA akan merangsang lahirnya inovasi dan teknologi baru yang mampu menjawab kondisi tersebut.
Hanya saja, mampukah ASEAN bersatu layaknya Avengers dalam memerangi Thanos? Berdasarkan analisa David Comroux, dalam tulisannya di East Asia Forum, peran Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi tidak memiliki pengaruh yang cukup besar di ASEAN, berbeda dengan Soeharto yang diakui memiliki peran sangat besar.
Jokowi referencing Thanos and Infinity War in an official speech just made my week. pic.twitter.com/S7zQZ3zSfO
— Andhyta F. Utami (@Afutami) September 13, 2018
Berdasarkan pengamatan profesor dari Vietnam National University di Hanoi ini, posisi Indonesia di ASEAN berubah ketika terjadi reformasi di tahun 1998. Sistem kepemimpinan Indonesia yang tidak lagi bersifat otokrasi, pada akhirnya juga mempengaruhi hubungan regional dengan negara-negara ASEAN yang belum sepenuhnya menganut sistem demokrasi.
Selain dengan Malaysia dan Singapura, hubungan Indonesia dengan negara ASEAN lain di pandangan David sudah diibaratkan sebagai “orang luar”. Walau ASEAN memiliki banyak badan khusus, baik di sektor ekonomi maupun pertahanan, namun mulai sulit diikuti oleh Indonesia yang sudah terpapar perdagangan bebas dan globalisasi.
Alasan mengapa saat ini Indonesia masih menjadi anggota ASEAN, menurut David adalah untuk mempertahankan pengaruh diplomatik semata. Sebab bila dulu Soeharto aktif membatasi negara ASEAN dari pengaruh Tiongkok, saat ini negara ASEAN malah begitu terbuka menjalin kerjasama dengan negari Tirai Bambu tersebut.
Sehingga tak heran bila pidato Jokowi yang secara tak langsung menuding kebijakan proteksionis Trump, mendapat sambutan hangat. Melalui perumpamaannya tersebut, bisa jadi Jokowi memang berupaya membangun kesan adanya musuh bersama dalam menghadapi krisis global yang terjadi akibat berbagai kebijakan AS tersebut.
Pertanyaannya sekarang, mampukah pidato perumpamaan Jokowi menggerakkan negara ASEAN lainnya untuk ikut menjadi Avengers demi melawan sepak terjang Thanos? (R24)